Hari raya iduladha (penulisannya mengikuti kata baku dalam KBBI) sering juga disebut dengan hari raya haji atau hari raya kurban. Kedua nama ini berasalan. Ia disebut dengan hari raya haji karena bertepatan dengan puncak haji di setiap tahun, yaitu 10 Zulhijah. Sedangkan disebut dengan hari raya kurban, karena pada waktu itu muslim di seluruh dunia mengadakan penyembelihan hewan kurban, yang merupakan salah satu syariat Islam.
Kurban (penyembelihan hewan kurban) dalam Bahasa Arab disebut dengan al-udhhiyyah. Kata ini seakar dengan kata dhuha, yaitu permulaan siang. Secara istilah syariat Islam, kurban adalah sesuatu yang disembelih sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt yang dilaksanakan di waktu pengurbanan, yaitu hari raya iduladha dan hari-hari tasyrik (11-13 Zulhijah), dengan syarat-syarat khusus (Mausuu’ah al-Fiqhiyyah, jil. 5, hal. 74).
Dengan demikian, penyembelihan yang dilakukan selain dengan niat dan waktu yang telah ditentukan, tidak dapat dikatakan sebagai kurban. Penyembelihan hewan yang dilakukan untuk jual-beli, dimakan sendiri, akikah, dan lain sebagainya bukanlah kurban. Atau, kendati diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetap tidak dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan, ia juga bukan kurban.
Fikih Kurban
Banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa kurban adalah sunah yang dilaksanakan sekali dalam hidup. Menurut pendapat ulama, kurban hukumnya adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan) setiap tahun. Artinya, setiap hari raya iduladha tiba, setiap muslim dianjurkan untuk melaksanakannya.
Mazhab Syafii, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunah muakkad. Dalil yang mereka jadikan acuan dalam pendapat mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Jika telah tiba sepuluh (Zulhijah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” (HR. Muslim, no. 1977)
Dalam hadis tersebut, terdapat redaksi “… dan salah seorang hendak berkurban…” Bagi mayoritas ulama, ini menjadi dalil bahwa berkurban itu sunah hukumnya. Dalil lainnya adalah perbuatan dua sahabat utama Nabi, yaitu Abu Bakar dan Umar, yang pernah tidak melaksanakan kurban sekali atau dua kali. Ini mereka lakukan agar umat tidak menganggap bahwa kurban adalah kewajiban.
Sedangkan menurut Abu Hanifah kurban wajib dilakukan bagi orang yang mampu. Beliau menjadikan surah al-Kautsar ayat ke-2 (maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah) sebagai dalil kewajiban kurban. Ketika suatu syariat diwajibkan bagi Nabi Muhammad, menurut Abu Hanifah, maka ia juga diwajibkan bagi umatnya (Mausuu’ah al-Fiqhiyyah, jil. 5, hal. 77).
Sejarah Kurban
Dalam hukum Islam, kurban pertama kali disyariatkan pada tahun kedua hijriah. Kendati peristiwa kurban sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah telah ada sejak masa Nabi Adam, kurban yang dikenal sekarang lebih merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan putranya, yaitu Nabi Ismail.
Nabi Ibrahim dikenal sebagai salah satu nabi ulul ‘azmi, yaitu para nabi yang memiliki kesabaran luar biasa dalam menjalani berbagai cobaan dari Allah swt. Di antara kesabaran yang dijalani Nabi Ibrahim adalah perintah Allah agar dia menyembelih Ismail. Ismail sendiri adalah anak yang sangat ditunggu-tunggu oleh Nabi Ibrahim. Di usia tuanya, beliau belum dikaruniai seorang keturunan, sehingga beliau berdoa:
“(Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh.”
Menurut Ibnu Katsir, Nabi Ibrahim telah berumur 86 tahun ketika Ismail lahir. Sedangkan anak yang kedua, yaitu Ishak, lahir ketika beliau telah berumur 99 tahun (Tafsir Ibn Katsir, jil. 7, hal. 27). Ketika Ismail mencapai usia remaja, Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu dari Allah dalam mimpinya. Mimpi itu berisi perintah agar Nabi Ibrahim menyembelih satu-satunya anak yang dimilikinya saat itu, yaitu Ismail (QS. Al-Shaffat[37]: 102).
Betapa berat ujian yang dialami oleh Nabi Ibrahim. Di usianya yang sangat senja, yang baru mendapatkan buah hati di usia 86 tahun, dan hanya memiliki satu-satunya anak, beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Dengan iman dan ketaatan yang begitu besar kepada Allah, Nabi Ibrahim menyampaikan mimpinya kepada Ismail. Ismail pun tak kalah besar hatinya, dengan ketaatan ia mengatakan kepada ayahnya agar melaksanakan perintah Allah swt.
Ketika tiba waktu pelaksanaan, ketika Nabi Ibrahim telah membaringkan Ismail dan siap mengayunkan pisau, Allah menggantikan tubuh Ismail dengan hewan sembelihan yang besar. Allah menerangkan bahwa peristiwa itu sebagai ujian yang besar bagi Nabi Ibrahim, untuk melihat ketaatannya (QS. Al-Shaffat[37]: 104-107).
Hikmah Kurban
Di setiap kisah selalu ada hikmah yang dapat diambil, terlebih peristiwa besar yang menentukan hukum. Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengajarkan dan mengingatkan kepada kita betapa cinta dan ketaatan kepada Allah swt harus diutamakan, melebihi cinta kita kepada anak dan keluarga, apalagi sekadar cinta kepada harta duniawi. Kisah tersebut mengajarkan umat untuk tidak egois dan serakah. Bagaimana pun, harta dan keluarga hanyalah titipan Allah swt, yang kapan pun dapat diambil-Nya.
Berkurban juga dapat menjadi salah satu cara bagaimana seorang hamba mensyukuri nikmat hidup yang telah diberikan Allah kepadanya. Setiap insan diwajibkan untuk selalu bersyukur, karena syukur itu sendiri akan menambah keberkahan hidup. Bahkan, dengan syukur pula harta dan kepemilikan dapat bertambah (QS. Ibrahim[14]: 7).
Hari raya kurban dapat menjadi momen penguatan solidaritas umat dan kepedulian terhadap orang lain. Daging kurban yang begitu banyak biasanya dibagi kepada banyak elemen masyarakat, utamanya bagi mereka yang sangat membutuhkan, seperti fakir dan miskin. Bukan hanya pembagian, bahkan proses pelaksaan kurban, dimulai dari persiapan, pemotong, dan seterusnya, dilakukan bersama-sama, sehingga solidaritas menguat.
Orang yang berkurban akan mendapat ganjaran yang besar. Sebab, kurban itu sendiri dinillai sebagai sunah yang sangat dianjurkan. Berkurban dilakukan dengan biaya yang cukup besar. Semakin besar biaya dan tenaga yang dibutuhkan, semakin besar pula ganjaran yang akan didapat, yang tentunya harus disertai dengan keikhlasan. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini