Oleh Nurul H. Maarif*)
Ketika menulis artikel ini, sungguh hati penulis berbinar penuh bunga kegembiraan dan ketakjuban. Apa pasal? Selasa, 29 Januari 2019 sore, penulis mendapat kehormatan untuk berkumpul bersama para tokoh lintas agama Propinsi Banten; Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Minus Konghucu. Bertempat di Pendopo Kabupaten Pandeglang, kegiatan bertema Doa Pertaubatan Lintas Agama ini diselenggarakan atas kerja sama Musyawarah Pimpinan Gereja-gereja (MUSPIJA) Banten, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Banten.
Hadir antara lain, ulama kharismatik Banten, Abuya Muhtadi Dimyati, Ketua MUI Banten sekaligus Ketua FKUB Banten Dr. KH. AM Romli, KH. Hariman, Petinggi FSPP Banten KH. Matin Jawahir, Pendeta Peter (BSD), Pendeta Benny Halim (Serang), Pendeta Yuke (Serang), Pendeta Purba (Cilegon), tokoh agama Hindu, Budha, Bupati Pandeglang Irna Narulita, Kapolres Pendeglang, Dandim Pandeglang, para santri, aktivis dan banyak lagi.
Diantara yang unik, kegiatan ini diselenggarakan di Pandeglang, kabupaten di Banten, yang tidak memiliki tradisi doa lintas agama secara kuat, karena tidak ada satupun gereja atau tempat ibadah agama lain yang berdiri di sana. Namun, kegiatan ini nyatanya bisa dihelat di sana penuh kesyahduan. Bencana Tsunami yang menerpa wilayah Pandeglang, Serang dan Lampung, Sabtu, 22 Desember 2018 lalu dan nilai-nilai kemanusiaanlah yang mampu menyatukan semua unsur yang berbeda latar belakang itu. Di luar “sebab” inipun, sejatinya mereka biasa bersama dalam forum-forum lainnya.
Sekaitan kegiatan kemanusiaan lintas agama ini, ada beberapa catatan penting yang kiranya patut diberi garis tebal. Pertama, kegiatan ini menunjukkan kewibawaan alamiah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semua unsur agama bisa hadir di sana dengan penuh keakraban dan kerukunan. Tak ada sekat perbedaan yang menjadi hambatan. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi warisan penting para leluhur, benar-benar mengejawantah nyata menjadi gerakan aksi bersama yang penuh kemuliaan, bukan hanya slogan yang mati. Dalam tausiah singkatnya, Abuya Muhtadi menekankan pentingnya menjaga NKRI sebagai warisan leluhur bangsa ini. Kata beliau, kita semua adalah Indonesia. Dan kita semua adalah Pancasila. Tak seorangpun berhak mengganggunya, apalagi menggantinya dengan ideologi yang lain.
Kedua, kehadiran tokoh-tokoh lintas agama Banten dari berbagai kabupaten/kota ini menunjukkan bahwa sesungguhnya “tidak terjadi apa-apa diantara kita”. Semua baik-baik saja. Bahkan dalam kesempatan itu, lima tokoh agama berdoa untuk kebaikan bangsa ini secara bergiliran dan diamini oleh ratusan hadirin. Bahwa ada riak-riak kecil hubungan antar agama, yang ditunjukkan oleh kelompok kecil yang garang, itu sesungguhnya bukanlah kesimpulan umum hubungan antara agama di negeri ini sejak zaman ke zaman, karena sejak awal sejarahnya, kita ini bangsa besar yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan persatuan.
Ketiga, kehadiran tokoh-tokoh lintas agama ini menunjukkan secara gamblang, bahwa semua agama di atas bumi ini mengedepankan ajaran kepedulian pada nilai-nilai kemanusiaan. Kemanusiaan adalah dasar kesatuan semua umat manusia. Tanpa pandang latar belakang, agama melihat kemanusiaan sebagai unsur persaudaraan tertinggi. Dalam perspektif Islam misalnya, tidak ada perbedaan antara orang kulit putih dan kulit hitam, Arab dan non-Arab, atau apapun. Ketika saudara semanusia kita terkena musibah, maka semua bergerak untuk saling membantu. Inilah ibadah sosial yang menjadi nilai utama agama-agama.
