Salah satu dosa besar dalam dunia pendidikan kita yang tak kunjung usai adalah fenomena bullying atau perundungan. Ia terus membayangi, diam-diam menjelma menjadi dosa sosial yang tak kunjung terselesaikan. Dampaknya tidak ringan—bullying meninggalkan jejak trauma yang mendalam, menciptakan luka batin yang kerap terbawa hingga dewasa. Bagi sebagian korban, perundungan bukan sekadar insiden masa lalu, melainkan titik balik yang membentuk rasa inferior (rendah diri) dan perasaan tidak berharga.
Kini, tahun ajaran baru 2025 telah dimulai. Sekolah-sekolah menyambut peserta didik dengan semangat pembaruan dan harapan baru. Namun, di balik riuh semangat tersebut, tantangan klasik kembali mengintai: bullying dalam berbagai bentuk—verbal, fisik, hingga digital. Perundungan masih menjadi bayang-bayang yang mengancam terciptanya lingkungan belajar yang aman, sehat, dan manusiawi.
Dalam situasi ini, sangat penting bagi lembaga pendidikan untuk mengambil langkah nyata dan tegas. Upaya pencegahan tidak cukup hanya sebatas kampanye seremonial atau slogan motivasi sesaat. Diperlukan pendekatan yang transformatif dan menyentuh akar persoalan. Salah satu sumber nilai paling fundamental yang dapat dijadikan pijakan ialah Al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang menyebarkan nilai rahmah (kasih sayang), keadilan, dan kemuliaan manusia, Al-Qur’an sesungguhnya telah memuat prinsip-prinsip dasar yang dapat membimbing dunia pendidikan untuk membangun budaya anti-bullying.
Pengakuan atas Martabat Manusia
Pertama, salah satu nilai etis paling mendasar yang diusung Al-Qur’an ialah penghormatan terhadap martabat manusia, atau yang dalam istilah Arab disebut al-karāmah al-insāniyyah. Nilai ini ditegaskan secara eksplisit dalam firman Allah:
Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 70)
Ayat ini menjadi pijakan utama dalam membangun cara pandang Qurani yang menghargai kemanusiaan secara utuh. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, kata karramnā (Kami muliakan) berasal dari akar kata kaf-ra’-mim yang bermakna kemuliaan atau keistimewaan, tergantung pada konteks objeknya. Ini berbeda dari kata faḍḍalnā (Kami lebihkan), yang berasal dari akar kata faḍl yang berarti tambahan atau kelebihan atas sesuatu yang sebelumnya dimiliki bersama oleh semua makhluk.
Perbedaan ini penting untuk dipahami. Faḍl mengacu pada anugerah yang bersifat eksternal, seperti rezeki yang dibagikan secara berbeda antar makhluk. Sementara itu, karāmah adalah keistimewaan yang melekat dalam diri manusia sejak awal penciptaannya—bersifat internal, tidak tergantung pada status sosial, ekonomi, suku, atau agama. Inilah alasan mengapa manusia memiliki nilai yang melekat hanya karena ia manusia, bukan karena capaian atau identitas tertentu.
Sebagai contoh konkret, Rasulullah saw. pernah berdiri untuk menghormati jenazah seorang Yahudi yang sedang diarak. Para sahabat terheran dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, itu adalah jenazah orang Yahudi”. Beliau menjawab dengan pertanyaan yang menggugah,
“Bukankah ia juga seorang manusia?”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap Rasulullah ini mencerminkan bahwa kemuliaan manusia bersifat universal dan lintas batas keyakinan. Inilah etika profetik yang semestinya menjadi spirit utama dalam dunia pendidikan kita yakni memanusiakan manusia.
Lebih jauh lagi, Al-Mawardi dalam tafsir Nukat wal-‘Uyun menjelaskan setidaknya tujuh bentuk kemuliaan yang diberikan Allah kepada anak-anak Adam, yakni (1) Allah memuliakan manusia dengan mencurahkan berbagai nikmat-Nya; (2) Allah memberikan mereka akal dan daya pikir sebagai pembeda dari makhluk lain; (3) Allah menjadikan manusia sebagai umat terbaik yang ditugaskan untuk membawa maslahat bagi semesta; (4) Allah memberikan kemampuan makan dan minum dengan tangan mereka sendiri—kemampuan simbolik yang menunjukkan kontrol dan kesadaran; (5) Allah memberi mereka kuasa untuk memerintah dan melarang, tanda dari otonomi dan tanggung jawab moral; (6) Allah menganugerahi lisan dan tulisan, sarana ekspresi dan transmisi ilmu pengetahuan; dan (7) Allah menundukkan banyak makhluk untuk kepentingan manusia sebagai amanah.
