Kembalian Permen dan Prinsip Dasar Jual-Beli

Kembalian permen adalah salah satu fenomena yang kerap terjadi di masyarakat manakala penjual tidak memiliki uang kecil (receh) sebagai uang kembalian bagi pembeli. Ini tidak hanya terjadi pada warung-warung yang skalanya kecil, melainkan juga toko-tokok yang berskala besar. Mereka terang-terangan “memaksa” pembeli menerima kembalian dalam bentuk permen.

Akibat fenomena tersebut, sebagian orang mungkin bertanya, apakah kembalian permen itu dibolehkan dalam Islam? Apakah pembeli tidak boleh bersikukuh untuk mendapatkan kembalian dalam bentuk uang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, artikel ini akan membahas prinsip dasar jual beli yang mungkin dapat menjadi pijakan untuk merefleksikan fenomena kembalian permen.

Hakikat dan Prinsip Dasar Jual-Beli

Secara sederhana, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk dikelola yang disertai dengan lafaz ijab dan qabul berdasarkan aturan yang berlaku (sah) (Kifayat al-Akhyar [1]: 239). Artinya, jual beli adalah memberikan suatu barang untuk ditukar dengan barang yang lain disertai lafaz ijab dan kabul. Misalnya, seseorang menukarkan uang lima ribu rupiah dengan sebuah telur sesuai syariat.

Jual beli memiliki rukun yang harus dipenuhi, yaitu: 1) dua orang yang saling bertransaksi atau penjual-pembeli (muta’aqidain); 2) adanya lafaz yang menunjukkan pernyataan jual beli (ijab dan qabul); 3) barang yang ditransaksikan, baik barang maupun harganya. Ketiga rukun ini harus ada dalam suatu transaksi jual beli, jika tidak demikian maka cacatlah transaksi jual beli tersebut (Fath al-Wahab).

Terkait lafaz jual beli, terdapat catatan yang harus dipahami yakni lafaz tersebut bisa dalam bentuk pernyataan jelas ataupun kinayah sesuai kebiasaan setempat. Contoh dari pernyataan jelas adalah penjual berucap, “Aku jual baju ini kepadamu.” Kemudian dijawab oleh pembeli, “aku beli baju ini darimu.” Adapun kinayah adalah kalimat-kalimat tidak langsung yang dapat dipahami penjual dan pembeli, misalnya penjual berucap “ambil ini” lalu pembeli menjawab “terima kasih.”

Di luar rukun-rukun tersebut, sebenarnya ada prinsip jual beli yang mungkin selama ini tidak diperhatikan secara saksama oleh orang banyak, yakni jual beli atas dasar suka sama suka atau perasaan saling rela antara penjual dan pembeli. Prinsip jual beli ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa ayat 29).

Ibnu Katsir menerangkan dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim (2/268) bahwa surah an-Nisa ayat 29 bermakna, Allah melarang manusia untuk memakan harta sesamanya dengan cara yang batil (tidak sesuai syariat seperti riba dan mencuri). Transaksi yang Allah bolehkan adalah jual beli yang didasari perasaan saling rela atau suka sama suka antara penjual dan pembeli. Inilah jalan yang harus ditempuh oleh seorang muslim.

Dari surah an-Nisa ayat 29 di atas diketahui bahwa prinsip dasar jual beli adalah suka sama suka atau saling rela antara penjual dan pembeli. Dengan kata lain, transaksi jual beli tertentu harus terdapat kesepakatan yang dilandasi perasaan rela atau suka dari pihak penjual maupun pembeli. Sang penjual dengan penuh kesadaran mau menjual barangnya dan sang pembeli dengan penuh kesadaran pula mau membeli barang tersebut.

Berlandaskan an-Nisa ayat 29 di atas pula Imam Syafi’i dalam al-Umm menyatakan bahwa selagi suka sama suka atau saling rela dan tidak ada dalil nas – baik Al-Qur’an maupun hadis – yang melarang suatu transaksi jual beli maka hukumnya boleh. Namun beliau menegaskan bahwa wujud dari perasaan saling rela tersebut adalah dalam bentuk sighat atau lafaz jual beli di antara penjual dan pembeli (Tafsir Al-Qur’an al-Azim [2]: 269).

Hindari Kembalian Permen

Berkenaan kasus kembalian permen, terdapat dua posisi hukum yang dapat dijelaskan, yaitu: 1) jika penjual memaksa pembeli untuk menerima kembalian permen, maka sudah dipastikan tindakan tersebut tidak sesuai dengan syariat atau batil; 2) jika penjual menawarkan dan pembeli menyetujui kembalian permen, maka hukumnya boleh karena ini bisa dikategorikan sebagai istibdal al-dain atau barter atas sebuah tanggungan (Hasiyah I’anat al-Thalibin [3]: 8).

Kendati demikian, jika kita merujuk pada prinsip dasar jual beli yakni suka sama suka atau perasaan saling rela, maka tindakan memberikan uang kembalian dalam bentuk permen sebaiknya dihindari, karena pada kenyataannya pembeli sering kali menerima secara terpaksa dan biasanya penjual berada pada posisi yang superior. Akibatnya, mau tidak mau atau suka tidak suka pembeli harus menerima kembalian permen. Keadaan ini cenderung mengarah pada tindakan monopoli dan kezaliman.

Di Indonesia, memberikan uang kembali dalam bentuk permen sebenarnya merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan. Ini telah diterangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Di sana dijelaskan bahwa alat pembayaran harusnya dalam bentuk uang atau bentuk lain seperti kartu debet yang sumber dananya bernilai rupiah.

Meskipun kita mungkin masih bisa mencari celah hukum dan dalih terkait uang kembalian dalam bentuk permen, namun pada dasarnya dapat disadari bahwa di sana ada potensi merugikan orang lain. Sebagai muslim yang baik – tentu – kita tidak ingin merugikan ataupun merampas hak orang lain yang dapat menghantarkan pelakunya pada sikap zalim yang dilarang oleh Allah Swt. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini