Pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai nabi, kendati hanya Allah yang Maha Mengetahui secara pasti apa sebabnya berdasarkan firman-Nya pada QS. Al-Anam ayat 124, tetapi dapat diduga keras bahwa pengangkatan Nabi Muhammad saw oleh Allah adalah karena akhlak beliau berada di puncak akhlak manusia seluruhnya. Ini dipahami, antara lain dari tanggapan istri beliau, Khadijah ra, yang berkomentar untuk menghilangkan kecemasan beliau atas kehadiran wahyu di Gua Hira:
“Tenanglah, sungguh demi Allah, engkau tidak akan diperhinakan-Nya, padahal sungguh engkau bersilaturahim, engkau bercakap benar (tidak berbohong), engkau memikul beban (orang lain demi meringankannya), engkau menjamu tamu, dan membantu dalam menghadapi bencana yang terjadi.”
Konsideran pengangkatan Nabi Muhammad saw sebagai rasul ditunjuk juga oleh QS. al-Qalam ayat 1-5 di mana Allah Swt berfirman:
“Nun, demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis. Disebabkan nikmat Tuham Pemeliharamu, engkau (Nabi Muhammad) bukanlah seorang gila. Dan sesungguhnya untukmu benar-benar (ada) pahala yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas budi pekerti yang agung. Maka engkau akan melihat dan mereka (orang-orangkafir pun) akan melihat.”
Ayat-ayat di atas mengesankan bahwa Nabi Muhammad saw yang menjadi mitra bicara berada di atas tingkat budi pekerti yang luhur, bukan sekadar berbudi pekerti luhur. Memang, Allah menegur Nabi jika bersikap dengan sikap yang hanya baik dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai sebagai berakhlak mulia. Pada akhir ayat penyifatan khuluq oleh Allah Yang Maha Agung dengan kata ‘azhim/agung menandakan tidak terbayang betapa keagungannya. Salah satu bukti dari sekian banyak bukti tentang keagungan akhlak Nabi Muhammad adalah kemampuan beliau menerima pujian ini dari sumber Yang Maha Agung itu. Beliau tidak luluh di bawah tekanan pujian yang sedemikian besar dan tidak pula goncang kepribadiannya sehingga menjadikannya angkuh.
Diriwayatkan bahwa sekian banyak orang yang memeluk ajaran Islam hanya karena melihat akhlak Nabi Muhammad saw bahkan hanya menjadikan air muka beliau sebagai bukti kebenaran ajaran yang beliau sampaikan. Mereka itu setelah melihat beliau berkata: “Ini bukanlah wajah pembohong (ma hadza bi wajhi kadzdzab).”
Perlakuan Nabi Muhammad terhadap manusia, bahkan seluruh makhluk Allah, mencapai puncak ihsan. Bila bertemu dengan seseorang, dihadapinya dengan senyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan tidak melepas tangannya sebelum yang dipegang tangannya melepaskannya. Ketika berbicara, beliau menatap wajah mitranya, tidak pernah terlihat ketika beliau duduk mengulurkan kaki di hadapan orang lain. Bila menoleh, beliau menoleh dengan seluruh badannya guna menghormati yang dilihatnya. Anas bin Malik, seorang anak yang menemani Rasul saw berkata: “Aku menemani Rasul saw selama sepuluh tahun, tidak pernah sekalipun beliau mengucapkan kata isy tidak juga menegurku, mengapa engkau begini atau mengapa engkau begitu. (HR. Muslim).”
Kata-kata Nabi saw halus, tersusun rapi dan disesuaikan dengan bahasa mitra bicara. Tidak pernah beliau mengucapkan kata-kata kotor atau tidak senonoh. Kalaupun harus, beliau sampaikan dalam bentuk kiasan, tidak menuding seseorang atas kesalahannya. Kalaupun harus menegur kesalahan, beliau berkata: “Mengapa ada seseorang yang bersikap begini atau begitu.” Tidak memaki atau mencela secara langsung. Kalaupun terpaksa, makian beliau yang paling “buruk” adalah: “Kiranya dahinya terkena lumpur.”
Nabi saw adalah orang yang paling halus, paling dermawan, paling berani yang terhimpun dalam diri beliau segala macam kebajikan. Akhlak beliau yang demikian terpuji mencapai puncak itu adalah berkat pendidikan Allah Swt terhadap beliau, sesuai sabdanya:
أدبني ربي فأحسن تأديبي
“Allah mendidikku, maka sungguh paik pendidikan-Nya.”
Itu demikian karena Allah bertujuan menjadikan Nabi teladan bagi seluruh manusia, apa pun tipe manusia itu: ilmuwan, seniman, pekerja, atau yang tekun beribadah; dan di mana serta kapan pun mereka berada. Demikian sekelumit dari akhlak manusia agung itu.
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A dalam Yang Hilang Dari Kita Akhlak (Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2016), 116 – 119.