Seluruh bentuk kemuliaan ini menegaskan bahwa manusia bukan makhluk sembarangan. Ia adalah makhluk yang dimuliakan Allah SWT. Ayat di atas sesungguhnya bukan hanya sebuah deklarasi, tetapi juga landasan nilai bahwa setiap manusia, apapun latar belakang etnik, sosial, fisik, ekonomi, dan agamanya, telah diberi kehormatan oleh Allah secara inheren sejak penciptaannya. Maka, segala bentuk kekerasan, penghinaan, dan perundungan sejatinya adalah bentuk penistaan terhadap karunia ilahi itu sendiri.
Di sinilah pendidikan harus mengambil peran sentral: menanamkan kesadaran bahwa memuliakan sesama bukan hanya nilai moral, melainkan juga manifestasi iman. Tatkala sekolah menanamkan penghargaan atas martabat manusia sebagai prinsip dasar, maka ia sedang membangun benteng spiritual dan sosial terhadap budaya bullying.
Larangan Mencela dan Merendahkan
Kedua, salah satu akar dari perilaku bullying adalah kebiasaan merendahkan orang lain—baik lewat ucapan, gestur, ataupun perlakuan. Al-Qur’an secara tegas melarang sikap ini. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 11, Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim. (Q.S. al-Hujurat [49]: 11)
Ayat ini tidak hanya larangan moral, tetapi juga peringatan sosial agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya meremehkan dan mempermalukan. Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menjadi rambu-rambu penting untuk mencegah timbulnya konflik sosial, termasuk di lingkungan pendidikan.
Kata yaskhar (mengolok-olok) merujuk pada tindakan menertawakan kekurangan orang lain, baik melalui kata-kata, sikap, maupun mimik yang tujuannya mempermalukan. Sedangkan kata talmizū (mencela) berasal dari akar kata al-lamz, yang oleh sebagian ulama dimaknai sebagai bentuk ejekan langsung yang ditujukan kepada seseorang, entah lewat isyarat wajah, gerakan tangan, atau sindiran yang menyakitkan. Ibn ‘Asyur dalam At-Tahrir wa Tanwir menekankan bahwa ini merupakan bentuk kekurangajaran dan bahkan termasuk penganiayaan simbolik.
Sementara panggilan fasik yang dimaksud adalah panggilan dengan menggunakan kata-kata yang mengandung penghinaan atau tidak mencerminkan sifat seorang mukmin. Menariknya, Al-Qur’an menggunakan redaksi “jangan mencela dirimu sendiri”, padahal maksud sebenarnya ialah jangan mencela orang lain.
Gaya bahasa ini menunjukkan bahwa sesungguhnya mencela orang lain sama dengan mencela diri sendiri, karena masyarakat merupakan satu tubuh. Rasa sakit dan kehinaan yang ditimpakan kepada satu individu akan merembet menjadi luka sosial yang lebih luas. Bahkan, dampak dari mencela bisa kembali menghantam si pelaku, baik secara psikologis maupun sosial.
Di sinilah kecermatan Al-Qur’an tampak nyata dalam menangani kekerasan simbolik—olok-olokan, pelabelan, dan stigmatisasi yang seringkali menjadi pemantik bullying. Perundungan tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik; ia seringkali berwujud verbatim (kata-kata tajam), hinaan, atau julukan-julukan yang bernuansa SARA dan menyakitkan.
Maka pendidikan Islam harus mendorong literasi bahasa yang etis yakni mendidik anak untuk berkata yang baik, menggunakan kata sebagai alat membangun martabat, bukan senjata untuk menjatuhkan. Bahasa yang sehat adalah pondasi dari interaksi sosial yang sehat.
Sebagaimana pepatah Arab mengingatkan kita:
لَا تَحْتَقِرْ مَنْ دُونَكَ فَلِكُلِّ شَيْءٍ مَزِيَّةٌ
Janganlah meremehkan orang yang tampaknya lebih rendah darimu, karena setiap makhluk memiliki kelebihannya masing-masing
Setiap anak, setiap manusia, memiliki keistimewaan yang Allah titipkan. Tidak ada satu pun yang layak untuk dihina hanya karena berbeda. Justru dalam keberagaman itulah pendidikan Qurani menemukan maknanya: membentuk manusia yang memuliakan sesamanya.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini