Al-Quran dan Tuntunan Menjaga Lisan

Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir, serta Kami juga telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan)?” (Qs. Al-Balad/90: 8-10)

Selain mengandung ayat-ayat tentang ibadat dan syari’at, Al-Quran sesungguhnya menuntun pemeluknya untuk menjaga relasi harmonis pada sesama manusia. Interaksi yang terbangun secara baik ditentukan salah satunya karena kesadaran untuk saling menjaga lisan (ucapan). Surah di atas ialah bukti kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan dua organ tubuh; lisan (lidah) dan syafatayn (dua bibir) secara berurutan dan berdekatan. Penyebutan ini bukan tanpa alasan mengingat dua organ tubuh ini memiliki keterkaitan. Kualitas seseorang seringkali tergambar kala dirinya mampu mengendalikan lisan ketika amarah sulit tertahan.

Lafadz lisan dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 25 kali dalam Al-Quran yakni lisanun (7 kali), lisanan (3 kali), lisanika (3 kali), lisanii (2 kali), alsinatin (1 kali), alsinatikum (3 kali), alsinatuhum (6 kali). Dari berbagai lafadz tersebut, makna lisan menunjukan beragam makna, antara lain bahasa (Qs. An-Nahl/16: 103), pujian (Qs. Maryam/19: 50), dan doa (Qs. Al-Maidah/5: 78). Penyebutan lafadz lisan dengan beragam derivasi ini menunjukkan betapa pentingnya salah satu organ tubuh manusia—yang tak bertulang ini— dan akan dimintai pertanggungjawabanya di hari akhir, termasuk juga pendengaran (sam’a), penglihatan (abshar) dan hati (af-idah).

Selain terdapat dalam Al-Quran, hadits Rasulullah saw juga menyebut urgensi menjaga lisan. Hadits ini terekam dalam Shahih Ibn Hibban no. 287; Shahih Al-Bukhari no. 6477; Shahih Muslim no. 2987; dan Musnad Ahmad no. 8411. Pun Nabi saw memberi perhatian agar si pemilik lisan fokus pada esensi (inti) perkataan-ucapannya dengan tidak asal bunyi, sebab murka Allah ditamsilkan dengan hukuman neraka selama 70 tahun.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Bisa jadi seseorang mengatakan satu kalimat yang dimurkai Allah, suatu kalimat yang menurutnya tidak apa-apa. Akan tetapi, dengan sebab kalimat itu dia jatuh ke neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Ahmad). Hadits ini tersebut dalam Musnad Ahmad no. 1585; Sunan an-Nasa’iy al-Kubra no. 1176; dan Musnad al-Bazzar no. 8556; dan dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth.

Berikutnya, kesadaran menjaga lisan ialah bukti keimanan seseorang kepada Rabb-nya, ia mampu memelihara hak dirinya pada Allah yang telah menciptakan lisan, sekaligus mampu menunaikan tanggung jawab pada sesama manusia. Keimanan di sini diibaratkan dengan lisan sebagai salah satu komandan organ-organ utama tubuh.

Dari Abi Sa’id Rasulullah saw Bersabda. ‘Bila manusia berada di waktu pagi, seluruh anggota badan tunduk kepada lisan lalu berkata, “Takutlah kepada Allah untuk kami, kami bergantung padamu. Bila engkau lurus, kami pun lurus. Dan bila engkau bengkok, kami pun bengkok.” (HR. An-Nasa’iy). Hadits ini terekam dalam Sunan an-Nasa’iy al-Kubra vol. 8: 165; Al-Muwattha’ no. 2841; Musnad Abu Ya’la no. 1185, dimana menurut Nashiruddin Al-Albani, dinilai hasan.

Dalam Hadits lain gamblang dijelaskan bahwa menjaga lisan adalah salah satu pokok keimanan. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata-kata baik atau diam, dia tidak menyakiti tetangganya, (dan) memuliakan tamunya” (HR. Al-Bukhari)

Berkata-kata baik atau lebih baik diam ialah pesan berharga dari Rasulullah Saw sebagai bukti kecintaannya pada umat. Rasul tidak ingin umatnya terjerembab dalam neraka karena ibadahnya bagus pada Allah, namun mengabaikan tanggung jawab lisannya pada sesama manusia. Bahkan, Rasulullah pernah memberi pesan khusus pada Muadz bin Jabal mengenai pentingnya menjaga lisan.

“Dari Abi Wail, dari Mu’adz bin Jabal berkata: Aku bersama Nabi saw dalam satu perjalanan dimana suatu hari aku dekat dengan beliau lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah beritahukan padaku amalan yang dapat memasukanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka. Bersabda: “Sungguh engkau bertanya tentang sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya ia mudah (dilakukan) bagi siapa saja yang dimudahkan oleh Allah. Yaitu, engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun, tunaikan shalat, zakat, puasa ramadhan dan berhaji ke baitullah.” Maukah engkau Aku kabarkan sesuatu yang menjadi kunci itu semua?” Jawabku: “Ya, Nabiyallah”. Lalu beliau memegang lisannya dan bersabda: “Tahanlah (lidahmu) ini. ”Aku bertanya, “Wahai Nabiyallah, (apakah) kita akan disiksa sebab perkataan yang kita ucapkan?” Jawab Beliau: “(Celakalah kamu), ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz! Tidaklah manusia itu disungkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka, melainkan karena hasil ucapan lisan mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Melalui tuntunan pesan Rasulullah Saw ini kita menyadari bahwa menjaga lisan berdampak sosial sebagai wujud penghormatan antarsesama insan, dimana tutur kata yang baik, santun dan proporsional akan menimbulkan sikap saling menyayangi sesama. Terkait menjaga lisan ini, Rasulullah juga tak segan untuk memberi teguran pada Sayyidah ‘Aisyah yang tanpa disadari mencela fisik istri Nabi lain, Shafiyah, karena cemburu. “Dari Abu Hudzaifah, dari ‘Aisyah berkata: Kukatakan pada Nabi Saw.: “Cukup bagimu dari Shafiyah “ini dan itu”. Sebagian rawi berkata “Aisyah mengatakan Shafiyah pendek” Nabi Saw pun bersabda, ”Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat, yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air laut niscaya akan mengubahnya (karena sangat kotor dan bau sehingga bisa merubah air laut)” (HR. Abu Dawud).

MasyaAllah, betapa baginda Nabi pun memberi contoh secara langsung, beliau memberi teguran sekalipun kepada isterinya untuk tetap menjaga lisan sebab perkataan yang menyakitkan dapat memudarkan rasa kasih sayang di antara sesama manusia. Bukan hanya itu, lisan yang tak dijaga dan jemari yang hilang kendali, seringkali menjadi boomerang bagi pelaku terlebih di era digital saat ini. Hate speech, ejekan, hinaan, cacian yang akhirnya viral di media sosial adalah bukti pentingnya menjaga lisan dan jemari di era teknologi. Jejak digital yang tak bisa hilang melahirkan banyak akibat; bukan saja hukuman moral yang diterima, namun juga kehilangan jabatan dan sanksi lain yang diterima pelaku yang dampaknya pun sampai pada keluarganya. Demikian, Allahu ta’ala a’lam.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini