Ada dua jenis ‘guyon’ yang problematik tetapi membudaya terutama dalam konteks tabligh akbar. Pertama, guyon yang nyerempet bullying, seperti yang dialami Pak Sonhaji. Kedua, guyonan cabul yang seksis, seperti dialami Ibu Yati.
Keduanya adalah ‘korban’ dari guyonan Gus Miftah. Tetapi, apakah gaya dakwah serba-guyon tersebut eksklusif khas Gus Miftah?
Tidak.
Ia adalah common pattern yang relatif sering kita temui, dengan tingkat olok-olok yang variatif, di dalam skema dakwah Islam yang ‘menuntut’ adanya aspek entertainment, seperti tabligh akbar.
Menimbang latar belakang Gus Miftah (dan konteks kejadian) serta perspektif insider sebagai ‘orang pesantren’, guyon-kebablasan yang dijustifikasi sebagai bagian dari dakwah tersebut, barangkali berhubungan dengan kultur guyon di pesantren, yang di beberapa tempat dan/atau kesempatan, kadang kelewat batas.
Ambil contoh: muhadharah. Dari perspektif pendidikan, ia adalah pendekatan pembelajaran yang partisipatif, students-centered, dan berorientasi penguatan soft skills yang menunjang santri ketika ‘terjun ke masyarakat’.
Namun, kadang ia menjadi ajang ‘uji nyali’ di mana yang bertugas disoraki sedemikian rupa. Kadang, bullying tersebut dinormalisasi sebagai ‘latihan mental’ dan ‘kultur khas santri’. Dan ‘dibiarkan’ oleh pengurus sehingga semakin terasa sebagai sesuatu yang ‘benar’ dan ‘patut’.
Di beberapa konteks, pemahaman Islam yang dimiliki juga bercampur paradigma patriarki sehingga merasa guyonan seksis dan cabul sebagai sesuatu yang lucu dan engaging. Tidak ngeh bahwa perempuan yang diguyoni ‘kalau kamu cantik, kamu jadi lonte’ atau ‘susunya kadaluarsa’ bisa merasa diinjak-injak harga dirinya. Lupa bahwa diteriaki ‘goblok’ ketika sedang kepayahan berjualan sama sekali tidak lucu.
Maka ketika values yang terbentuk tersebut melekat pada identitas dan gaya dakwah, muncul potensi guyon melewati batas ketika hasrat untuk mendapatkan gelak tawa (agar entertaining) jemaah, membutuhkan seseorang untuk ditertawai.
Sedihnya, ketika hal tersebut dibiarkan, maka ia rentan dianggap lumrah, membudaya–dinormalisasi. Adalah betul bahwa setiap manusia tempatnya salah, dan bahwa Gus Miftah dan korbannya sudah ‘mendapatkan hikmah’.
Tetapi, yang tidak kalah penting dari itu adalah menjadikan kasus ini sebagai titik-tolak transformasi pengajaran Islam di mana guyon-bully dan guyon-cabul berhenti dinormalisasi.
Irfan L. Sarhindi, M.A, Ustadz di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Irfan L. Sarhindi, M.A? Silahkan klik disini