Keempat, semua manusia sesungguhnya memiliki nurani yang sama, yakni nurani kemanusiaan. Kita sebagai bangsa yang besar dan bersaudara, tak bisa melihat saudara-saudara kita terkena musibah dan hidup dalam kesengsaraan sendirian. Karena itu, lihat saja, berbagai empati dan bantuan terus mengalir kepada para korban, dari berbagai kalangan; baik yang seagama maupun yang beda agama. Dalam kegiatan inipun, pihak MUSJIPA memberikan bantuan baik makanan pokok maupun kebutuhan lainnya. MUSPIJA bahkan menyediakan enam tenaga medis/dokter selama dua hari penuh di daerah Sumur Pandeglang yang terkena dampak Tsunami terparah. Kalangan Islam, Katolik, Hindu, Budha, dll, terus menunjukkan simpati dan empati. Inilah hakikat gotong royong yang menjadi ciri khasa bangsa ini.
Kelima, bangsa ini terdiri dari berbagai suku dan agama. Momen ini menunjukkan betapa kerukunan sudah semestinya dijaga dan dirawat oleh semua. Andaikan di berbagai wilayah negeri ini semua penduduknya mampu menunjukkan nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan yang indah, niscaya kebesaran dan kejayaan bangsa ini tidak bisa dihalang-halangi oleh pihak manapun. Dan mari kita ingat, bahwa bangsa ini besar karena semua kalangan bahu-membahu menegakkan kedaulatan. Semua terlibat aktif membebaskan bangsa ini dari penjajahan. Pendeta Peter, dalam sambutannya menyatakan, ayahnya turut berjuang melawan penjajah. Kini, ayahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya Jawa Timur. Ini menggambarkan semua kalangan terlibat pembelaan pada negara ini. Menjadi ahistoris jika ada sekelompok kalangan yang ingin mengambil alih dan memiliki negara ini sendirian.
Keenam, terkait kiprah pejabat perempuan dalam ranah publik. Bupati Pandeglang, Erna Narulita, yang turut hadir dan memberi sambutan, tidak canggung berbaur dan berkiprah bersama para tokoh agama yang kebanyakan laki-laki. Ini menggambarkan, hari ini latar belakang kelamin tidak lagi menjadi hambatan untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat. Tidak ada lagi kelas manusia karena perbedaan kelamin. Bahkan secara khusus di Banten, daerah yang khas dengan nilai keislamannya, beberapa wanita tangguh berhasil menjadi kepala daerah tanpa penolakan: Iti Oktavia Jayabaya, Tatu Hasanah, dan Airin Rachmi Diani. Mereka ditempatkan pada posisi setara dengan laki-laki di ruang public. Karena itu, hanya orang mulialah yang memuliakan wanita dan hanya orang hinalah yang menghinakan wanita.
Ketujuh, melihat suasana kegiatan kemanusiaan atau sosial yang begitu syahdu, rasanya kita patut optimis jika bangsa ini akan baik-baik saja ke depan. Syaratnya, antara satu umat dengan umat yang lain harus bisa saling bekerja-sama dan gotong-royong tanpa prasangka buruk apapun. Dan untuk saat ini, kegiatan serupa ini akan menjadi oase penyejuk di tengah situasi politik jelang Pilpres dan Pileg 17 April 2019 mendatang yang terkadang diwarnai fanatisme berlebihan dan suasana panas. Mari kita tunjukkan, inilah sesungguhnya Indonesia. Inilah kita![]
*) Penulis adalah Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak, dan Penulis beberapa buku diantaranya “Islam Mengasihi Bukan Membenci” (Mizan: 2017)
(www.islamkaffah.id, 15 April 2019)