Demokrasi sebagai teori maupun sebagai praktik politik memang muncul dari pengalaman negara-negara Barat. Demokrasi sebagai sistem politik juga datang dari Barat. Tetapi sebagai esensi, demokrasi bukan monopoli milik bangsa Barat. Kita melihat bahwa demokrasi adalah suatu kekuasaan yang dibangun dengan dasar musyawarah. Kekuasaan bukan merupakan urusan semata-mata penguasa itu sendiri.
Di dalam tradisi monarki tradisional termasuk monarki yang berkembang di dunia Arab atau dunia Islam dulu dan juga dunia-dunia yang lain, raja menempati posisi yang paling sentral. Kekuasaan, politik, dan negara identik dengan raja. Seperti kata seorang Raja Perancis Louis ke XVI L’État, c’est moi yang artinya Negara adalah Aku. Itulah praktik di dalam monarki tradisional.
Islam sebetulnya menginginkan kekuasaan tidak seperti itu. Pertama-tama kekuasaan itu harus diikat oleh suatu aturan dan batas yang bukan merupakan ciptaan penguasa. Aturan dan batas ini berasal dari wahyu. Karena itu di dalam Islam ada gagasan tentang Syariah dan hukum. Di dalam Islam dikenal dengan hukum fikih, termasuk hukum fikih yang mengatur kekuasaan. Hukum ini bukan ciptaan penguasa, ia bersumber dari wahyu kemudian dirumuskan oleh para ulama. Penguasa terikat oleh aturan fikih ini.
Abdul Hamid al-Ghazali, seorang pemikir besar Islam abad ke-10 M pengarang Ihya Ulumuddin, mengatakan al-mulku wa al-dinu tau’amani kekuasaan dan agama itu saudara kembar. Al-Ghazali juga mengatakan al-dinu ashlun wa al-mulku harishun agama adalah pokok yang artinya sumber moral, aturan, dan hukum, sementara kekuasaan adalah penjaga yang memastikan supaya hukum moral ini berjalan dalam masyarakat. Itulah visi politik dalam Islam.
Dalam konsepsi Islam raja bukan satu-satunya aktor dalam sistem politik, dia harus mendengarkan rakyatnya. Raja harus menyertakan pihak-pihak lain untuk memberikan usulan, pendapat, kritik, dan seterusnya. Jadi pada intinya musyawarah adalah dasar pengelolaan hidup bersama yang dicita-citakan Islam. Al-Quran menyatakan, wa amruhum syura bainahum, perkara-perkaranya orang-orang beriman itu dipercakapkan, dimusyawarahkan di antara mereka.
Merujuk pada Pancasila kita yaitu sila ke-4 adalah Musyawarah Mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Ini sebetulnya diinspirasi oleh ajaran penting dalam Islam yaitu Musyawarah. Musyawarah itu artinya pendapat yang diberikan oleh banyak pihak dan mereka saling memberikan masukan untuk merumuskan kemaslahatan bersama. Jadi demokrasi dalam pandangan Islam esensinya adalah musyawarah, pendapat dari semua pihak ditampung untuk merumuskan kemaslahatan bersama.
Karena itu demokrasi secara moral dan etis bukan sesuatu yang asing bagi Islam. Islam sendiri sudah mengajarkan tentang pentingnya musyawarah. Oleh karena itu musyawarah di dalam konteks modern kita bisa terjemahkan dalam bentuk demokrasi. Karena itu saya berpendapat bahwa demokrasi adalah prinsip pengelolaan politik yang diterima dalam Islam dan karena itu kita perlu mempertahankan demokrasi ini, alhamdulillah Negara kita Negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia dan sekaligus Negara yang demokratis. Kita bersyukur bahwa Islam dan demokrasi kompatibel, cocok antara satu dengan yang lain. Ini adalah salah satu sumbangan penting dari pengalaman umat Islam di Indonesia kepada dunia bahwa Islam dan demokrasi bisa jalan bareng di Negara Muslim terbesar di dunia ini.
KH. Ulil Abshar Abdalla, M.A, Pendiri Ghazalia College dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang KH. Ulil Abshar Abdalla, M.A? Silakan Klik disini
Artikel ini disadur dari video Ruang Tengah Cariustadz. Untuk menonton videonya silakan Klik disini.