Persoalannya Bukan Soal Ada atau Ketiadaan Dalil

Belakangan ini muncul pernyataan bahwa seseorang atau sekelompok orang akan melaksanakan amaliyah bila memang ada dalilnya. Banyak sekali turunan pemahaman dari pernyataan ini. Tetapi, minimal kita bedah secara sekilas dua pemahaman yang utama. Pertama, ini menunjukkan pemahaman yang benar dalam setiap laku amaliyah ibadah di dalam Islam. Kaidah ushul fiqih yang berlaku dalam hal ibadah adalah:

الأصل في العبادات التحريم

Hukum dasar dalam ibadah itu haram.

Karena haram maka kaidah ini melahirkan pemahaman bahwa kita harus mengikuti dasar atau dalil terkait tuntunan dalam ibadah. Allah Swt melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw telah memberikan dasar atau dalil tentang bagaimana kita beribadah secara benar kepada-Nya. Ketika Nabi Muhammad masih ada, para sahabat bisa langsung bertanya kepada beliau terkait beragam masalah. Sepulang Nabi Muhammad Saw ke sisi Allah Swt. maka kita bisa bertanya kepada para ulama. Mereka inilah para pewaris Nabi.

إن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورِّثوا دينارًا ولا درهمًا، إنَّما ورَّثوا العلم، فمن أخذَه أخذ بحظٍّ وافر

Ulama merupakan ahli waris para nabi. Para Nabi bukan mewariskan dinar, juga dirham, melainkan ilmu. Barang siapa yang mengambil ilmu dari para ulama, maka dia telah mendapatkan keuntungan besar. (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Abu Daud)

Dan, ya memang beginilah para ulama kita dalam kesehariannya. Mulai dari urusan shalat lima waktu, shalat sunnah rawatib, qabliyah Jumat, ziarah kubur, sampai tawassul. Mereka mengajari kita setiap dalilnya.

Nah, kalau ada yang mengajari bahwa dalam sehari kita wajib shalat sebanyak 100 kali, misalnya, maka sudah pasti itu salah. Inilah bid’ah munkarah. Selain tidak terbayang bagaimana beratnya beban hidup antara menyeimbangkan waktu untuk menunaikan kewajiban 100 kali shalat dalam sehari dan berkegiatan sehari-hari untuk menjalankan peran sebagai khalifatullah di muka bumi, juga karena nash al-Quran dan hadis hanya menyebutkan kewajiban kita itu lima kali dalam sehari.

Para ulama alim dan sholih dalam mengajarkan umatnya dalam persoalan ibadah selalu memberikan dasar atau kita mengenalnya sebagai dalil. Allahu yarham almaghfurlah KH Ali Maksum Krapyak dalam Hujjatu Ahlisunnah Waljamaah, misalnya, menjelaskan berbagai dalil tentang amaliyah-amaliyah yang dilakukan penganut Aswaja. Dalil yang diambil dari ayat-ayat al-Quran atau hadis-hadis Nabi. Ditambah atsar dan qaul para ulama dari empat madzhab, Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiyah, Hanabilah. Tidak ada amaliyah yang tak memiliki dasar.

Sampai sini, tidak ada masalah sebenarnya. Yang menimbulkan masalah adalah ketika berbagai dalil yang sudah disampaikan itu tidak diakui keabsahannya bagi sebagian orang. Inilah pangkal soalnya. Hal ini mengakibatkan perdebatan yang tak kunjung reda terkait berbagai tema. Apakah ziarah kubur itu ada tuntunannya dari Nabi, apakah tahlilan itu termasuk sunnah atau justru malah mengada-ada saja? Terus saja berputar di area ini. Yang mengerikannya adalah perdebatan khilafiyah dalam urusan furuiyah ini kemudian dibawa ke area ushul, sehingga tidak jarang menimbulkan putusan takfiri. Para pelaku itu dinilai sebagai bukan lagi Muslim, melainkan kafir karena melakukan hal-hal yang masih dalam taraf khilafiyah.

Inilah pemahaman kedua yang dikhawatirkan. Berbahaya sekali. Merusak harmoni dalam umat. Inilah sikap mau-menang-sendiri. Seakan yang lain tidak mengetahui dalil atau dalam menjalankan amaliyahnya tidak didasarkan kepada dalil. Padahal, pangkal soalnya adalah mereka tidak mau mendengarkan atau menerima dalil yang sudah diajukan. Tidak berarti hendak lari dari berbagai perdebatan tersebut yang bisa jadi akan mencerahkan umat, tapi sikap mau-menang-sendiri ini yang mestinya dikikis dan dihilangkan.

Sungguh tak masuk akal bila ada ulama yang membolehkan berbagai perkara khilafiyah dan memiliki dasar syariat itu berkeinginan mengajak umatnya untuk tersesat dan berakibat masuk neraka. Sifat dasar ulama adalah mengajak kepada kebaikan dan menarik umat untuk mendapatkan syafaat Nabi Muhammad Saw agar bisa bersama-sama meneguk air di sungai-sungai di Firdaus-Nya. Karena menyadari keluasan rahmat dan kasih sayang Allah, para ulama justru mengajak sebanyak mungkin umat Nabi untuk ikut bareng-bareng ke surga. Caranya ya dengan membabarkan dalil terhadap amaliyah.

Muhammad Husnil, S.S.I, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Muhammad Husnil, S.S.I? Silahkan klik disini