Kisah Kiai Arwani Amin dalam Mengelola Waktu dan Menepati Janji

Waktu merupakan suatu kata yang sangat krusial bagi kehidupan, terutama manusia. Karena waktu adalah denyut kehidupan itu sendiri. Pun dalam Islam, waktu memasuki semua lini dalam khazanah keilmuan. Dalam al-Qur’an misalnya, waktu dijadikan sumpah seperti wad dhuha (demi waktu dhuha), wan nahari (demi siang), wal laili (demi malam) dan lain semacamnya. 

Selain itu, kita tahu bahwa tak sedikit ibadah-ibadah (mahdhah) yang secara jelas pelaksanaannya diatur dalam waktu tertentu, seperti salat fardlu, zakat fitrah, puasa dan lain semacamnya. Hal ini membuktikan sedemikian pentingnya waktu dalam konteks Islam dan keberislaman.

Membincang soal waktu ada kisah menarik KH. M Arwani Amin. Kiai Arwani sendiri merupakan seorang ulama Ahl al-Qur’an yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah. Kiai Arwani juga seorang santri Hadhrotus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) ketika di Pesantren Tebuireng, Jombang.  Kisah berikut ini diungkapkan oleh Kiai Sya’roni yang dinukil Gus Mus dalam Saleh Ritual, Saleh Sosial nya. 

Suatu ketika Kiai Arwani diundang untuk memimpin khataman al-Qur’an di daerah Selo Purwodadi pada jam tujuh pagi. Panitia menawarkan moda transportasi keberangkatan kepadanya. Namun Kiai Arwani melepaskan tawaran tersebut. Beliau lebih memilih bersepeda karena sudah menjadi kebiasaan dan kegemarannya. 

Tiba hari H Kiai Arwani berangkat ke lokasi khataman bersama sebagian karibnya. Sementara jarak tempuh antara Kudus dan Purwodadi terpaut sekitar 46 km. Melihat jarak tempuh yang cukup jauh Kiai Arwani memutuskan untuk berangkat lebih awal, jam tiga dini hari. Hal tersebut disebabkan lantaran Kiai Arwani khawatir terlambat sehingga merusak acara yang diselenggarakan. 

Sampailah rombongan Kiai Arwani di tujuan pada jam tujuh, tepat sesuai perhitungannya. Seusai khataman, panitia meminta Kiai Arwani untuk menginap sebelum kembali pulang. Tawaran tersebut tidak dipenuhinya sebab bakda subuh beliau akan kembali mengisi pengajian.

Setelah membaca kisah di atas, mungkin pembaca mendapatkan sesuatu yang berbeda. Namun kaitannya dengan waktu, cerita di atas melukiskan kepiawaian Kiai Arwani dalam mengelola waktu. Selain mempertimbangkan kemaslahatan umat, hal ini sejalan dengan semangat yang terkandung dalam QS. Al-‘Ashr.

Surah al-‘Ashr adalah salah satu surat yang membahas tentang waktu. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa kata al-‘Ashr dimaknai dengan waktu. Hanya saja mereka berselisih paham tentang spesifikasi waktu yang dimaksud. 

Ada yang berpendapat waktu salat ashar, waktu yang menampung setiap gerakan, dan masa sepanjang hidup Rasulullah saw. Sementara Shihab sendiri berpandangan bahwa yang dimaksud ialah waktu secara umum (Al-Mishbah).

Kemudian kesejatian manusia ialah berada di dalam jurang kerugian. Hal ini nampak tergambar pada guratan ayat kedua surah tersebut dan diperjelas dengan hadis nabi tentang dua hal yang sering dilalaikan manusia. Meski demikian, al-Qur’an memberi solusi bagaimana manusia agar dapat menaiki dan terbebas dari kerugian. Solusi yang ditawarkan al-Qur’an secara jelas tergambar pada ayat berikutnya.

Secara singkat dalam ayat ketiga ini, ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar dapat terbebas dari kerugian yang disebabkan ketidakmampuan mengelola waktu. Pertama, beriman kepada Allah dengan mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa Muhammad. Namun hal itu kurang sempurna manakala tanpa dibarengi amal saleh kepada sesama sebagai bentuk anjuran yang kedua. 

Tanpa menafikan kisah Kiai atau Ulama yang lain, kiranya sebagai manusia, Kiai Arwani telah berhasil “menghidupkan” surat ini di dalam dunia nyata. Itu artinya, ada peluang yang sama bagi kita untuk mengelola waktu dan lalu mendaki dari jurang kerugian.

Achmad Risky Arwani Maulidi, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Achmad Risky Arwani Maulidi? Silakan Klik disini