Privilege Menjadi Manusia: Anugerah yang Sering Kita Lupa Syukuri

Kata privilege sering kali dikaitkan dengan kelas sosial, akses ekonomi, atau kemudahan hidup yang tidak dimiliki orang lain. Namun, tahukah kita bahwa privilege sejati justru telah Allah karuniakan sejak awal penciptaan: kehormatan menjadi manusia. Ketika sebagian orang berlomba mengejar pengakuan dan status istimewa di mata sesama, kita sering lupa bahwa Allah telah memberi “spesial treatment” yang tak tertandingi — akal, nurani, dan potensi untuk menjadi khalifah di bumi. Maka pertanyaannya bukan lagi “siapa yang paling beruntung di dunia”, tetapi “apakah kita sudah mensyukuri privilege kemanusiaan yang Allah titipkan?”

Dalam Al-Quran Surah al-Isra ayat 70, Allah berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ

Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Q.S. al-Isra’ [14]: 70)

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ketika Allah bersumpah dan menegaskan firman-Nya dengan kata “qad”, meunjukkan sebuah kepastian ilahiah: “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.” Kemuliaan itu bukan sekadar bentuk tubuh yang sempurna, tetapi juga karunia akal, kemampuan berbicara, dan kebebasan untuk memilih dan memiliah jalan hidup. Manusia, dengan segala keterbatasannya, dianugerahi keistimewaan yang tidak dimiliki makhluk lain—sebuah anugerah yang sekaligus menjadi tanggung jawab moral.

Secara bahasa, kata karramnā mengandung makna kemuliaan yang melekat dalam diri manusia. Ia berbeda dengan kata faḍḍalnā, yang berarti “kelebihan” atau “penambahan” dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Kelebihan bersifat eksternal dan bisa berbeda-beda antar manusia—seperti rezeki, jabatan, atau kekuasaan. 

Namun, kemuliaan dalam makna karāmah bersifat internal: ia hadir sejak manusia lahir, tanpa membeda-bedakan ras, agama, atau status sosial. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw. berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi; ketika sahabat bertanya mengapa beliau melakukan itu, Rasul menjawab dengan kalimat yang menggugah hati: “Bukankah ia juga manusia?”

Allah juga mengingatkan, kemuliaan itu tak berhenti pada akal dan tubuh. Ia memampukan manusia menjelajah daratan dan lautan, bahkan menundukkan teknologi sebagai sarana untuk memakmurkan bumi. Dari rezeki yang baik hingga daya cipta yang mengagumkan, semua adalah bentuk kelebihan yang mengangkat martabat manusia di atas makhluk lainnya. Namun, kemuliaan tertinggi justru diberikan kepada mereka yang mampu menundukkan hawa nafsu dan setan di dalam dirinya. Sebab, ketaatan manusia yang lahir dari perjuangan batin jauh lebih mulia di sisi Allah daripada ketaatan malaikat yang tanpa ujian.

Dalam Tafsir al-Baidhawi, kemuliaan manusia dijelaskan dengan sangat rinci—bahwa keistimewaan manusia bukan hanya perkara bentuk, tapi juga daya dan potensi yang tak terhingga. Al-Baidhawi mengatakan,

بِحُسْنِ الصُّورَةِ والمِزاجِ الأعْدَلِ واعْتِدالِ القامَةِ والتَّمْيِيزِ بِالعَقْلِ والإفْهامِ بِالنُّطْقِ والإشارَةِ والخَطِّ والتَّهَدِّي

Allah menganugerahi manusia ḥusnuṣ-ṣūrah, bentuk fisik yang indah dan proporsional; al-mizāj al-a‘dal, keseimbangan tabiat dan perilaku; serta i‘tidāl al-qāmah, tubuh yang tegak dan selaras. Lebih dari itu, manusia juga diberi at-tamyīz bil ‘aql, kemampuan untuk berpikir dan membedakan baik-buruk. Dengan akalnya, manusia bisa memahami sesuatu melalui ucapan (al-ifhām bin-nuṭq), melalui isyarat (al-ishārah), bahkan dengan tulisan (al-khaṭṭ). Dan di atas semua itu, ia diberi potensi at-tahaddī—kemampuan menerima dan merespons hidayah.

Keistimewaan ini tak berhenti pada sisi fisik dan intelektual saja. Al-Baidhawi juga menyebut, Allah membekali manusia dengan asbābul ma‘āsy wal ma‘ād—sebab-sebab untuk menopang kehidupan dunia sekaligus bekal menuju akhirat. Manusia diberi kuasa untuk mengelola bumi, mencipta peradaban, menguasai berbagai keterampilan dan industri. Bahkan hukum sebab-akibat di langit dan bumi tunduk kepada manusia agar mereka dapat mengambil manfaat darinya.

Ibnu Abbas menambahkan satu perumpamaan yang sangat manusiawi: 

ومِن ذَلِكَ ما ذَكَرَهُ ابْنُ عَبّاسٍ وهو أنَّ كُلَّ حَيَوانٍ يَتَناوَلُ طَعامَهُ بِفِيهِ إلّا الإنْسانَ فَإنَّهُ يَرْفَعُهُ إلَيْهِ بِيَدِهِ

“Setiap hewan mengambil makanan dengan mulutnya, kecuali manusia, yang mengangkatnya dengan tangannya.” 

Ungkapan sederhana ini menggambarkan betapa luhur martabat manusia di hadapan Allah—bahwa dari cara makan saja, ia sudah dimuliakan dengan adab dan kesadaran. Maka sejatinya, kemuliaan manusia bukan semata karena tubuh atau akalnya, tetapi karena kemampuannya mengelola anugerah itu dengan kesadaran, adab, dan rasa syukur.

Dengan privilege yang Allah anugerahkan sebanyak ini – akal, hati, kehendak bebas hingga kemampuan berpikir, mampu mewujudkan dan membangun peradaban – akankah kita benar-benar sadar dan mau mengejawantahkan privilege ini untuk kebaikan? Tetapi ada poin yang sangat penting untuk digaris bawahi, Al-Quran mengatakan,

إنَّ أكْرَمَكم عِنْدَ اللَّهِ أتْقاكُمْ

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

فَإنَّ التَّقْوى بِها تَكْمُلُ النُّفُوسُ وتَتَفاضَلُ بِها الأشْخاصُ، فَمَن أرادَ شَرَفًا فَلْيَلْتَمِسْهُ مِنها

Sebab, menurut al-Baidhawi, “Sebab takwa-lah jiwa menjadi sempurna, dan dengan takwa pula manusia berbeda derajatnya. Maka siapa pun yang menginginkan kemuliaan, hendaklah ia mencarinya melalui takwa.”

Artinya, takwa adalah privilege tertinggi seorang hamba di sisi Allah, bukan nasabmu, bukan hartamu, bukan pula jabatanmu. Takwa merupakan status spiritual yang hanya bisa dicapai melalui kesadaran batin, pengendalian diri, dan kepatuhan kepada Allah. Di tengah dunia yang kian gemar menilai kemuliaan dari gelar dan pencapaian, ayat ini seolah menegaskan ulang hakikat kemanusiaan kita: bahwa kehormatan dan kemuliaan sejati tidak ditentukan oleh apa yang tampak di mata manusia, tetapi oleh sejauh mana hati kita tunduk dan tulus di hadapan Sang Pencipta, Allah SWT.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini