Seseorang yang mengangkat anak, maka dia berkewajiban mendidik dan memeliharanya secara baik. Sehingga jika dia memperlakukannya sebagai anak kandung, maka hal tersebut sangat terpuji. Namun, Islam tidak membenarkan yang bersangkutan mengakui anak angkat sebagai anak kandung dan memberinya hak-hak yang sepenuhnya sama dengan hak anak kandung. Seperti menisbahkan nama anak itu dengan namanya, memberinya warisan yang sama dalam pemberian warisan kepada anak kandung, dan lain lain.
Pada masa Nabi saw ada seorang remaja bernama Zaid yang diculik oleh perampok dan dijual sehingga akhirnya jatuh ke tangan Nabi Muhammad saw. Nabi saw memperlakukannya secara amat baik. Sedemikian baik sehingga ketika dia ditemukan oleh orangtuanya, dan bermaksud menebusnya, Nabi bersedia mengembalikan remaja itu tanpa tebusan asal anak itu sendiri bersedia kembali ke orangtuanya. Ternyata sang anak lebih senang hidup bersama Nabi. Melihat seikap sang anak, Nabi memutuskan untuk menjadikannya sebagai anak, lalu menamainya Zaid bin Muhammad, dan memberlakukan atasnya adat kebiasaan masyarakat ketika itu, yakni memberinya hak-hak waris.
Ketetapan Nabi ini dibatalkan oleh al-Qur’an, antara lain dengan turunnya firman Allah Q.S al-Anfal ayat 75,
“… Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat sebagian mereka lebih berhak terhadap sebagian lainnya (untuk memperoleh warisan) daripada yang bukan kerabat …”
Dalam Q.S al-Ahzab ayat 4 – 5 ditegaskan pula,
“… dan Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu (sama hak dan statusnya dengan) anak-anak kandungmu. Yang demikian itu hanya ucapanmu di mulut saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah …”
Pembatalan ini bahkan dipertegas lagi oleh Allah Swt dengan turunnya perintah kepada Nabi Muhammad saw untuk mengawini bekas istri Zaid (anak angkatnya itu) sebagaimana tercantum dalam Q.S al-Ahzab ayat 37.
Bahwa anak angkat tidak mendapatkan hak waris menurut ketentuan agama, bukan berarti orangtua angkat menyia-nyiakannya, karena Islam membuka kesempatan bagi orangtua angkat untuk memberikan sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya kepada anak angkat melalui pintu wasiat. Hal ini dengan syarat bahwa jumlah harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkannya.
M. Quraish Shihab dalam 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2014), 576 – 578.