Hari Buruh dan Etos Kerja dalam Islam 

Ketika suatu hari dirayakan atau diperingati rutin setiap tahun secara nasional, apalagi internasional, berarti ada peristiwa penting yang mendasarinya. Di antara hari yang diperingati setiap tahun adalah Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei, atau lebih dikenal dengan istilah May Day secara internasional. 

Dalam KBBI, buruh adalah mereka yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Sedangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 1 Tahun 2017 Pasal 1 (7) dijelaskan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 

Sejarah Hari Buruh 

Melansir dari tirto.id, peringatan 1 Mei sebagai Hari Buruh didasari pada sebuah peristiwa yang terjadi belasan dekade silam, tepatnya pada 1886, di Amerika Serikat. Ada lebih dari 200.000 buruh pada saat itu turun ke jalan, melakukan mogok kerja untuk menuntut jam kerja yang lebih manusiawi. Mereka menuntut pengurangan jam kerja, dari dua belas jam menjadi delapan jam sehari. 

Pada mulanya, aksi buruh ini berjalan dengan damai. Tetapi, tiga hari setelahnya, 4 Mei 1886, terjadi kericuhan yang melibatkan para aparat dengan para demonstran di Haymarket. Akibatnya, beberapa orang mengalami luka-luka, bahkan ada yang meninggal. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Kerusuhan Haymarket. 

Peristiwa di atas memicu gerakan buruh secara global, sehingga muncul gerakan-gerakan untuk memperjuangkan hak buruh. Akhirnya, pada 1889 digelar Kongres Buruh Internasional di Perancil yang menghasilkan ketetapan 1 Mei sebagai May Day atau Hari Buruh Internasional yang akan diperingati setiap tahun. 

Di Indonesia, Hari Buruh termasuk hari libur nasional. Akan tetapi, ketetapan libur nasional untuk 1 Mei baru ditetapkan pada 2013. Presiden pada saat itu, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, mengeluarkan Keppres RI Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Penetapan Tanggal 1 Meis Sebagai Hari Libur. 

Etos Kerja dalam Islam 

Etos bermakna watak atau karakter. Dalam Islam, padanan kata etos adalah akhlak. Dengan demikian, etos kerja secara sederhana dapat dimaknai sebagai cara bekerja yang didasari pada karakter yang positif. Menurut Muli Umiaty Noer (2022), etos kerja dalam Islam didasari pada akhlak atau etika yang sesuai dengan nilai-nilai Islami. 

Cihwanul Kirom dalam artikelnya (2018) mengutip pendapat Nurkholis Madjid, bahwa etos kerja dalam Islam adalah hasil kepercayaan atau pandangan seorang muslim bahwa bekerja berkaitan dengan tujuan hidup manusia, yaitu menggapai perkenan Allah Swt. 

Sebagai sebuah agama, Islam tidak hanya mengatur kehidupan akhirat umatnya semata, tetapi juga memperhatikan kehidupan duniawi. Kendati banyak riwayat yang menunjukkan kehidupan Nabi Muhammad, sebagai figur utama dalam Islam, sebagai seorang yang tidak kaya, juga banyak riwayat yang menyebutkan bagaimana sang suri teladan menganjurkan kaum muslim untuk bekerja. 

Proyeksi utama ajaran Islam tentu saja adalah kebahagiaan hidup di akhirat. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya harta, seseorang dapat lebih mudah menggapai proyeksi tersebut. Misalnya, orang yang kaya akan lebih mudah membantu banyak orang, baik sedekah atau membangun fasilitas ibadah, dibandingkan orang yang tidak berpunya. Atau, setidaknya, orang yang memiliki kecukupan hidup meski hanya untuk dirinya sendiri, akan dapat beribadah dengan lebih nyaman. 

Beberapa ayat al-Qur’an menganjurkan agar manusia, di samping beribadah untuk menggapai kebahagiaan akhirat, juga bekerja untuk mendapatkan rezeki demi keperluan hidup di dunia. Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 misalnya, Allah berfirman:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”

Imam al-Syaukani dalam kitab tafsirnya, Fath al-Qadiir, menjelaskan redaksi fantasyiruu fi al-ardh (bertebaranlah kamu di bumi) sebagai sebuah anjuran untuk melakukan jual-beli atau pun pekerjaan lainnya yang dibutuhkan untuk menyambung hidup di dunia. Tujuannya adalah untuk mencari (ibtighaa`) rezeki dari Allah.  

Dalam sebuah hadis, Imam al-Bukhari meriwayatkan bagaimana Nabi Muhammad Saw. menganjurkan agar umatnya bekerja, walau upah yang didapat tergolong kecil. Beliau bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ 

Sungguh, seorang dari kalian yang memikul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau tidak.” (HR. al-Bukhari, no. 3474)

Dalam kitab Fath al-Qariib al-Majiid ‘alaa al-Targhiib wa al-Tarhiib (jil. 7, hal. 725), Hasan al-Fayumi menjelaskan bahwa hadis di atas berisi anjuran untuk makan dari hasil kerja sendiri serta anjuran untuk berusaha mendapatkan rezeki dari hal-hal yang mubah.

Beliau juga mengutip riwayat al-Bazzar dari Abu Hurairah yang menceritakan dua orang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw. dan meminta sesuatu kepadanya. Rasulullah kemudian bersabda, “Pergilah pada pohon yang banyak cabangnya. Kemudian buat kayu bakar dari, serta juallah.” Keduanya menurutinya, sehingga mereka tidak hanya dapat membeli makanan, tetapi juga dua helai kain bahkan dua ekor keledai. 

Selain sebagai anjuran untuk bekerja, hadis di atas juga mengisyaratkan bagaimana Rasulullah Saw. melarang umatnya agar meminta-minta. Ibnu Mas’ud bahkan meriwayatkan bahwa salah satu doa yang sering dibaca oleh Nabi adalah agar diberikan kekayaan (harta) yang cukup sehingga terhindar dari meminta-minta. Lebih lengkap beliau berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى 

Yaa Allah! Aku meminta petunjuk, ketakwaan, ‘iffah (harga diri), serta kami meminta kekayaan (agar tidak meminta-minta).” (HR. Muslim, no. 2723)

Dengan demikian, akhirat tetap menjadi proyeksi utama seorang hamba. Akan tetapi, ia tidak boleh melupakan kehidupannya di dunia sehingga mengabaikan kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seorang muslim harus memiliki etos kerja, sebuah karakter bekerja yang sesuai dengan nilai-nilai Islami, yang mencakup kejujuran, keadilan, dan lain sebagainya, bukan sebatas mendapatkan materi duniawi yang sering kali dicapai dengan cara-cara yang curang. Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini