Dari Kesadaran Ilahi ke Profesionalisme Sosial

Ihsan sering dipahami sebagai spiritualitas personal. Dalam Hadis Jibril, Rasulullah Saw menjelaskan ihsan sebagai “menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya; jika tidak mampu, maka sadar bahwa Allah melihat kita”.  Dari definisi ini, bisa kita bagi ihsan menjadi dua tingkat, pertama, tingkat elite yang mampu bermusyahadah (menyaksikan) Allah swt secara spiritual tentunya, dan yang kedua adalah tingkatan jelata yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Beliau turun satu tingkat pada definisi kedua agar ihsan bisa dihidupi oleh semua orang, bukan hanya elite spiritual dengan mengatakan bahwa Allah melihat hamba-Nya sehingga kesadaran batin harus mendorong perilaku yang benar dalam kehidupan sosial dan pekerjaan. Dalam Al-Qur’an juga, Allah digambarkan sebagai Dzat yang Maha Ihsan “Alladzi ahsana kulla shayin khalqah” (menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya), menunjukkan bahwa Allah swt Maha Sempurna, dan tidak mungkin kesempurnaan ini disaingi oleh makhluk.

Pemahaman ihsan kemudian berkembang dari kesadaran Ilahi (spiritual) menjadi etos profesionalisme. Sebagaimana Nabi Saw menegaskan bahwa “sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu”, bahkan dalam urusan teknis seperti menyembelih hewan—tidak sekadar niat baik, tetapi bagaimana tindakan itu dilakukan dengan ketepatan, ketuntasan, dan minimisasi mudarat. Ini menunjukkan bahwa ihsan tidak boleh sebatas pengalaman batin, tetapi harus terwujud dalam standar kerja terbaik. Bagi seorang Muslim yang benar-benar memahami ihsan sebagai integrasi antara niat lurus dan kualitas kerja, tidak mungkin hasil kerjanya asal-asalan. Karena dalam Islam, bekerja dengan niat baik dan hasil yang tuntas bukan hanya sekadar keterampilan teknis, tetapi penerapan kesadaran bahwa Allah melihat setiap pekerjaan manusia.

Realitas kontemporer menunjukkan krisis profesionalisme yang nyata dalam kehidupan sosial kita. Kritik terhadap pengangkatan politisi atau figur tanpa rekam jejak teknis di jabatan strategis menjadi isu yang sering muncul, seperti keberatan akademisi terhadap praktik jabatan publik yang menjadi “alat politik” dan bukan ditempati oleh profesional yang tepat bidangnya, sehingga mengabaikan kompetensi dan etika kerja yang layak. Tidak kurang dari 55% jabatan Menteri yang diisi oleh tokoh politik yang memang latar belakangnya tidak linier dengan bidang kementrian tersebut. Belum lagi jajaran direksi atau komisaris BUMN yang terang benderang cendrung menjadi bancakan politik. Tak terkecuali juga anggota legislatif yang banyak diisi oleh artis yang diyakini tidak memiliki kompetensi sama sekali terkait komisi yang dijabatnya.

Kondisi ini bukan sekadar soal kelemahan administrative, tetapi juga ketiadaan ihsan dalam ranah sosial dan profesional. Ketika jabatan publik dipandang sebagai urusan politik belaka dan bukan amanah yang harus dilaksanakan oleh orang yang kompeten dan bertanggung jawab, maka keputusan yang dihasilkan sering tidak memihak pada keselamatan dan kesejahteraan publik. Dalam perspektif maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariat), ini berdampak pada pelanggaran terhadap penjagaan jiwa (hifẓ al-nafs) meskipun tidak berniat jahat secara eksplisit. Dampak kebijakan asal-asalan, prosedur yang salah, atau kurangnya analisis teknis tidak jarang menimbulkan risiko besar bagi kehidupan masyarakat. Ada adagium baru yang dilahirkan dari kritik sosial bahwa “Seringkali inkompetensi membunuh lebih banyak dari kejahatan itu sendiri”. Bayangkan saja, sebuah pesawat dikemudikan oleh orang yang tidak kompeten, pembuatan jembatan dikerjakan oleh orang tidak kompeten, atau otoritas kehutanan di duduki oleh orang yang tidak kompeten, apa yang akan terjadi?

Oleh karena itu, ihsan harus dihidupkan kembali sebagai standar sosial dan profesionalisme, tidak sekadar sebagai kesalehan batin, tetapi sebagai tuntutan terhadap kualitas kerja yang nyata di masyarakat. Islam tidak menerima niat baik tanpa kecakapan, dan tidak memuliakan kecakapan tanpa tanggung jawab moral. Ihsan yang hidup dalam kehidupan sosial berarti bekerja dengan takut kepada Allah dan menghasilkan pekerjaan yang benar-benar memberi maslahat bagi sesama. Tanpa itu, kelemahan kompetensi tidak hanya menjadi masalah administratif, tetapi menjadi ancaman bagi kualitas hidup bersama.

Dr. Mukhrij Sidqy, M.A, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Mukhrij Sidqy, M.A? Silahkan klik disini