Al-Quran dan Tuntunan Merawat Generasi Remaja

Fenomena degradasi moral yang cukup banyak terjadi di kalangan remaja ialah satu dari sekian banyak masalah sosial yang menjadi perhatian serius kita semua. Hal ini tidak hanya memengaruhi individu remaja secara pribadi melainkan juga berdampak pada keluarga, sekolah, masyarakat bahkan negara. Jika kita telusuri, fenomena ini dipicu oleh beragam faktor; tekanan teman sebaya, disfungsi keluarga, rendahnya pengawasan orangtua hingga pengaruh social media. Sofyan Willis (2014) melihat kenakalan remaja sebagai kelainan tingkah laku atau tindakan remaja yang melanggar norma-norma sosial, agama, serta ketentuan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

Beberapa tindakan yang melanggar norma tersebut, tak luput dari fakta bahwa remaja (adolescence) merupakan sebuah masa peralihan anak-anak ke arah yang lebih dewasa melalui proses perkembangan dan kematangan fisik, emosional, dan mental. Masa ini dialami rentang usia 10 sampai 21 tahun. Dalam rentang waktu yang panjang ini remaja mengalami berbagai macam perubahan dalam dirinya yang tidak semua hal mereka pahami. Karena itu bimbingan dari orangtua dan guru sangat dibutuhkan pada fase peralihan ini.

Berbicara mengenai perkembangan manusia, Al-Quran memberikan informasi komprehensif mengenai isyarat peralihan masa ini. Dalam Qs. Ar-Rum/ 30: 54 Allah berfirman, “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa

Dalam Qs. Ar-Rum/30: 54 di atas, Allah memberikan isyarat melalui term dha’fun/ lemah yang diartikan oleh beberapa mufassir (Ibn Katsir, Syakh Jalaludin As-Suyuthi, Syaikh Wahbah Zuhayli, Prof. M. Quraish Shihab & Tafsir Kemenag RI) yakni min maa-in mahiin/ air mani yang hina dan diproses hingga beberapa masa kemudian menjadi khalqan akhar/ makhluk yang sempurna yakni bayi. Setelah dilahirkan dan belum berdaya melakukan apapun, manusia terus tumbuh dan berkembang lalu masuk ke fase quwwah (kuat fisik, psikisnya, ingatannya) yang menurut Quraish Shihab ialah fase dewasa, usia produktif, lalu kembali ke dha’af lagi atau lanjut usia dimana kekuatan fisik dan ingatan tidak sebugar saat muda. Karena itu, Yusuf Qardhawi melihat fase krusial manusia sesungguhnya di fase quwwah yang pertumnbuhan awalnya di masa aqil baligh. Pada masa ini, penguatan fisik, mental, terlebih spiritual harus menjadi perhatian serius orangtua.

Aqil baligh merupakan istilah dalam Islam yang mengaitkan pubertas dengan kewajiban seseorang kepada Allah atas perubahan yang terjadi pada dirinya. Fase ini bermula di usia SD (sejak usia 10 tahun) tepatnya saat sekitar kelas 5 SD. Pada tahap ini anak membutuhkan tahap latih yang serius untuk segera mampu memikul syari’ah (mukallaf). Tentu, fase aqil baligh tidak serta merta mudah dilalui oleh seorang anak terlebih orangtua. Karenanya, proses pengasuhan harus dilakukan oleh kedua orangtua agar pendidikan karakter dapat tertanam secara sempurna.

Dalam proses pengasuhan yang sedemikian luar biasa, Harry Santosa, penggagas Fitrah Based Education misalnya membagi empat fase perkembangan seorang anak yang tidak boleh lepas dari ayah dan ibunya. Pertama, fase 0-2 tahun, anak harus dekat dengan ibunya melalui proses penyusuan agar tercipta ikatan yang kuat sejak kecil. Kedua, fase usia 3 sampai 6 tahun, anak laki-laki dan perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan rasional dan emosional. Ketiga, fase usia 7-10 tahun, anak laki-laki lebih didekatkan dengan ayahnya. Hal ini karena egosentrisnya mulai mereda dan bergeser ke sosiosentrisnya. Anak laki-laki sudah harus diajarkan untuk memiliki tanggungjawab moral. Begitu juga dengan anak perempuan, pada usia ini, mereka harus didekatkan dengan ibunya agar peran perempuan dan keibuannya tumbuh. Ibu harus mampu menjadi sosok wanita pertama yang dikenang dalam peran seksualitas perempuannya. Jika sosok ayah dan ibu tidak hadir pada fase ini, maka potensi homoseksual atau penyimpangan seksual lainnya akan semakin menguat.

Keempat, fase usia 10 sampai 14 tahun, anak laki-laki harus didekatkan pada kepada sosok ibu dan anak perempuan harus didekatkan pada sosok ayah. Sebab di fase ini, anak laki-laki dan perempuan telah memiliki ketertarikan pada lawan jenis. Pada fase ini, sosok ayah harus mampu menjadi tempat curhat bagi anak perempuannya. Anak perempuan yang tidak dekat dengan sosok ayah, maka besar kemungkinan ia akan sangat mudah menyerahkan kehormatannya pada laki-laki yang dianggap mampu menggantikan sosok ayahnya. Demikian, keempat fase ini, utamanya fase usia 10-14 masa aqil baligh merupakan fase kritis karena fitrah seksualitas tengah berada pada puncaknya.

Mengingat pentingnya merawat fitrah seksualitas di usia aqil baligh ini, sebagai orangtua, kita perlu belajar agar lebih siap dalam menghadapi dan mendampingi tantangan yang dialami remaja. Prof. M. Quraish Shihab dan Najeela Shihab dalam ‘Seksualitas dan Interaksi; Pendidikan dari Perspektif Al-Quran dan Sunnah’ memaparkan bahwa kunci keberhasilan membangun manusia berkeadaban salah satunya bermula dari rumah. Karena itu, pendidikan seksualitas yang masih dianggap tabu, kerap dinilai kotor dan dianggap sebagai rahasia, harus diredefinisi. Pembahasan  tentang seksualitas harus dibicarakan secara sehat, dua arah antara anak dan orangtua & dimulai dari rumah. Sebab sesungguhnya, Islam telah secara terbuka membicarakan topik ini disertai anjuran pengendalian diri agar tidak mengundang perilaku tidak sehat (penyimpangan seks/ seks bebas, red).

Sebagai upaya preventif dan solutif, Al-Quran dan Hadits memberikan petunjuk, di antaranya; pertama, mengajak untuk shalat di fase pra baligh (7 tahun) dan berupaya memisahkan tempat tidur ‘Perintahlah anak-anakmu untuk mendirikan shalat ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah bila enggan mendirikan shalat ketika telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud). Kedua, perintah menjaga pandangan (ghaddu al-bashar) dan menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan (Qs. An-Nur/24: 30-31). Ketiga, perintah izin ketika memasuki kamar orangtua di tiga waktu khusus; sebelum shalat subuh, di tengah hari dan sesudah shalat Isya’ (Qs. An-Nur/ 24: 58-59). Keempat, perintah menjaga kesucian diri ketika belum mampu menikah (Qs. An-Nur/24: 33) salah satunya melalui puasa sunnah (HR. Bukhari dan Muslim). Kelima, sebagai ikhtiar kita di era teknologi ini, orangtua dapat membuat kesepakatan kepada anak-anak (sesuai usianya) kapan waktu berinteraksi dengan HP/ media sosial dan kapan waktu mereka untuk melakukan aktivitas ibadah dan bermanfaat bersama keluarga. Selain membuat kesepakatan, orangtua bisa terus mendampingi anak-anak dan interaksinya di dunia maya.

Semoga, melalui langkah-langkah yang ditawarkan Al-Quran dan hadits ini, Allah memudahkan ikhtiar kita untuk menjadi orang tua yang mendidik sepenuh hati dan jiwa dengan cinta yang sempurna. Aamiin.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini