Ajaran Islam tentang hewan termasuk persoalan anjing sangat apresiatif. Al-Qur’an misalnya menceritakan tentang Ashhab al-Kahfi, yakni sekian banyak pemuda (tujuh orang) yang menghindar dari kekejaman penguasa bersama seekor anjing mereka dan berada dalam gua selama tiga ratus sembilan tahun (Q.S al-Kahfi [18]: 9 – 26). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa tidak ada larangan memakan binatang halal hasil buruan anjing yang telah diajarkan berburu (QS. al-Maidah [5]: 4).
Dalam literatur hadits ditemukan riwayat bahwa Nabi saw pernah bersabda, “Seorang wanita tunasusila di satu hari melihat seekor anjing yang berkeliling di sumur sambil mengulurkan lidahnya karena kehausan. Dia kemudian membuka untuknya selopnya (dan mengisi air), maka Allah mengampuni dia (karena kasih sayanya pada anjing itu)” (HR. Malik, Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, melalui Abu Hurairah).
Baca Juga: Isyarat Kematian Adalah Nikmat dalam Al-Quran
Persoalan muncul dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang jilatan anjing. Salah satu hadits tersebut adalah yang bersumber dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi saw bersabda, “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang di antara kamu, maka hendaklah ia (menumpahkan airnya, kemudian) menyuci bejana itu tujuh kali.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Malik, al-Bukhari, Muslim, dan al-Nasai. Abu Dawud menambahkan, “Pada awalnya dengan tanah.” Ada juga riwayat lain yang menyatakan bahwa yang ketujuh dibasuh dengan tanah. At-Tirmidzi meriwayatkan, “Tujuh kali awalnya atau akhirnya dengan tanah, dan kalau kucing dicuci sekali.”
Masalah yang muncul dari hadits semacam ini, antara lain, menyangkut kandungannya. Dengan dimunculkannya pertanyaan, Mengapa Demikian? Mengapa dengan tanah, dan apakah yang demikian itu wajib hukumnya? Ada yang berpendapat bahwa “akal sulit menjangkau latar belakang perintah ini: ia adalah ta’abbudi sehingga teks hadist ini harus dipahami dan dilaksanakan sebagaimana adanya.”
Argumentasinya antara lain, “Kalau anjing menjilat bejana harus dicuci. Kalau bukan anjing dan bukan bejana maka tidak harus.” Ada juga yang berpendapat bahwa kandungannya bukan ta’abbudi, melainkan ta’aqquli (dapat dijangkau nalar), sehingga baik bejana maupun bukan, selama anjing yang menjilat, ia harus dicuci. Ini disebabkan air liur anjing mereka nilai najis, dan selama air liurnya najis, itu berarti mulutnya pun najis, bahkan seluruh badannya pula.
Mazhab Abu Hanifah juga menilai bahwa anjing najis, tetapi najisnya dianggap sama dengan najis yang lain. Sehingga cara membersihkan atau menyucikan najis anjing sama dengan cara menyucikan najis-najis yang lain. Adapun dengan tujuh kali, maka itu menurut mereka, hanya berupa anjuran bukan wajib. Mazhab Maliki, lain lagi. Menurut satu riwayat, beliau berpendapat bahwa jilatan anjing tidak najis. Alasannya, antara lain, firman Allah Swt yang membolehkan memakan binatang hasil buruan anjing (QS. al-Maidah [5]: 4).
Baca Juga: Praktik Poligami Menurut Para Mufasir Indonesia
Seorang yang bingung tentang persoalan anjing, hendaknya menghilangkan kebingungannya dengan mempelajari argumentasi atau bertanya kepada ulama yang dia percayai. Apabila yang dipilihnya paham Imam Malik, tidak ada masalah baginya. Akan tetapi, jika paham Syafii, maka keliru, bahkan berdosa bila dia tidak mengindahkannya hanya karena malas.
Saya sendiri dapat memahami paham Imam Malik, namun demi kesempurnaan dan amannya, saya menganut paham yang menajiskan anjing dan menganjurkan untuk mencuci bekas jilatannya, baik di bejana maupun tidak, dengan tujuh kali dan salah satu di antaranya dengan tanah dan enam lainnya dengan siraman air.
M. Quraish Shihab dalam Buku M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Diketahui (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2012), 812 – 815.