Puasa Ramadhan dan Pentingnya Menahan Diri

Makna utama berpuasa adalah menahan diri. Tidaklah dianggap berpuasa jikalau seseorang tidak mampu menahan dirinya dari hal-hal yang buruk dan memantik kerusakan (fasad). Karena itu tidak heran jika kewajiban berpuasa Allah sandingkan dengan tujuannya yaitu menjadi manusia yang bertakwa. Takwa itulah sesungguhnya bahasa lain dari mampu menahan diri. Sebab mayoritas orang modern cenderung telah kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia sudah tidak berdaya menghadapi segudang keinginan atau hawa nafsu yang sesungguhnya tidak lain adalah bisikan setan itu sendiri. 

Oleh karenanya, perintah berpuasa di bulan Ramadhan sangat efektif dalam rangka pengendalian diri manusia itu sendiri. Allah swt berfirman,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)

Yang diwajibkan ketika seseorang berpuasa, seperti yang diredaksikan Alquran, adalah menahan diri (ash-shiyam). Menahan diri erat kaitannya dengan mengelola hawa nafsu. Mengelola nafsu atau menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, laki-laki atau perempuan, sehat atau sakit. Puncak dari pengendalian diri ini adalah menjadi manusia yang bertakwa (muttaqin).

Kewajiban berpuasa sesungguhnya tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam saja, melainkan umat-umat terdahulu. Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab memaparkan bahwa kewajiban berpuasa adalah untuk manusia itu sendiri apapun latar belakang agamanya sekalipu tata caranya berbeda-beda. Ini karena sebagian umat terdahulu berpuasa berdasar kewajiban yang ditetapkan oleh tokoh-tokoh agama mereka, bukan melalui wahyu Ilahi atau petunjuk Nabi.

Menahan Diri sebagai Hakikat Hidup

Hakikat berpuasa – sekaligus hidup adalah menahan diri. Persoalan menahan diri ini tidak gampang, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangan untuk terus mampu menahan diri di tengah tradisi melampiaskan dan era disrupsi adalah perjuangan tiada henti. Tidak ada yang menjamin tinggi rendahnya strata sosial seseorang akan mampun menahan diri dengan baik. Betapa banyak pemberitaan yang menyuguhkan kepada kita, seorang yang secara status sosialnya sudah tinggi (misalnya profesor, pejabat tinggi negara, dan semacamnya) ternyata masih terjebak dalam ketidakpecusan dalam pengendalian diri (semisal kasus korupsi, potong anggaran, manipulasi dan sebagainya).

Di sinilah penulis kira letak urgensi hadis Nabi saw yang menjelaskan bahwa betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak memperoleh apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga. 

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya: “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR An-Nasa’i).

Senada dengan itu, Nabi saw melanjutkan bahwa ada lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa, yaitu membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu” (HR Ad-Dailami).

Bukankah dua hadis Nabi saw di atas, lebih dari cukup untuk memperingatkan kepada kita selaku kaum muslimin bahwa puasa tidak hanya sekadar menahan diri makan dan minum belaka, melainkan ada sesuatu yang esensial di belakangnya yakni kesadaran untuk menahan diri dan mengelola diri dengan baik, terukur dan proporsional.

Puasa sebagai hakikat hidup – mengutip Istilah Emha Ainun Nadjib – mengajarkan kepada kita untuk tidak melampiaskan kebisaan kita menurut kemauan kita sendiri, melainkan mau menahan diri karena mempertimbangkan kemaslahatan lebih luas. Agama tidak hanya berisi perintah, tetapi juga deretan afala ta’qilun (Tidaklah kalian berpikir?) sebagaimana Allah menyerukannya di dalam Al-Qur’an.

Sesungguhnya naluri dan akal sehat puasa merupakan muatan terpenting dari kehidupan manusia. Bukankah makhluk puasa senantiasa mengontrol perut dengan pagar yang bernama ‘rasa kekenyangan’, tatkala nafsu makan seseorang mengalami kebutaan dan kebrutalan terhadap kapasitas makanan yang secara alamiah manusia butuhkan? 

Puasa mengajari kita untuk menghayati bahwa dalam kehidupan ini kita tidak hanya bergaul dengan hak, tapi juga dengan kewajiban, larangan dan anjuran. Besar harapan kita selepas berkuliah di kampus ‘ramadhan’, kita menyandang predikat sebagai hamba yang bertakwa dan meraih ridha Allah swt. Aamiin.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini