Meninggalnya orang yang dikasihi kadang membuat sebagian orang yang ditinggal memikirkan dengan seksama, apa ekspresi tubuh yang bisa mereka tunjukkan pada jasad orang yang mereka kasihi sebelum dimasukkan ke liang lahat. Kemudian sebagian orang memberikan salam terakhir berupa mencium jenazah. Bagaimana pandangan Islam terkait prilaku ini? Apakah tindakan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia dan tak sepatutnya dilakukan? Artikel ini mengulas pandangan para ulama terkait dengan hukum mencium jenazah.
Berdiri saat menyambut kedatangan orang saleh atau benda yang dimuliakan, merangkul saudara yang datang dari bepergian, mencium tangan orang salih saat bersalaman, adalah sebagian bentuk ekspresi tubuh dalam menunjukkan suasana hati terkait kejadian yang dihadapi. Tak terkecuali mencium jenazah sebelum dimasukkan ke liang lahat. Mencium bagian tertentu seperti kening bisa jadi adalah cara terbaik dalam menunjukkan rasa kesedihan, daripada harus menangis dengan menjerit atau menyakiti diri sendiri yang dilarang oleh Islam.
Namun mungkin jarang orang yang mengetahui, bahwa mencium jenazah sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad dan bahkan pernah dilakukan oleh Nabi serta sebagian sahabat. Sayyidah A’isyah berkata:
Aku melihat Rasulullah salallahualaihi wasallam mencium jenazah ‘Utsman ibn Mad’un sampai aku melihat air mata mengalir (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Imam at-Tirmidzi menilai bahwa hadis ini adalah hadis sahih. Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menyatakan, hadis ini menunjukkan bahwa mencium jenazah seorang muslim dan menangisinya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Utsman ibn Mad’un sendiri adalah saudara sepersusuan Nabi Muhammad, dan termasuk sahabat yang masuk jajaran sahabat utama Nabi Muhammad (Tuhfatul Ahwadzi/3/45).
Sayyidah A’isyah juga meriwayatkan:
Sesungguhnya Abu Bakar mencium jenazah Nabi Muhammad (HR. At-Tirmidzi).
Imam al-Syaukani menyatakan, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar menunjukkan bahwa mencium jenazah dengan tujuan memuliakan serta mengambil berkah adalah sesuatu yang diperbolehkan. Dan tidak ada riwayat yang menunjukkan adanya sahabat yang mengingkari tindakan Abu Bakar ini. Sehingga peristiwa ini bisa menjadi sebuah kesepakatan (ijma’) sahabat (Nailul Authar/6/118).
Imam al-Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan, mencium wajah jenazah bagi keluarga atau sahabat si jenazah, adalah sesuatu yang diperbolehkan. Imam al-Syarwani menjelaskan, yang boleh dicium tidak hanya wajah, tapi juga bagian lain seperti tangan. Namun yang lebih utama adalah yang digunakan bersujud serta dalam keadaan tanpa penghalang (al-Majmu’/5/127 dan Hawasyi as-Syarwani/3/183).
Beberapa ulama juga menyatakan bahwa hukum boleh tersebut bisa menjadi sunah apabila si jenazah adalah orang yang soleh. Entah apakah orang yang mencium adalah keluarga sendiri, atau sekedar sahabat. Sebagian ulama juga menyatakan sunah apabila si jenazah adalah keluarga sendiri meski bukan orang yang soleh. Kalau bukan keluarga dan juga bukan orang soleh, maka hukumnya sekedar boleh saja (Hasyiyah Jamal/6/483).
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan tentang bolehnya mencium wajah jenazah sebelum dimasukkan ke liang lahat. Dari hukum ini pula terlihat bagaimana Islam menunjukkan bahwa tidak setiap prilaku di luar kebiasaan yang diberikan pada jenazah, adalah sesuatu yang terlarang dan dianggap ungkapan tidak menerima atas taqdir Allah. Tangisan atau sekedar ciuman belum tentu ungkapan keberatan atas taqdir Allah, tapi bisa juga sekedar luapan kasih sayang yang lumrah dimiliki orang terdekat. Wallahu a’lam.
Mohammad Nasif, Penulis Buku Keislaman dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Mohammad Nasif, S.Th.I? Silahkan klik disini