Kalau Tak Bisa Menjadi Garam, Setidaknya Jangan Menjadi Lalat

Judul di atas merupakan penggalan perkataan seseorang yang ditujukan kepada Abu Nawas, seorang pujangga Arab yang terkenal dengan syair-syairnya yang sarat makna. Salah satu syairnya bahkan sering dilantunkan di masjid-masjid dan musala di Indonesia, al-I’tiraf (Pengakuan Dosa). Meski memiliki judul, masyarakat Indonesia lebih mengenalnya dengan “Ilahi lastu lil”, bait pertama dari syair tersebut. 

Betapa indah dan dalam makna syair al-I’tiraf tidak terlepas dari cerita yang melatarbelakanginya. Sebelum dikenal sebagai seorang penggubah syair-syair taubat, Abu Nawas dikenal sebagai seorang pemabuk yang suka mengganggu orang lain. Syair-syair yang dibuat Abu Nawas di masa nakalnya bahkan selalu berkaitan dengan khamar, bukan mencelanya, tetapi justru memujinya. Ia pun dikenal sebagai pemuka penyair khamar.

Fahruddin Faiz dalam salah satu Ngaji Filsafatnya, menjabarkan dua versi cerita titik pertaubatan Abu Nawas. Salah satunya adalah ketika malam ganjil di bulan Ramadhan, Abu Nawas sedang mabuk berat. Tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi  Abu Nawas, lalu berkata kepadanya: 

Wahai Abu Hani (Abu Nawas)! Jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat menjijikan, yang merusak hidangan itu.

Manusia yang Terbaik

Kita dapat merenungkan betapa dalam makna perkataan yang ditujukan kepada Abu Nawas, sehingga Abu Nawas sendiri, yang terkenal sangat menyenangi khamar dan suka mengganggu orang lain, bertaubat. 

Salah satu pepatah terkenal Arab, atau dalam Musnad al-Syihaab disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw dengan sanad yang daif, berbunyi: Khair al-naas anfa’uhum li al-naas (sebaik-baiknya manusia adalah dia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya). 

Pepatah tersebut mengajarkan bahwa sejatinya seorang yang terbaik adalah dia yang tidak hanya dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat membagi kemanfaatan bagi orang lain, sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, tidak semua orang dapat berbuat demikian. Maka, setidaknya seseorang dapat memberi manfaat bagi dirinya sendiri, seraya tidak memberikan keburukan dan gangguan kepada orang lain. Atau, jika masih tidak dapat memberi manfaat bagi diri sendiri, setidaknya tidak merugikan orang lain.

Jika kita lihat dalam keseharian, betapa banyak orang yang tidak dapat menjadi “garam”, yaitu orang yang bermanfaat dan memberikan kebaikan kepada orang lain. Dan, di saat yang bersamaan, dia justru menjadi “lalat”, orang yang mengganggu ketenangan dan kenyamanan “hidangan” hidup orang lain. 

Sepele, Tapi Bisa Sangat Mengganggu

Dalam hal-hal yang sering dianggap sepele karena betapa seringnya terjadi dalam keseharian, banyak yang tidak sadar bahwa dia telah menjadi lalat, alih-alih garam. Dalam hal berkendara di jalan raya, misalnya, tentu melanggar aturan lalu lintas bukan hal yang baik. Tetapi, berkendara tidak menggunakan helm dan melanggar lalu lintas adalah dua pelanggaran yang sangat berbeda. 

Tidak memakai helm, tidak membawa SIM dan STNK, adalah pelanggaran yang hanya akan merugikan pengendara itu sendiri. Ketika ia jatuh atau terkena razia, ia tidak akan mengganggu dan merugikan orang lain. Di sisi lain, menerobos lampu merah bukan hanya merugikan dirinya sendiri jika ditilang polisi, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan bahkan nyawa pengendara lain. 

Dalam hal membuang sampah, misalnya, betapa membuang sampah sembarangan telah menjadi budaya dalam diri banyak orang. Banyak yang tidak sadar bahwa perbuatan tersebut sering mengganggu orang lain. Bahkan, membuang sampah sembarang dapat merugikan sebuah daerah, seperti terjadinya banjir lantaran sungai dipenuhi sampah yang menggunung. 

Penulis sendiri bukan orang yang rajin segera membuang sampah pada tempatnya, atau dalam bahasa Cak Nun “meletakkan”, bukan “membuang” sampah, terlebih pada sampah-sampah kecil seperti bungkusan permen, plastik sedotan, dan lainnya. Jika tidak ada tempat sampah yang dekat, penulis lebih suka menjadikan tas atau saku baju dan celana sebagai tempat sampah sementara, alih-alih membuangnya sembarangan. 

Dua hal di atas hanya sedikit dari contoh betapa banyaknya hal yang kita anggap remeh, tetapi bisa saja merugikan orang lain. Bahkan, dalam hal ibadah seseorang tidak boleh mengganggu orang lain yang tidak berkaitan dengannya. 

Misalnya, Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Agama mengatur volume toa atau speaker masjid dan musala sedemikian rupa agar tidak mengganggu orang lain yang tidak membutuhkan. Sayangnya, aturan ini sering disalah pahami bahkan digoreng untuk keuntung pribadi dengan mengatakan bahwa Pemerintah membatasi syiar Islam, Pemerintah melarang azan, dan lain sebagainya. 

Padahal, aturan itu sendiri ditujukan agar orang yang hendak beribadah tidak mengganggu orang lain. Sebab, bisa saja pada waktu azan tiba, ada orang yang sedang beristirahat setelah bekerja seharian, ada bayi yang baru tidur, ada orang tua renta yang sedang sakit, dan sebagainya. Penulis sendiri, ketika masbuuq salat, sering merasa terganggu dengan betapa nyaringnya suara wirid dengan toa.

Aturan toa harus nyaring atau pelan sebaiknya dibicarakan setiap pengurus masjid bersama dengan masyarakat, tidak harus seratus persen mengikuti saran Pemerintah. Sebab, satu daerah bisa berbeda dengan daerah lainnya. Umumnya, di kawasan yang penduduknya seratus persen muslim, apalagi di pedesaan, tidak ada keluhan mengenai toa masjid karena mereka memang membutuhkan. 

Tetapi, di daerah dengan masyarakat yang beragam agama dan pekerjaan, bisa jadi ada orang yang merasa terganggu, baik karena sedang beristirahat dari pekerjaannya mau pun karena dia tidak membutuhkan lantaran berbeda agama. Oleh karenanya, sikap bijak sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. 

Sekali lagi, “Jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat menjijikan, yang merusak hidangan itu.” Jika tidak bisa bermanfaat bagi orang lain, setidaknya bermanfaatlah bagi diri sendiri. Jika tidak bisa memberi manfaat bagi yang lain, setidaknya jangan mengganggu mereka. Jika tidak bisa menjadi muslih (orang yang melakukan perbaikan), jadilah shaalih (orang yang baik bagi diri sendiri).

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini