Baru-baru ini kita menyaksikan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi, dan daerah lainnya. Acapkali saat terjadi bencana, kita seringkali “menyalahkan” alam, mengkambing hitamkannya bahwa semua ini akibat cuaca ekstrem berupa hujan lebat, tanpa pernah merenungi dan merefleksi kesalahan apa yang telah kita perbuat terhadap alam, khususnya kepada mereka yang memegang kebijakan dan regulasi hal tersebut.
Pangkal tolak penyebab bencana ini adalah pengelolaan lingkungan yang sangat buruk yang dipraktikkan sejak Orde Baru hingga era Reformasi. Pemerintah dan pemerintah daerah abai dan lalai menjaga dan mengamankan kawasan lindung khususnya di daerah hulu dan daerah tangkapan atau resaair dari kegiatan deforestasi baik yang legal maupun ilegal.
Di dalam Al-Quran, Allah tidak pernah menyebut alam sebagai bencana, justru Ia melukiskan betapa teraturnya alam dalam menjaga keseimbangan hidup manusia. Tatkala alam dirusak, itu murni ulah manusia-manusia yang tak bertanggungjawab sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Baqarah ayat 11:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
Apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,”mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 11)
Di antara bentuk kerusakan di atas bumi ialah kekufuran, kemaksiatan, menyebarkan rahasia orang mukmin, dan memberikan loyalitas kepada orang kafir. Melanggar nilai-nilai yang ditetapkan agama akan mengakibatkan alam ini rusak, bahkan hancur.
Imam Thabari, menjelaskan dalam kitab Jami‘ul Bayan bahwa yang dimaksud kerusakan di bumi adalah perbuatan maksiat, kekafiran, dan kemunafikan. Menurutnya, siapapun yang tidak taat kepada Tuhan berarti telah ikut merusak bumi. Sebab, bumi dan langit hanya akan menjadi baik jika manusia hidup sesuai dengan perintah Allah.
Apa sebenarnya yang kita maksud dengan “kerusakan”? Dan apakah yang dimaksud “perbaikan” ketika kata-kata itu kita ucapkan dengan mudah di tengah hiruk-pikuk zaman yang gaduh oleh pembangunan? Kita sering menunjuk tanah longsor, sungai tercemar, polusi udara, hutan gundul, atau sawah yang tergenang sebagai tanda-tanda rusaknya alam. Tetapi jarang kita berefleksi: dari mana semua itu bermula? Apakah semata dari hujan yang turun terlalu deras, atau dari tangan manusia yang terlalu tamak?
Barangkali kita perlu kembali pada pandangan jernih yang dikemukakan oleh Ar-Rabi‘ bin Anas, seorang perawi yang dikutip oleh Ath-Thabari, bahwa maksiat merupakanakar dari setiap kerusakan. Siapa pun yang durhaka kepada Allah, atau menyeret orang lain dalam kedurhakaan, sejatinya sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri—dan bagi seluruh bumi yang dipijaknya.
Namun, di zaman ini, “maksiat” acapkali kita kerdilkan sebatas ritus personal, seperti tidak menjalankan shalat, puasa yang ditinggalkan, dan semacamnya. Akan tetapi, lupa bahwa maksiat juga menjelma dalam rupa yang lebih “modern”, di antaranya tida menunaikan amanah, menggadaikan keadilan, membiarkan keserakahan merajalela, menyamarkan kebohongan dan sibuk pencitraan diri sebagai niat baik dan kebijakan publik. Bukankah itu semua adalah kemunafikan?
Pantas jika Allah dalam ayat-Nya yang lain, Surat Al-Baqarah ayat 205, mengatakan
وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya: “Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan”.
Dalam khazanah tafsir klasik, nada peringatan terhadap para perusak bumi telah lama disuarakan. Imam al-Qurthubi dalam al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān mengutip pandangan mufasir generasi awal seperti Mujahid dan Ath-Thabari, bahwa ayat-ayat tentang kerusakan sejatinya menyasar orang-orang zalim yang merusak tatanan hidup.
Gambaran yang mereka gunakan tidak ringan: membakar tanaman, membinasakan hewan, merusak sumber penghidupan. Ath-Thabari bahkan menyebut orang yang melakukan tindakan semacam itu—sekecil atau sebesar apa pun—sebagai kelompok yang dilaknat. Karena merusak bukan sekadar perbuatan fisik, melainkan pengkhianatan terhadap amanah yang Tuhan titipkan kepada manusia.
Nada serupa kita temukan dalam Tafsir al-Misbah. Dalam tafsirnya, Quraish Shihab merujuk tafsir Al-Baidhawi, mengingatkan bahwa kerusakan tidak selalu datang dalam rupa “jasadiyah” belaka, melainkan menjelma sebagai kebohongan yang disebarkan, fitnah yang dirawat, dan kebijakan yang berujung pada kehancuran sosial.
Ungkapan al-ḥarṯ wa an-nasl—yang lazim diterjemahkan sebagai tanaman dan hewan ternak—dibaca lebih luas sebagai simbol perempuan dan generasi. Artinya, pelecehan terhadap martabat perempuan dan perusakan masa depan anak-anak juga termasuk bentuk fasad (kerusakan). Bahkan, bila kata tawallā dipahami sebagai “memegang kuasa”, Al-Qur’an seakan tengah menggambarkan tipe penguasa yang piawai bertutur, lihai menjanjikan program menawan, tetapi tatkala kekuasaan berada di genggaman, justru yang terjadi pengkhianatan pada nurani, menghancurkan tatanan sosial dan keseimbangan alam, sehingga muncul luka sosial dan luka ekologis yang kita warisi saat ini.
Quraish Shihab juga menegaskan kembali bahwa Allah melarang manusia merusak alam setelah Dia menciptakannya dengan indah, seimbang, dan penuh rahmat. Kerusakan di sini tidak berhenti pada maksiat individual, melainkan menjalar pada apapun yang merusak keseimbangan (harmoni), yakni pembalakan liar, penggundulan hutan, penjarahan alam, dan sederet dosa ekologis yang melingkupinya.
Alam diciptakan bukan sebagai komoditas yang boleh diperas tanpa batas, melainkan sebagai amanah yang harus dijaga. Manusia, sebagai khalifah, bukan pemilik mutlak, tetapi penjaga; bukan perusak sesaat, melainkan perawat berjangka panjang bagi masa depan. Semoga lekas pulih bumiku Indonesia.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini