Halal bihalal merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Dua kata majemuk ini berasal dari bahasa Arab yaitu halal yang diapit oleh kata penghubung huruf ba (bi) halal. Kata halâl dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram.
Meskipun kata ini berasal dari bahasa Arab, uniknya, di kalangan masyarakat Arab sendiri kata halal bihalal tidak populer. Kalau demikian, istilah ini hemat saya lahir dari hasil kreativitas bangsa. Dengan kata lain, halal bihalal adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Indonesia.
Penggunaan istilah halal bihalal, biasa dipakai untuk pertemuan setelah lebaran. Diisi dengan saling bersalaman, silaturahmi, dan bisa koneksi/relasi jabatan, bisnis dan lain-lain setelah beberapa pekan tidak bertemu. Bisa jadi, makna halal bihalal berarti satu pertemuan yang diperkenankan makan atau yang lainnya, pada siang hari, setelah satu bulan penuh sesuatu yang dihalalkan dalam bulan lain, di siang bulan Ramadhan menjadi haram.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari dan pasca Lebaran. Lebaran merupakan suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan puasa mereka dilandasi dengan keimanan.
Dalam Al-Quran setidaknya ada nilai-nilai yang mengajarkan halal bihalal. Perhatikan Q.S. Âli ‘Imrân/3: 134-135, ayat ini bertalian dengan nasihat pada waktu peristiwa perang Uhud. Akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang. Kemudian, karena akibat perang Uhud itu, banyak orang yang gugur di medan perang yang mengundang banyak penyesalan, bahkan kemarahan. Maka, nasihat petama adalah ajakan berinfak baik diwaktu lapang maupun sempit. Nasihat kedua dari ayat di atas, himbauan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain.
Ada tiga tingkatan manusia dalam menghadapi kesalahan orang lain menurut ayat di atas. Pertama, mampu menahan amarah (al-kâdzimîn al-ghaîdz); kedua, menghapus bekas-bekas luka, seolah tidak pernah terjadi apa-apa; dan ketiga, Allah kembali mengingatkan bukan hanya menahan amarah, atau hanya sekedar memaafkan, tetapi yang lebih disukai oleh Allah adalah berbuat kebaikan kepada orang yang pernah melakukan kesalahan.
Ada terapi pada ayat berikutnya (135), yaitu siapa yang sengaja atau tidak melakukan perbuatn keji, baik itu berbuat dosa besar seperti korupsi, membunuh, berzina atau pelanggaran apapun, maka hendaklah mengingat Allah (dzakarûllâh) dan memohon ampunan atas dosa-dosa serta bertekat sekuat tenaga untuk tidak mengulanginya.
Ada makna yang sangat dalam, dari dua ayat di atas, berangkat dari makna halal bihalal seperti tersebut di atas, yang ingin ditonjolkan oleh dua ayat di atas adalah pesan universal Islam untuk selalu berbuat baik dan mudah memaafkan orang lain. Sikap inilah yang mestinya menjadi warna masyarakat Muslim Indonesia dan di negara-negara rumpun lainnya.
Ketika sudah melalui proses sesuai dengan bimbingan ayat di atas, maka baru kemudian masuk ke tahap berikutnya yang kemudian dikenal dengan istilah idul fithri. ‘id artinya kembali, fitri berasal dari bahasa Arab yakni fithrah yang mempunyai arti suci/bersih. Sehingga, ‘idul fithr berarti kembalinya manusia kepada keadaan suci, atau keterbebasan manusia dari segala dosa dan noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Kesadaran akan semua kesalahan manusia, akan membawa kedekatan kepada Allah. Ketika manusia sudah bertaubat, itu artinya manusia kembali suci tanpa noda. Sehingga tidak ada pembatas atas makhluk dan Tuhan. Inilah makna Q.S. al-Baqarah/2: 186, “Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku”.
Dalam hadis Qudsi Allah berfirman: “Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari.” (H.R. Bukhari dari Anas bin Malik).
Gelar setelah proses di atas, yang kembali disandangkan adalah yang dikenal dengan istilah minal â’idzin wal fâizîn. Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan dari doa panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallâhu Minnâ Wa Minkum Wa Ja’alanallâhu Minal ‘Âidzîn Wal Fâizîn” (Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan).
Dari uraian di atas dapat ditarik natijah bahwa halal bihalal, idul fltri, dan minal ‘âidzin wal faâizîn mengandung pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan sesama manusia. Kedekatan tersebut diperoleh dengan kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
Sekilas menengok persoalan bangsa kita, jelang pilpres safari politik mulai dari tokoh politik, para Menteri, pimpinan partai politik hingga presiden mulai sibuk dengan silaturahmi politik, belum lagi kasus-kasus besar yang sempat mencuat misalnya transaksi mencurigakan yang nilainya ratusan triliunan, lemahnya pemberantasan korupsi, flexing para pejabat, tidak kalah menariknya dikalangan masyarakat muncul juga membongkar soal nasabah antara kyai dan habaib dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu, kuncinya adalah lakukan perbaikan (muhsinîn), tahan amarah jangan mudah terprovokasi, dan maafkanlah. Wallâhu a’lam bi al-shawab.
Dr. H. Hasani Ahmad Said, M.A., Ustadz di Cariustadz dan Dosen UIN Jakarta
Tertarik mengundang ustadz Dr. H. Hasani Ahmad Said, M.A.? Silakan klik disini