Kesurupan dalam Tradisi Jawa dan Islam

Ada beberapa pertanyaan keislaman terkait judul yang saya angkat. Yang paling utama adalah, apakah roh orang yang meninggal bisa kembali lagi ke dunia? Bila jawabannya adalah bisa, pertanyaan selanjutnya adalah apakah roh tersebut bisa merasuki raga orang lain yang masih hidup? Apabila tidak bisa, lalu apa atau siapa yang merasukinya? Masyarakat biasa menyebut istilah ini sebagai kesurupan. 

Sebelum membahas bagaimana kesurupan dalam pandangan Islam, ada baiknya kita menelusuri bagaimana tradisi yang diyakini masyarakat Jawa tentang roh halus melalui buku Clifford Geertz, Agama Jawa. Dari banyak makhluk halus yang ada, salah satunya bisa menyebabkan seseorang kerasukan. Akan tetapi, temuannya mengatakan bahwa makhluk yang merasuki jasad seseorang bukan merupakan arwah orang meninggal yang gentayangan. Sebaliknya, melalui informan yang ditemui Geertz, makhluk halus lah yang menyebabkan kerasukan. 

Orang Jawa biasa menyebut makhluk halus yang menyebabkan kesurupan dengan istilah lelembut, gendruwo, setan, demit, atau jin. Lelembut ini cukup “berbahaya” bagi manusia, karena tidak saja membuat orang kesurupan. Lebih dari itu, akhir dari kesurupan ini umumnya membuat mereka menjadi gila, sakit, bahkan ada yang berujung kematian.

Teori Jawa menyebutkan, lelembut selalu masuk ke raga seseorang dari bawah, melalui kaki. Itulah kenapa, seseorang sering membasuh kaki sebelum masuk masjid. Di samping itu, ada juga yang menyebutkan mereka masuk lewat kepala. Oleh karenanya, ubun-ubun bayi harus selalu ditutup dengan campuran bawang agar tidak sawanen. Ini bertujuan agar mereka “terkejut” dan takut dengan bahan-bahan yang pedas ini. 

Uniknya, Geertz juga menyebutkan bahwa lelembut ada yang berasal dari santri, ada juga dari abangan. Ketika korbannya kerasukan lelembut santri, maka biasanya saat ditanya akan mengaku dengan ucapan seperti, “Namaku Kiai Bendok, dll.” Namun ketika lelembut-nya dari kalangan abangan, maka ia memperkenalkan dirinya seperti, “Namaku Sapu Jagad”, dan seterusnya. 

Kembali ke pembahasan awal, yakni bagaimana tanggapan agama terhadap fenomena kesurupan? 

Surat al-Baqarah ayat 275 oleh banyak ulama dimaknai berbicara dengan jelas perihal kesurupan. Ayat itu berbunyi,

اَلَّذِيۡنَ يَاۡكُلُوۡنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوۡمُوۡنَ اِلَّا كَمَا يَقُوۡمُ الَّذِىۡ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيۡطٰنُ مِنَ الۡمَسِّ​ؕ

Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. (Qur’an Kemenag)

Dari ayat di atas, beragam penafsiran muncul. Yang pada intinya mengerucut pada dua pendapat. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa setan bisa masuk ke tubuh manusia. Kedua, kelompok yang menolak bahwa setan bisa masuk ke tubuh manusia. 

Argumentasi kelompok yang pertama didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita membawa anaknya kepada Nabi seraya berkata, “sesungguhnya anakku menderita gangguan (gila) setiap kami makan malam dan siang,” Nabi pun mengusap dadanya dan berdoa untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Kemudian anak itu sembuh (HR. Daruqutni dan Baihaqi). 

Selain hadist di atas, mereka juga menguatkan pendapatnya dengan mengatakan, “kalau air dan makanan dapat masuk ke dalam tubuh manusia, begitu juga ada angin yang bisa masuk, lalu apa yang menghalangi jin bisa masuk? Padahal jin adalah makhluk yang halus”. 

Adapun argumentasi kelompok kedua, mereka berpandangan bahwa ayat maupun hadist di atas tidak cukup dipahami secara tekstual, ayat itu sebagai ilustrasi untuk mempermudah pemahaman bukan dalam arti harfiahnya. Di antara ulama yang mewakili kelompok ini adalah Zamakhsari (1075-1144 M). 

Ulama lain juga ada yang memahami ayat maupun hadist di atas sebagai berbicara tentang potensi negatif dalam diri manusia. Landasannya adalah surat as-Syams:7-8, Dan demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami pada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan. Menurut ulama ini, kefasikan melahirkan kejahatan, sedangkan ketakwaan melahirkan kebajikan. Keduanya ada dalam diri manusia, bukan sesuatu yang datang dari luar, apalagi dari setan. 

Dari dua kelompok besar yang berbeda ini, Quraish Shihab bersikap, bahwa tidak wajar bagi ilmu pengetahuan untuk mengabaikan apa yang dinamai kesurupan, karena faktanya terjadi di banyak tempat. Tidak pula wajar menolak penjelasan agamawan tentang sebab-sebabnya (kerasukan) sebelum ilmuwan mampu memberikan penjelasan yang memuaskan agamawan. Seperti itulah kurang lebih penjelasan Quraish Shihab melalui tafsirnya, Al-Misbah, begitu juga di dalam karyanya yang lain, Yang Tersembunyi.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menjelaskan satu pertanyaan yang belum terjawab, yakni terkait apakah roh manusia yang sudah meninggal bisa gentayangan dan masuk ke jasad orang yang masih hidup? 

Disebutkan dalam banyak hadist bahwa orang yang sudah meninggal dapat melihat perilaku orang yang masih hidup. Karen itulah, kita dianjurkan untuk berziarah kubur karena mereka (orang yang sudah meninggal) merasa senang dengan kehadiran kita, bahkan mereka juga menjawab salam yang kita ucapkan. Ini sebagaimana dijelaskan Imam Suyuti dalam Syarh as-Sudūr Bisyarhi Hāl al-Mautā wa Al-Qubūr. 

Perihal masuknya roh orang yang sudah meninggal ke dalam jasad orang yang sudah meninggal, saya tidak menemukan keterangan dalam berbagai sumber yang saya cari. Sebaliknya, keterangan bahwa orang yang hidup bisa kesurupan setan, jin atau lelembut dalam tradisi Jawa, itu mungkin terjadi meskipun masih terdapat khilaf di antara para ulama. Allahu a’lam.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini