Kita hidup di zaman ketika nasihat begitu mudah diucapkan, tapi sulit diterapkan pada diri sendiri. Media sosial penuh dengan kutipan, pengingat, dan dakwah yang menegur orang lain. Kita pun terbiasa menilai siapa yang kurang ibadahnya, siapa yang sombong, siapa yang lalai. Semua itu memang bagian dari kepedulian. Namun, ada satu dakwah yang sering terlupakan, yakni menasehati diri sendiri.
Dalam Islam, menasehati diri atau muhasabah merupakan dakwah yang paling jujur. Sebab, sebelum seseorang menyeru kebaikan kepada orang lain, ia perlu memastikan bahwa dirinya sudah berusaha melakukannya terlebih dahulu. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini mengajarkan bahwa setiap muslim harus memiliki kesadaran untuk menilai diri sendiri, memperbaiki niat, mengoreksi kekurangan, dan menata kembali hidupnya. Tanpa kebiasaan menasehati diri, amal kebaikan bisa kehilangan maknanya. Ia bisa tampak benar di lisan, tapi kosong di hati.
Nasihat Dimulai dari Diri Sendiri
Rasulullah SAW bersabda, Agama itu adalah nasihat (HR. Muslim). Hadis ini tidak hanya mendorong kita untuk menasehati orang lain, tetapi juga menekankan pentingnya menasihati diri sendiri. Hakikat nasihat adalah ketulusan untuk memperbaiki, dan perbaikan yang paling jujur dimulai dari diri sendiri.
Karena itu, seorang muslim yang berdakwah seharusnya menjadikan dirinya sebagai objek dakwah pertama. Ketika seseorang berusaha menjalankan nilai yang ia sampaikan, dakwahnya menjadi nyata dalam perilaku sehari-hari.
Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa inti dari perbaikan diri terletak pada hati. Beliau bersabda, “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa dakwah sejati bermula dari perbaikan hati. Ketika hati bersih, tindakan dan ucapan akan mengikuti. Sebaliknya, hati yang dibiarkan keras dan sombong menjadikan dakwah kehilangan ruhnya, dan lebih banyak menghakimi daripada memperbaiki.
Muhasabah Sebagai Sarana
Muhasabah menjadi sarana agar setiap muslim tetap sadar terhadap hubungannya dengan Allah dan sesama manusia. Evaluasi diri ini mendorong seseorang melihat kembali amal hariannya. Apakah salatnya dilakukan dengan sungguh-sungguh, apakah ucapannya membawa manfaat, dan apakah kebaikan yang dilakukan semata karena Allah, bukan demi pujian manusia. Dengan cara ini, muhasabah menjaga keikhlasan dan mencegah munculnya sifat riya.
Namun, perlu dibedakan antara muhasabah yang membangun dan introspeksi yang menjerumuskan pada rasa bersalah berlebihan. Islam mengajarkan keseimbangan, yakni mengakui kesalahan tanpa kehilangan harapan. Allah selalu membuka pintu taubat selebar-lebarnya bagi siapa pun yang ingin memperbaiki diri.
Maka, muhasabah yang benar bukan membuat seseorang tenggelam dalam rasa bersalah, melainkan menumbuhkan semangat untuk berubah menjadi lebih baik. Orang yang mampu menasehati dirinya dengan cara ini akan menemukan kedamaian, karena ia yakin bahwa setiap kekurangan selalu punya ruang untuk diperbaiki.
Kejujuran Sebagai Kunci
Tantangan terbesar dalam menasehati diri adalah keengganan untuk jujur. Banyak orang lebih mudah menyalahkan keadaan atau mencari pembenaran atas kesalahannya daripada mengakuinya. Padahal, kejujuran terhadap diri sendiri adalah langkah awal menuju perbaikan. Rasulullah SAW meskipun maksum dan dijamin ampunan Allah, tetap beristighfar setiap hari. Sikap beliau menunjukkan bahwa introspeksi dan kerendahan hati adalah ciri orang beriman.
Para sahabat juga meneladani hal ini. Mereka tidak menolak nasihat dan tidak merasa malu mengakui kesalahan. Bagi mereka, menerima koreksi adalah bagian dari keimanan. Kesadaran inilah yang menjaga mereka tetap rendah hati dan terbuka terhadap perbaikan.
Membiasakan Muhasabah dalam Kehidupan
Kebiasaan muhasabah juga perlu ditanamkan dalam keseharian. Seseorang dapat memulai dengan mengevaluasi dirinya setiap malam sebelum tidur. Merenungkan apa yang sudah dilakukan sepanjang hari, baik yang bermanfaat maupun yang perlu diperbaiki. Tindakan sederhana seperti ini menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab moral. Jika diringi dengan doa dan istighfar, muhasabah menjadi sarana membersihkan hati dan memperkuat hubungan dengan Allah.
Selain itu, lingkungan juga berperan penting dalam menjaga semangat perbaikan diri. Berteman dengan orang saleh yang mau mengingatkan dengan cara yang baik akan membantu seseorang tetap istiqamah. Dukungan sosial yang positif menjadikan muhasabah bukan hanya kesadaran pribadi, tetapi budaya yang menguatkan iman bersama.
Pada akhirnya, setiap dari kita bisa memulai dengan satu pertanyaan sederhana, apa yang sudah aku lakukan hari ini untuk mendekatkan diri kepada Allah? Jika pertanyaan itu menjadi bagian dari keseharian, maka dakwah tidak lagi berhenti pada ucapan, namun tumbuh menjadi perilaku nyata. Sebab, dakwah yang paling kuat bukan yang paling lantang, melainkan yang paling konsisten diterapkan pada diri sendiri.
Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd, Ustadzah di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadzah Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd? Silakan klik disini