Kajian Semantik Kata Hadiah dan Hidayah

Bagaimana rasanya ketika Anda memeroleh hadiah dari seseorang yang disayang? Bahagia, penuh haru, ingin menangis? Kebanyakan dari kita, pasti bahagia jika diberi hadiah. Demikianlah, hadiah selalu identik dengan sesuatu yang mengharukan dan membahagiakan. Nah, berbicara tentang hadiah, tahukah Anda bahwa kata ini memiliki similar (persamaan) dari akar kata yang senada dengan hidayah?

Baik hadiah maupun hidayah berakar kata ‘hudan’ (petunjuk). Al-Qur’an sendiri banyak menyebut lafadz hudan/ hidayah dalam berbagai derivasi. Misalnya dalam Qs. Al-Baqarah/2: 185, al-Qur’an menyifati dirinya sendiri dengan sifat petunjuk bagi seluruh manusia yakni petunjuk bagi seluruh manusia (hudan linnas), penjelas dari petunjuk (bayyinaat minal huda), dan pembeda (furqan). Penyebutan ketiga sifat ini (bagi al-Qur’an) secara bersamaan hanya ditemukan dalam ayat ini.

Baca Juga: Relasi Suami-Istri dan Filosofi Pakaian dalam Al-Qur’an

Menurut Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya dalam Mu’jam al-Maqayis al-Lughah, Kata huda secara harfiah berarti petunjuk atau jalan kebenaran. Menurut Ibn Sidah kata ini merupakan lawan dari kata kesesatan (adh-dhalal), yaitu petunjuk (ar-rasyad). Kata hudan lebih berorientasi kepada memberi petunjuk yang diberikan secara halus dan lemah lembut, tanpa adanya paksaan.

Selain Raghib, Muhammad Abduh, penulis kitab tafsir al-Manar mengartikan hidayah sebagai petunjuk halus yang menyampaikannya pada tujuan. Dalam kaitannya dengan petunjuk Allah SWT, beliau mengartikannya sebagai petunjuk Allah SWT yang disampaikan kepada makhluk-Nya. Dengan petunjuk itu mereka dapat mencapai tujuan penciptaan-Nya. Menurut beliau, hidayah itu dapat diibaratkan sebagai sebuah cahaya kilat di malam gelap gulita yang dapat menerangi jalan bagi siapapun yang berjalan.

Ibnu Katsir pun memberikan pendapatnya. Dalam kitabnya berjudul Tafsir al-Qur’an al-Adzhim atau lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir berpendapat bahwa hidayah yang tercantum dalam Al-Quran memiliki arti penjelasan, petunjuk, dan taufiq.

Raghib al-Ashfahani dalam Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an, hidayah atau petunjuk Allah kepada manusia itu terbagi menjadi empat macam, yaitu pertama, hidayah yang diberikan kepada seluruh makhluk hidup yang berupa insting (naluri), akal, dan kodrat alamiah untuk kelanjutan hidup masing-masing, yang dimiliki oleh siapa saja dan apa saja sesuai dengan kadar yang harus dipikulnya. Seperti dalam Q.S Thaha/ 49-50. Kedua, hidayah yang diberikan kepada manusia yang berupa dakwah dari para nabi. Sebagaimana dalam Qs. As-Sajdah/ 24. Ketiga, hidayah yang khusus diberikan kepada manusia yang meminta petunjuk (taufiq). Sebagaimana dalam Qs. Al-‘Ankabut/ 69. Keempat, hidayah yang diberikan ketika di akhirat, yaitu berupa kenikmatan surgawi. Sebagaimana surah al-A’raf/ 43.

Keempat hidayah ini—menurut Raghib terjadi secara berurutan. Artinya, bahwa seseorang tidak akan mampu menempuh hidayah yang kedua sebelum ia mendapatkan hidayah yang pertama dan begitu seterusnya. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa seluruh makhluk hidup mendapatkan hidayah, setidaknya hidayah pada tingkatan pertama yakni hidayah/ insting untuk melakukan sesuatu agar terus bertahan hidup.

Selain pembagian hidayah menurut Raghib al-Ashfahani di atas, mufassir terkemuka, Al-Maraghi juga turut mengklasifikasikan hidayah ini menjadi lima, yakni pertama, hidayah al-ilhamiah (petunjuk/ ilham). Kedua, hidayah al-hawasiah (petunjuk panca indera). Ketiga, hidayah al-‘aqliah (petunjuk akal). Keempat, hidayah ad-Diniyah (petunjuk agama). Terakhir, hidayah al-Khassah (hidayah khusus).

Baca Juga: Merayakan Momentum Hijrah dengan Vaksin Lahir Batin

Klasifikasi hidayah baik menurut al-Ashfahani maupun al-Maraghi memberikan kita wawasan baru bahwa karena kebaikan, cinta dan kasih sayang-Nya, Allah memberikan aneka hidayah yang cukup komprehensif dan merata bagi semua makhluk-Nya. Baik hidayah yang bersifat umum—insting pada hewan, tumbuhan, dan manusia untuk melakukan aktivitas demi bertahan hidup, maupun hidayah/ petunjuk untuk mencari Tuhan sebagai kebutuhan spiritual setiap manusia dalam perjalanan mengenal dan beribadah pada-Nya.

Demikian, hadiah dan hidayah memiliki akar kata yang sama. Itu artinya, memberi (hadiah) sedapat mungkin harus dengan hati yang tulus, ikhlas, dengan cara-cara yang ma’ruf agar hidayah-Nya sampai kepada orang yang dituju. Sebaliknya, memberikan (hadiah) berupa ajakan yang keras, penuh ujaran kebencian, bahkan rela merenggut nyawa sendiri maupun orang lain atas nama jihad dan syahid di jalan Allah, bukanlah cara-cara yang direstui Al-Qur’an dan jauh dari ajaran Rasulullah yang penuh dengan kedamaian.

Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id