Renungan dari Hadis Muflis: Pentingnya Menata Akhlak Sosial

Setiap muslim tentu mengharapkan akhir hidup yang bahagia – husnul al-khatimah: masuk surga dengan rahmat Allah melalui pahala salat, puasa, zakat, dan berbagai amal saleh lainnya. Kita membayangkan bahwa semakin banyak ibadah yang dikerjakan, semakin besar menuju rida Allah dan semakin tinggi tempat tinggal di surga kelak. 

Namun, Rasulullah Saw memberikan sebuah peringatan yang mengguncang kesadaran kita, tentang hakikat sebuah “kebangkrutan”. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya disebutkan bahwa Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabat:

Tahukah kalian siapa orang yang muflis (bangkrut)?

Para sahabat menjawab:

Orang yang bangkrut di antara kami adalah dia yang tidak memiliki dirham (uang) maupun harta berharga.

Rasulullah Saw bersabda:

Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa, dan zakat. Tetapi juga datang dengan membawa dosa (karena) mencaci orang ini, menuduh orang ini, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka diberikanlah pahala kebaikannya kepada orang-orang yang dizaliminya. Jika pahala kebaikannya habis sebelum terbayarkan dosa zalimnya, maka dosa-dosa mereka diambil lalu dibebankan kepadanya. Kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim, no. 2581)

Hadis ini begitu dalam maknanya. Ia tidak hanya menggambarkan keadilan Allah Swt, tetapi juga menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan spritual seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ibadah ritual, melainkan juga dari bagaimana ia bertingkah laku kepada makhluk Allah lainnya, khususnya manusia. 

Makna Muflis yang Sesungguhnya 

Dalam pandangan manusia, orang yang muflis adalah mereka yang bangkrut secara ekonomi: tidak memiliki harta, tidak mempunyai aset berharga, bahkan terlilit hutang. Namun, Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa ada kebangkrutan yang lebih hakiki dan seharusnya dijauhi oleh muslim, yaitu kebangkrutan di akhirat kelak. 

Seorang muslim bisa saja memiliki banyak kekayaan amal ibadah. Ia dapat dikenal sebagai seorang saleh yang rajin ibadah. Tetapi, bisa jadi di saat yang bersamaan dia juga adalah seorang yang lisannya kerap merendahkan, tangannya ringan dalam menzalimi, atau tindakannya selalu merugikan orang lain. Ia menumpuk pahala dengan salat dan puasa, namun di sisi lain ia “menghabiskan” pahala itu dengan mencaci, memfitnah, dan menipu. 

Ketika hari perhitungan tiba, ia datang dengan membawa banyak pahala amal ibadah. Namun, orang-orang yang pernah disakiti dan dizaliminya berdiri mengadu kepada Allah Swt, menuntut keadilan.

Maka, satu per satu dari pahala salatnya dipindahkan kepada orang yang ia hina; pahala puasanya diberikan kepada orang yang pernah dia fitnah; ganjaran kebaikan dari zakatnya berpindah kepada orang yang ia rampas hartanya. Hingga ketika pahala ibadahnya telah habis, sedangkan dosanya kepada orang lain masih tersisa, dosa-dosa orang yang dizalimi itu kemudian ditimpakan kepadanya sebagai tebusan. Akhirnya, alih-alih dimasukkan ke dalam surga, ia justru dilemparkan ke neraka. 

Dosa Sosial: Ketika Lidah Lebih Tajam daripada Pedang

Kezaliman tidak selalu berbentuk kekerasan fisik. Ia kadang lahir dari lisan yang tidak dijaga – mengumpat, menyebarkan aib, memfitnah, bahkan sekadar mencaci dan merendahkan. Di era digital seperti sekarang ini, dosa-dosa semacam ini lebih mudah dibuat dan menyebar. Sebuah kritik yang sejatinya berisi kebenaran, bisa jadi menyebabkan orang lain sakit hati – seperti sebuah penghinaan dan penyebaran aib. 

Dosa-dosa sosial dapat menjadi beban yang sangat berat di akhirat kelak, berbeda dengan dosa kepada Allah Swt. Imam al-Nawawi dan al-Qurthubi, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Diibaaj ‘alaa Shahiih Muslim Ibn al-Hajjaaj (jil. 4, hlm. 477) menjelaskan bahwa hak-hak manusia tidak dapat digantikan dengan kebajikan ritual (ibadah kepada Allah) semata, meskipun ia memiliki ibadah yang luar biasa besar ganjarannya. 

Imam al-Suyuthi menulis, “al-Nawawi dan al-Qurthubi berkata… bahwa jihad, kesyahidan (mati syahid), dan amal baik lainnya tidak menghapus hak-hak manusia. (Amalan-amalan tersebut) hanyalah menghapus hak-hak Allah Swt.

Para ulama menjelaskan bahwa menebus dosa kepada Allah jauh lebih mudah dibandingkan menebus dosa yang berkaitan dengan manusia. Allah yang Maha Pengampun akan selalu mengampuni dosa-dosa hamba-Nya ketika mereka bertobat. Dia menegaskan, melalui sabda Rasul-Nya, bahwa “Kasih sayang-Ku lebih besar daripada murka-Ku”. 

Sedangkan dosa kepada manusia tidaklah cukup hanya dengan tobat dan ibadah-ibadah ritual – salat, puasa, zakat, bahkan kematian syahid. Dosa kepada manusia hanya dapat dihapus dengan menyelesaikan urusan kepada orang yang bersangkutan. 

Keadilan Allah di Hari Pembalasan

Hadis muflis ini menegaskan keadilan Allah Swt. Di dunia, banyak orang yang terzalimi tidak mendapatkan pembelaan. Ada yang tidak dapat membalas karena tidak memiliki kuasa untuk membalas. Ada juga yang tetap terzalimi meski telah memohon pertolongan kepada aparat yang memiliki wewenang – baik karena diabaikan atau pun mendapatkan keputusan yang tidak adil. 

Namun, di akhirat kelak semua akan mendapatkan keadilan oleh Allah Swt. Dia tidak perlu saksi atau bukti, karena seluruh anggota tubuh akan menjadi saksi. Bahkan, bumi yang dipijak akan bersaksi atas kezaliman yang diperbuat. Selain itu, Dia Maha Mengetahui. 

Maka, dari hadis ini kita dapat belajar bahwa menjaga hubungan kepada sesama manusia sama pentingnya dengan menjaga hubungan kepada Allah Swt. Sebab, identitas manusia tidak sebatas sebagai hamba Tuhan, melainkan juga makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia lainnya. 

Dari hadis ini kita juga dapat bercermin, apakah ritual-ritual ibadah kita kepada Allah sudah diiringi dengan kesalehan ritual kepada sesama. Atau justru sebaliknya, bahwa tingginya ibadah yang kita laksanakan justru membuat diri menjadi angkuh dan merasa lebih baik daripada orang-orang di sekitar.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini