Sebentar lagi, masyarakat Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum kepala daerah. Dalam momen penting ini, banyak calon kepala daerah yang maju dengan jargon-jargon agama, seperti religius, welas asih, dan sejenisnya. Namun, penting untuk mempertanyakan “apa sebenarnya kriteria pemimpin yang ideal menurut al-Qur’an?” Kriteria ini tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus mencerminkan karakter dan integritas yang sesuai dengan ajaran Islam.
Salah satu kriteria calon pemimpin yang ideal adalah rabbani. Istilah ini tercantum dalam QS. Ali Imran ayat 79:
Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya mengutip banyak riwayat dalam menjelaskan ayat ini, makna rabbani yang pertama adalah orang yang faham hukum agama (fuqaha’) sekaligus berilmu atau ulama’. Ini berarti seorang yang rabbani harus memiliki pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu agama maupun ilmu dunia. Dengan pemahaman yang mendalam, rabbani dapat membuat keputusan yang bijaksana dan adil, serta mampu mengarahkan masyarakat menuju kebaikan.
Makna rabbani yang kedua adalah “orang yang bijaksana (hukama’) sekaligus bertaqwa (atqiya’)”. Seorang rabbani yang bijaksana mampu melihat berbagai aspek dalam pengambilan keputusan, sementara ketakwaan menjadi landasan moral dalam setiap tindakan. Kombinasi ini sangat penting agar pemimpin yang rabbani dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan integritas.
Makna rabbani yang ketiga adalah “Pemimpin dan Pengatur Masyarakat”. Dalam pandangan Imam Ath-Thabari, sosok rabbani adalah tiang penyangga masyarakat dalam bidang fiqh dan sains, serta dalam urusan dunia dan akhirat. Ibn Mujahid menambahkan bahwa dalam diri seorang rabbani terkumpul sains, fiqh, ilmu politik, manajemen, dan integritas untuk mengurus kemaslahatan masyarakat dalam hal duniawi dan ukhrawi. Ini menunjukkan bahwa pemimpin yang ideal harus mampu mengelola aspek lahir dan batin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada ayat di atas terdapat dua hal yang menjadi sebab seseorang bisa mencapai derajat rabbani. Sebab pertama adalah “mengajar atau mendidik manusia”. Mendidik disini adalah mendidik masyarakat sesuai tuntunan al-Kitab atau Al-Qur’an. Hal ini diisyaratkan oleh lanjutan ayat yang menjadi sebab keduanya yaitu “mempelajari dan mentadabburi” al-Qur’an. Dua syarat ini selaras dengan sabda Nabi yang masyhur:
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya”.
Ketika Pilkada nanti dilaksanakan, seyogyanya umat Islam tidak tertipu dengan jargon-jargon yang hanya bersifat permukaan. Penting untuk benar-benar melihat sifat-sifat rabbani dalam sosok calon yang akan dipilih. Jika tidak ada calon yang memenuhi kriteria tersebut, maka pilihlah yang paling mendekati. Ada kaidah yang menyatakan:
“sesuatu yang tidak mungkin diraih sepenuhnya, maka tidak boleh ditinggalkan seluruhnya.”
Dengan demikian, pemilih dapat berkontribusi pada pemilihan pemimpin yang lebih baik dan sesuai dengan ajaran Islam.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini