Menurut cerita atau kisah yang beredar luas di masyarakat, orang yang menjadi penggagas utama dalam memperingati perayaan maulid Nabi Muhammad SAW adalah Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, yaitu panglima perang Mesir. Ia mengusulkan ide maulid Nabi kepada Sultan Mesir, Muzaffar bin Baktati yang terkenal arif dan bijaksana. Sholahuddin Yusuf Al Ayyubi, panglima perang pada masa masa Khalifah Muiz Liddinillah dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir pada tahun 365H/975M.
Lain hal dengan pendapat di atas, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa pelopor utama adanya maulid bukan Solahuddin al-Ayyubi, akan tetapi raja Irbil yang bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri. Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah.
Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,` alim dan seorang yang adil. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya.
Baca Juga: Pandangan Para Ulama Mengenai Perayaan Maulid Nabi
Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan mawlid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang dibuat untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Moroko menuju Syam dan seterusnya ke Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzhaffar. Para ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahawa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian.
Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-’Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-`Izz ibn `Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir yaitu Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lubnan iaitu Syeikh Mushthafa Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan al-Imam al-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Terlepas dari dua pendapat di atas, apakah penggagas utama Sultan Solahuddin al-al-Ayyubi atau Sultan al-Muzhaffar, yang jelas maulid ketika itu membangkitkan semangat umat muslim untuk meneladani semangat ajaran Rasulullah Saw. Disaat keterpurukan umata Islam atas gempuran tentara salib, dengan maulid seolah dibangunkan semangat juang dan semangat juang itu disatukan dengan perayaan maulid yang besar-besaran.
Seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, pearayaan ini tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun. Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tradisi Maulid di Banten
Dalam perkembangannya, sejarah maulid itu terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan, bermula dari semangat juang umat Islam ketika menghadapi perang Salib, penyebarannya hingga masuk ke nusantara, termasuk Banten. Menilik sejarah perkembangan dzikir mulud atau dikenal juga dengan dzikir Saman di Banten, kesenian dzikir saman diperkirakan sudah ada sejak awal abad 18, pada jaman kesultanan Banten. Kesenian ini tumbuh dan berkembang dibawa oleh para ulama ketika sedang menyebarkan agama Islam di Banten.
Menurut Sholahuddin Al-Ayubi yang mengutip Lukman Hakim, sejarah zikir mulud sudah populer pada tahun 1927-1940, di suatu desa Serdang, Kecamatan Kramatwatu Serang, ada lima orang ulama, yaitu KH. Dali, KH. Dulfatah, KH. Umar, KH. Muhriji, dan KH. Balhi yang berguru pada seorang tokoh ulama KH. Erab, sebagai ulama guru zikir yang populer di Banten.
Baca Juga: Kapan Perayaan Maulid Nabi Pertama Kali Dirayakan?
Seni zikir yang dipelajari oleh kelima ulama di atas, merupakan cikal bakal munculnya zikir mulud. Sehingga tidak heran seni zikir ini berkembang sampai ke generasi ke-6. Pada tahun 1940-1955, zikir mulud lebih berkembang lagi dengan generasi keduanya, yaitu : H. Said dan KH. Ahya. Dan pada tahun 1955-1965 merupakan tahun generasi yang ketiga, dengan tokohnya, yaitu H. Surni Afik, A. Sakun, Hamami, Ki Hamdani, dan Ki Jane. Pada generasi ketiga inilah sebenarnya seni zikir panjang mulud sudah terebar termasuk di Kapung Tanggul Cimuncang Serang. Menurut Haji. Aslh, ketika ia umur enam tahun zikir mulud dan panjang mulud sudah ramai di Kampung Tanggul.
Namun dalam pertumbuhannya sampai sekarang, di daerah tertentu di Banten, kesenian ini mengalami perkembangan dan perubahan. Membincang dzikir mulud tempo dulu, yang dulunya Dzikir Saman hanya dipertunjukkan pada saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. (Muludan), kini berkembang dan dipertunjukkan pada acara sunatan, perkawinan, dan syukuran rumah. Adapun perubahan dalam pola gerak terjadi, dengan munculnya tarian dari penonton yang mengikuti irama vokal (beluk). Perubahan pada tarian merupakan desakan dari penonton yang menghendaki tarian Saman lebih variatif. Sehingga sekarang gerakan dalam kesenian Dzikir Saman tidak hanya pada kaki melainkan ditambah dengan gerakan tangan.
Tradisi ini hingga kini masih terus dilestarikan di setiap bulan Rabi’ul Awwal. Kendati tak jarang perkembangannya diikuti dengan kuatnya nuansa tradisi yang mengikutinya, misalnya dengan tradisi Panjang mulud atau tradisi lainnya yang lebih besar dari sekedar Panjang mulud. Semangat ini penting dalam rangka melestarikan tradisi sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi dengan berbagai ekpresi keagamaan, selama tidak memaksakan dan masih dalam koridor Syariat agama.
Dr. Hasani Ahmad Said, Dosen Tetap UIN Jakarta, Pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat, dan Ustadz di cariustadz.id