Dalam KBBI, ilusi diartikan sebagai sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan, khayalan, tidak dapat dipercaya, dan palsu. Pertanyaannya, apakah khilafah Islam sebuah khayalan palsu yang sering digembar-gemborkan sebagian kalangan muslim?
Setidaknya ada dua pendekatan utama yang yang tidak boleh lepas ketika seseorang ingin mendiskusikan tentang khilafah; Pertama, aspek teologis. Kedua, aspek historis.
Dari sisi teologis, para pendukung khilafah tidak jarang merujuk QS. An-Nur (24) ayat 55 yang berbunyi,
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…
Baca Juga: Hikayat dan Hikmah Penyembelihan Ismail
Dari pemahaman sepihak atas ayat di atas, ada yang sampai berani mengklaim bahwa yang tidak percaya dengan janji Allah akan datangnya khilafah akan murtad (Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an di Medsos). Sebuah pandangan yang “menabrak” kaidah penafsiran dan berimbas pada perpecahan.
Para pejuang khilafah seringkali juga meyakini bahwa zaman keemasan Islam bisa bangkit lagi apabila khilafah ditegakkan. Dalam angan-angan mereka, khilafah akan menghapus segala kemaksiatan di bumi ini, menegakkan keadilan, dan yang paling penting adalah dijalankannya syariat Islam. Karena itu, sebagian mereka merasa berdosa bila tidak menjalankannya.
Cara berfikir seperti inilah yang seringkali membuat sebagian umat Islam menjadi terperangkap dalam ilusi khilafah. Pemikiran ini terus dipegang erat sampai akhirnya berubah menjadi sebuah ideologi yang diyakini dan disebarkan dengan senyap, meski terkadang ada yang terang-terangan menunjukkan aksinya di depan khalayak. Contoh terbaru bisa kita lihat dalam konvoi para pengikut khilafatul muslimin.
Sebenarnya para pendukung gagasan khilafah ini adalah korban. Saya meyakini bahwa sebagian besar mereka tidak mengerti apa itu khilafah dan bagaimana penerapannya. Karena itu, yang paling bertanggung jawab dari agenda perjuangan khilafah ini adalah para dai, ustadz, dan sebagian politikus yang membutuhkan kekuasaan.
Tokoh-tokoh yang hanya berpikiran oportunis inilah yang sejatinya menjadi “musuh dalam selimut” ideologi negara yang bernama Pancasila, sebuah ideologi yang diperjuangkan para pendiri bangsa dengan susah payah dengan tujuan menjaga kebhinekaan dan keberagaman.
Menurut Buya Syafi’i Ma’arif, “Mereka hanyalah arus kecil yang kapan saja bisa redup. Argumennya juga seperti ukiran di atas air, seringkali berisi ocehan yang tak perlu dihiraukan.” (Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara )
Adapun aspek kedua, yakni historis, hemat saya sering dilupakan oleh para pendukung dan pro khilafah. Mereka berpendapat bahwa khilafah adalah ajaran Islam yang telah dipraktekkan oleh Nabi, sahabat empat (khulafa’ ar-rasyidin), dan para penerusnya.
Akan tetapi mereka jarang melihat ternyata terdapat sisi kelam dalam sejarah khilafah Islam. Anggapan khilafah sebagai solusi segala persoalan umat sangat bertentangan dengan sejarah umat Islam sendiri, karena nyatanya sistem khilafah—dengan beragam modelnya—memunculkan persoalannya sendiri.
Dalam periode dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan sampai Turki Ustmani, ternyata banyak kasus kekerasan terhadap umat Islam, ketidakadilan, begitu juga penyimpangan atas hukum Islam demi mendapatkan kekuasaan.
Masih ingatkah kita dengan kasus terbunuhnya dua cucu Nabi? Hasan dibunuh karena diracun, sedangkan Husein lebih mengerikan lagi, ia dibantai bersama keluarganya di Karbala pada tanggal 10 Muharram. Tarikh at-Thabari karya Imam at-Thabari sangat detail menggambarkan ngerinya peristiwa ini.
Sejarah juga mengisahkan bahwa Hajjaj bin Yusuf, salah satu gubernur Bani Umayah, pernah memblokade Mekah selama enam bulan dan menghujani penduduknya dengan panah api sehingga Ka’bah terbakar. (Nadirsyah Husein, Islam Yes Khilafah No!)
Di sisi lain, apabila kita melihat pola sistem kekuasaan di era Kekhilafahan, semuanya berbeda-beda dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya. Bahkan, ternyata pemimpin khilafah itu tidak hanya satu—sebagaimana diyakini para pendukung khilafah—tetapi antara satu khilafah ke khilafah yang lainnya saling mengklaim paling layak menjadi wakil Tuhan di bumi ini.
Kita lihat misalnya kekhilafahan Umayyah (661-750) dan Abbasiyah (750-1258). Khilafah Umayyah memang berhasil direbut Abbasiyah, akan tetapi di Spanyol ternyata pengikut Umayyah mencoba melakukan oposisi pada Abbasiyah, maka dari itu kita kenal ada Umayyah II (780-1031).
Terlebih, dalam perkembangannya, nanti ada kekhilafahan lain yang didirikan oleh para pemimpin Islam. Khilafah Buyids (945-1055), Fatimiyyah (909-1171), Saljuk (1055-1194), dan sampai di era sebelum keruntuhan kekhilafahan, yakni kekhilafahan Utsmaniyah atau Ottoman (1280-1922).
Baca Juga: Beberapa Peristiwa Teguran Allah Swt kepada Nabi Yang Dicatat Al Quran
Mereka sama-sama mengaku khalifah umat, akan tetapi mana yang diakui dan sah? Inilah data sejarah yang perlu disuguhkan kepada para pemuja khilafah. Sekali lagi, dari data-data sejarah ini disimpulkan bahwa kekhilafahan bukanlah sistem baku yang otomatis harus diikuti karena ia adalah ajaran Nabi.
Afifuddin Muhajir mengatakan, “Yang terpenting ialah terwujudnya Maqasid as-Syari’ah melalui suatu negara dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam, seperti musyawarah, keadilan, persamaan, dan pengawasan rakyat.” (Afifuddin Muhajir, Fikih Tata Negara)
Memang tidak ada sebuah sistem pemerintahan yang sempurna, karena ia akan terus diuji oleh masa. Akan tetapi, selama nilai-nilai dan prinsip Islam bisa tercapai, kita patut memperjuangkannya, dalam hal ini Pancasila. Biarlah khilafah berhenti menjadi cerita sejarah.
Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id