Belajar Ukhuwah dari Bangsa yang Kita Sebut Jahiliyah

Bangsa Arab pra-Islam dikenal dengan sebutan jahiliyah. Label itu melekat karena perilaku mereka yang keras: menolak kebenaran, memperjualbelikan budak, hingga mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Namun, perlu diingat bahwa “jahiliyah” di sini bukan berarti mereka tak berbudaya atau primitif. Mereka justru memiliki peradaban sosial yang maju pada masanya.

Syaikh Rifa‘ah at-Tahtawi pernah mengatakan bahwa ukuran kemajuan suatu masyarakat bisa dilihat dari dua hal: bahasa dan persaudaraan. Menariknya, dua hal ini justru sangat menonjol pada masyarakat Arab sebelum Islam.

Bahasa sebagai cermin kemajuan

Di pasar, kegiatan mereka bukan hanya jual beli. Pasar Ukaz, misalnya, menjadi ajang adu syair, prosa, dan retorika. Puisi bagi mereka bukan sekadar hiburan, tapi juga sarana mengabadikan sejarah dan kehormatan suku. Dalam hal bahasa, bangsa Arab pra-Islam sudah memiliki tingkat kepekaan estetika yang luar biasa.

Persaudaraan yang kuat, tapi berlebihan

Kemajuan lain tampak dari cara mereka menjaga persaudaraan. Ikatan antarkabilah begitu kuat, bahkan seringkali berlebihan. Perang bisa pecah hanya karena satu anggota kabilah terluka atau merasa dihina. Fanatisme semacam ini melahirkan pepatah terkenal:

اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا

“Tolonglah saudaramu, baik ketika ia menzalimi maupun ketika ia dizalimi.”

Setelah Islam datang, pepatah ini tidak dihapus, tetapi direvisi maknanya oleh Nabi  Saw. Dalam sebuah hadis sahih (HR. al-Bukhari, no. 2444; Muslim, no. 2584), Rasulullah menjelaskan:

“Engkau menolong saudaramu yang zalim dengan cara mencegahnya dari berbuat zalim.”

Dengan begitu, Islam tidak menolak nilai solidaritas mereka, melainkan memurnikannya dari sikap buta.

Kontras dengan masyarakat modern

Menariknya, di zaman yang mengaku civilized dan beradab hari ini, justru semangat persaudaraan makin pudar. Kita bangga dengan kemajuan teknologi, tapi kehilangan kehangatan sosial. Banyak orang hidup di kota besar, bersebelahan tembok tapi berjauhan hati. Mereka enggan bersosialisasi dan berlindung di balik istilah “introvert”, seolah menjadi ramah adalah beban sosial.

Dalam momen kebersamaan seperti Lebaran pun, yang mestinya jadi ajang saling sapa dan tabik gurau, sebagian orang harus dipanggil dulu oleh orang tuanya untuk sekadar mengenal paman dan tantenya. 

Kebanggaan nasab dan kritik para sahabat

Kuatnya rasa persaudaraan orang Arab juga tercermin dari perhatian mereka terhadap silsilah. Sebagian besar hafal nasab, minimal, hingga tujuh generasi ke atas. Tidak mengetahui asal-usul keluarga dianggap aib besar. Namun, kebanggaan terhadap keturunan ini kadang bergeser menjadi kesombongan sosial. Karena itu, sahabat Ali bin Abi Thalib menegurnya lewat syair yang masyhur di kalangan ulama dan pesantren:

إِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ هَا أَنَا ذَا
وَلَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُولُ كَانَ أَبِي

“Seorang pemuda sejati adalah yang berkata: ‘Inilah aku,’ bukan yang berkata: ‘Itulah bapakku.’”

Islam sebagai jalan tengah

Budaya Arab pra-Islam dalam hal bahasa dan persaudaraan sejatinya luar biasa. Hanya saja, cinta yang berlebihan terhadap kabilah dan keturunan membuat mereka mudah terjebak dalam fanatisme. Karena itu, Islam datang sebagai jalan tengah—memelihara semangat persaudaraan, tapi mengarahkannya agar berlandaskan keadilan dan kebenaran.

Sebagaimana sabda Nabi saw, “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.” (خَيْرُ الأُمُورِ أَوْسَطُهَا). Dalam urusan cinta, persaudaraan, maupun persatuan, prinsip itu tetap berlaku.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini