“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Luqman/ 31: 34)
Demikian santun dan menyejukkan untaian firman-Nya yang tertuang dalam QS. Luqman ayat 34 di atas— surah yang juga memuat keteladanan nasihat seorang ayah kepada anaknya (Luqman/ 31: 12-19). Sebab itu pula, surah ini mengabadikan nama sang ayah, Luqman al-Hakim. Sosok ayah yang memberikan banyak pengajaran bukan hanya bagaimana berakhlak kepada Allah melainkan pada manusia (sesama) terlebih juga pada kedua orang tua khususnya ibu, sebagai makhluk mulia penanggung amanah reproduksi manusia.
Melalui surah ini pula, Allah memberikan pengajaran pada kita semua—khususnya orangtua—untuk mampu bertawakkal. Meletakkan keyakinan penuh pada-Nya, seraya mewakilkan dan memercayai segala sesuatu yang terjadi di luar kendali kita sebagai manusia.
Jika kita uraikan ayat tersebut, maka kita akan menemukan setidaknya lima hal penting dalam hidup yang tidak diketahui bahkan tak mampu dikendalikan terjadinya yaitu pertama, datangnya hari kiamat. Hal ini jelas karena Nabi Muhammad Saw sendiri senantiasa mengatakan bahwa ilmu (pengetahuan) tentang kapan terjadinya hari kiamat, hanya Allah saja yang mengetahuinya (QS. Al-‘A`raf /7: 187).
Kedua, turunnya hujan. Hujan sebagai salah satu dari sekian banyak rahmat Allah diturunkan sesuai qaddar (kadar/ ukuran) dan tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Bahkan, Allah yang mengetahui secara persis daerah/ belahan bumi mana yang membutuhkan air hujan untuk kebaikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman, “Dialah yang mengirimkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan). Sehingga, jika angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu.” (QS al-A’raf/ 7: 57).
Ketiga, keterbatasan manusia tentang apa yang ada di dalam rahim. Kendati teknologi canggih kian bermunculan, manusia tetap tidak mengetahui secara detail mengenai ukuran janin, beratnya, panjangnya, bahkan apa yang dialami janin dari bulan ke bulan usia kandungan. Dari sinilah tawakkal kedua orangtua diuji pertama kali. Keduanya diminta untuk memercayai bahwa Allah yang akan memberi penjagaan Maha Sempurna kendati janin belum mampu disentuh dan dilihat secara kasat mata.
Keempat, manusia dalam beragam keterbatasannya pula tak memiliki kuasa tentang apa yang akan ia lakukan esok—meski sudah merencanakan secara detail aktivitasnya. Terakhir, keterbatasan pengetahuan manusia tentang dimana, jam berapa, dalam keadaan apa kita semua akan kembali pada-Nya. Bagian paling akhir inilah yang memberikan teladan bagi manusia untuk berikhtiar (mengupayakan) amal-amal baik setiap harinya agar ketika jiwa terpisah dari raga, bihusnil khatimah adanya.
Kelima hal tersebut adalah proses panjang manusia dalam bertawakkal pada-Nya. Meminjam istilah Ibn Attailah bahwa tawakkal ialah salah satu ibadah batin selain ikhlas, ridha dan sabar yang dengannya manusia terlatih untuk berupaya sungguh-sungguh kemudian meletakkan dan mempercayai Allah sebagai zat yang maha baik dan senantiasa memberikan pertolongan terbaik.
Quraish Shihab juga menguraikan bahwa tawakkal yang berjumlah 44 kata dalam 38 ayat Al-Quran, dalam al-Quran dalam bahasa agama ialah menyandarkan harapan kepada Allah agar menangani persoalan yang dirinya sendiri tak kuasa melakukannya. Karenanya, menyadari ketidaktahuan dirinya, manusia mestinya menampakkan kelemahan di hadapan Allah agar kiranya Allah berkenan memberikan petunjuk dan jalan terbaik atas kesulitan yang tengah dihadapinya.
Tawakkal atau tawakkul yang memiliki akar kata wakala (waw-kaf-lam) makna dasarnya ialah mewakilkan pihak lain dalam urusan kita. Dari definisi ini, konteks mewakili pada makhluk berbeda dengan mewakili urusan pada Allah. Perbedaannya, ketika konteks ini berhubungan dengan manusia biasanya yang mewakili itu kedudukannya lebih rendah dari yang memerintahkannya. Kedua, yang mewakili dan yang diwakili sama-sama lemah dan memiliki keterbatasan. Dua hal ini berbeda ketika manusia belajar tawakkal ‘ala Allah, meyakini dan memercayai sepenuhnya Allah akan memberikan jalan keluar atas segala kesedihan, ketakutan dan aneka permasalahan. Sebab Allah saja yang Maha Mengatur dan paling mengetahui secara rinci tentang kebutuhan makhluk-Nya.
Mengenai tawakkal, Ibn Qayyim menyatakan bahwa tawakkal ialah separuh dari agama. Separuhnya lagi ialah inabah (kembali/ bertaubat) pada-Nya. Karenanya, ketika kita bertawakkal, sungguh kita tengah melaksanakan separuh agama itu. Senada dengan Ibn Qayyim, Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai sikap menyandarkan diri dan jiwa kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.
Betapa esensialnya sikap tawakkal ini untuk mampu dipraktikkan sepanjang hayat. Sebagai ibadah batin yang tak cukup dipraktikkan hanya sekali, tawakkal mengajarkan bahwa cukup bersandar pada Allah, zat yang takkan pernah mengecewakan. Termasuk saat iman diuji dengan kehilangan; hilang harta benda atau orang yang dicinta yang kadangkala berat untuk diterima. Melalui ibadah batin ini (tawakkal) manusia dididik oleh-Nya untuk selalu berkeyakinan baik terhadap takdir-Nya juga memeroleh ganjaran terbaik atas kesabaran dan keiklasannya. Karenanya, saat kehilangan, Rasulullah memberikan doa, ‘Allahumma jurnii fii musibatii wakhluflii khair minha (Ya Allah berikanlah ganjaran pahala atas musibah ini serta gantilah kesedihan ini dengan takdir yang lebih baik darinya)’
Semoga siapapun yang tengah Allah uji dengan kehilangan, Allah luaskan sabarnya, Allah naikkan derajatnya, Allah mudahkan untuk menerima sepenuh jiwa takdir yang menimpanya. Semoga!
Dr. Ina Salmah Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id