Istilah toxic atau beracun sering digunakan oleh kawula muda untuk menggambarkan sebuah perilaku atau lingkungan yang merusak kesehatan mental, emosional, bahkan spiritual seseorang. Di media sosial, kita juga sering mendengar istilah toxic relationship atau hubungan yang tidak sehat. Fenomena ini tentu tidak hanya menjadi perhatian para ahli psikologi, akan tetapi juga dikaji dalam ajaran agama Islam.
Dalam pandangan Islam, perilaku atau sifat toxic jelas bertentangan dengan ajaran tentang akhlaq al-karimah, sebuah ajarah utama dalam Islam yang digaungkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw. Meskipun Al-Qur’an maupun hadist tidak menyebutkan secara explisit kata toxic, namun dari dulu keduanya sudah mendorong bagaimana membangun hubungan yang sehat, menghindari perilaku merendahkan, memfitnah, memecah belah, serta mengumbar aib orang lain.
Dari sisi eksternal, bila memang ada orang, kelompok, maupun linkungan yang toxic, sebaiknya perlu dihindari. Tidakkah kita pernah melihat seseorang yang awalnya baik kemudian menjadi pembangkang karena circle-nya? Tidak ada yang salah dengan menghindar, tak ada yang salah dengan mengatakan “tidak”. Ini sesuai dengan pesan dalam QS. Al-A’raf: 199 yang berbunyi:
Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.
Ayat ini menurut Buya Hamka mengandung tiga pesan utama dalam menegakkan dakwah umat Islam. Pertama, ambillah cara memaafkan. Kedua, suruhlah berbuat yang ma’ruf (pekerjaan yang diakui orang banyak sebagai baik). Ketiga, berpaling dari orang bodoh, karena ukuran yang dipakai mereka adalah ukuran yang singkat (Hamka, Tafsir Al-Azhar).
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan, berpaling dari orang bodoh berarti tidak membalas dengan kebodohan serupa, tidak bergaul, berbasa-basi, selalu sabar, dan menahan diri menghadapi perilaku mereka, serta tidak terlalu memedulikan apa yang mereka tampakkan kepadamu. Perintah sabar dan memberi maaf senafas dengan pesan QS. Ali Imran: 134. Dan memang yang demikian itu (sabar dan memberi maaf) lebih dekat dengan ketakwaan (QS. Al-Baqarah: 237).
Dalam konteks keluarga, Islam juga mengajarkan konsep keluarga sakinah yang dibangun atas dasar komunikasi, kesabaran, dan saling menasehati. Ketika menghadapi keluarga yang toxic, Islam menganjurkan selain bersikap sabar, menjaga rahasia keluarga, dan berupaya keluar dari zona toxic itu. Bagaimanapun, seperti kata pepatah “jika kita dekat dengan penjual minyak wangi, maka kita ikut wangi”. Ini selaras dengan lirik dari syair Tombo Ati, bahwa “wongkang soleh kumpulono” itu mengandung makna yang sangat luas dan dalam. Ketika circle kita baik, maka kita tidak akan disibukkan dengan orang-orang yang toxic yang menyebabkan kita ikut toxic juga.
Perilaku toxic menjadi perhatian serius dalam bidang ilmu psikologi. Studi yang dilakukan Fadia (2024) dalam Mengenal Perilaku Toxic Relationship dan Dampak pada Kesehatan Mental dan Fisik, dikemukakan bahwa hubungan toxic dapat menciptakan lingkungan yang tidak aman, memicu respon emosional negatif, dan berdampak pada kesehatan mental, mulai dari rasa takut, sulit tidur, hingga penurunan berat badan.
Dalam buku Breath, Healing Anxiety and Overthinking karya Ellen W. Sadler, ada pembahasan yang menarik dengan judul The Illusion of Control. Sedler menggambarkan betapa naifnya seseorang yang mencoba bisa mengkontrol segala sesuatu. Inilah yang menurutnya sering membuat seseorang menjadi toxic. Karena itu, ia membagi dua hal yang saling berseberangan: Apa yang bisa kita kontrol (What’s in Our Control) dan apa yang di luar kontrol kita (What’s Mostly Outside Our Control).
Di antara hal yang bisa kita kontrol adalah pikiran, emosi, perilaku, sikap, dan batasan (boundaries). Sedangkan yang di luar kontrol atau kendali kita adalah orang lain, masa lalu, masa depan, dan peristiwa eksternal. Konsep kontrol ini menurut Sadler bukan berarti membuat kita bersikap apatis atau pasif, melainkan tentang bagaimana kita bisa mengarahkan tenaga dan energi kita yang terbatas terhadap persoalan yang positif.
Apa yang dibicarakan oleh Sadler di atas sangat berkaitan erat dengan prinsip Al-Qur’an yang telah lalu, berpalinglah dari orang-orang bodoh (Al-A’raf: 199). Bisa juga dikontekskan dengan “berpalinglah dari orang yang toxic”. Sehingga, dengan kita mengetahui dan tidak menghiraukan apa yang tidak bisa kita kontrol, energi tak akan habis dan ketenangan hati yang akan kita dapatkan.
Ada doa yang menurut saya cukup bagus yang diungkapkan oleh Sadler dalam bukunya, “Grant me the serenity to accept the things I cannot change, courage to change the things I can, and wisdom to know the difference.” Bila kita ubah sedikit maknanya, kira-kira seperti ini:
Ya Allah, Berilah saya ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak dapat saya ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang dapat saya ubah, dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaannya.
Semoga kita dianugerahi sikap bijaksana dan selalu dijauhkan dari sikap dan lingkungan yang toxic. Amin.
Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini