Doa merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan manusia, khususnya bagi mereka yang beragama. Agama-agama besar di dunia menempatkan doa sebagai salah satu laku ritual utama keberagamaan. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad Saw menyebut bahwa al-du’a mukhkh al-‘ibadah (doa adalah ruhnya ibadah).
Ruh atau jiwa diyakini sebagai sesuatu yang fundamental bagi manusia. Ia lebih esensial dibandingkan fisik. Jika ibadah saja telah menduduki posisi yang begitu pentingnya dalam ajaran agama Islam, maka berdoa pun demikian. Sebab, ia disebut sebagai ruhnya ibadah.
Ibadah tanpa doa adalah sesuatu yang kering makna, dilakukan hanya sebagai formalitas belaka. Bahkan, shalat yang merupakan salah satu rukun Islam dan ibadah utama secara harfiah bermakna doa.
Makna dan Hakikat Doa
Secara bahasa, doa berasal dari kata da’awa yang artinya memanggil atau menyeru. Ia juga berarti permintaan dan permohonan, seperti permintaan untuk melakukan sesuatu.
Secara istilah, Imam al-Khathabi, seperti dikutip oleh Mahir bin Abdul Hamid dalam Syarh al-Du’a min al-Kitab wa al-Sunnah (hlm. 11) menjelaskan bahwa doa adalah:
“Permohonan seorang hamba kepada Tuhannya untuk diberi perhatian (‘inayah) dan pertolongan (ma’unah), serta menyandarkan pertolongan tersebut kepada-Nya. Berdoa secara hakikat adalah pernyataan fakirnya seorang hamba di hadapan-Nya, serta tiada ia memiliki daya dan kekuatan.”
Doa adalah bukti betapa lemahnya seorang hamba di hadapan Allah Yang Maha Agung. Ketika berdoa, seorang hamba sedang menunjukkan ketergantungannya secara total kepada Allah Sang Maha Segala.
Doa itu sendiri adalah salah satu bentuk ibadah. Dengan berdoa, seorang hamba sejatinya sedang menjalankan salah satu perintah Allah kepadanya. Berulang kali Allah menyuruh hamba untuk berdoa. Dalam surah Ghafir ayat 60, misalnya, Ia berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖ
“Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”
Mahir bin Abdul Hamid, berdasarkan ayat di atas, menyebutkan bahwa doa adalah ibadah yang agung. Meninggalkan doa (memohon) kepada Allah adalah bentuk kesombongan dan kekufuran nikmat. Redaksi ‘ud’uu (berdoalah) pada ayat di atas bermakna perintah (hlm. 14).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi Muhammad telah mengingatkan pentingnya berdoa. Beliau bersabda, “Siapa yang tidak meminta (memohon) kepada Allah, Dia akan murka kepadanya.”
Maka, berdoa sejatinya adalah melaksakan perintah-Nya. Doa mengajarkan manusia untuk mengingat kehambaan dirinya yang begitu lemah dan senantiasa membutuhkan pertolongan-Nya. Tidak semestinya manusia merasa dirinya tinggi hingga dapat berlaku sombong.
Memohon, Bukan Memerintah
Sayangnya, manusia sering lalai dalam berdoa, bukan sebatas dalam arti minimnya panjatan doa yang disampaikan, melainkan dalam mengingat hakikat doa. Banyak hamba berdoa siang-malam dengan doa yang begitu panjangnya. Ia berharap agar Allah mengabulkan semua doanya, menuntut ini dan itu, bahkan dengan nada yang terkesan memaksa.
Bukan berarti berharap agar doa segera dikabulkan adalah perbuatan yang salah, karena pengabulan itu sendiri adalah janji Allah. Yang perlu dibenahi dan ditanamkan dalam hati dan pikiran adalah bahwa doa itu adalah sebuah permohonan, bukan perintah, memingat diucapkan oleh yang lemah kepada Yang Maha Kuasa.
Mereka yang ngebet agar doanya segera dikabulkan sesuai dengan kehendaknya terkesan mendikte Allah, seakan Dia tidak mengetahui kebutuhan hamba. Atas banyaknya orang yang berdoa dengan cara demikian, Ibn Atha’illah dalam kitab al-Hikam, sebagaimana dikutip oleh Jailan bin Khadr dalam kitab al-Do’a wa Manzilatuhu min al-‘Aqidah (juz 1, hlm. 185), mengingatkan:
لا يكن تأخر العطاء مع الإلحاح في الدعاء موجبًا ليأسك فهو ضمن لك الإجابة فيما يختاره لك، لا فيما تختار لنفسك، وفي الوقت الذي يريد لا في الوقت الذي تريده
“Tidak pantas dintundanya suatu doa, bersamaan (padahal ada) kesungguhan dalam memohonnya, menjadi alasan bagimu untuk berputus asa. Dia telah menjamin terkabulnya doa sesuai pilihan-Nya untukmu, bukan sesuai pilihanmu untuk dirimu sendiri. Juga, pada waktu yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang kau mau.”
Mengutip suara.com, tokoh agama dan budayawan Indonesia, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, menyatakan bahwa seorang hamba sebaiknya tidak berdoa secara to the point pada keinginan dan permintaannya. Seorang hamba dapat belajar adab berdoa kepada surah al-Fatihah.
Sebelum meminta, hamba sebaiknya memuji-muji Allah sebanyak-banyaknya, lebih banyak daripada permintaan yang akan dia panjatkan kepada Tuhannya. Hal ini diajarkan dalam surah al-Fatihah yang terdiri atas tujuh ayat tersebut.
Dalam surah al-Fatihah, permintaan seorang hamba baru dipanjatkan pada ayat ke-6, yang berbunyi ihdina al-shirath al-mustaqim (tunjukanlah kami jalan yang lurus). Sebelum permintaan itu, al-Fatihah dimulai dengan puja-puji atas keagungan Allah Yang Maha Segala.
Kita memujinya sebagai Rahman dan Rahim, Tuhan seluruh alam, Pemilik hari pembalasan, dan sebagai Zat manusia menyembah dan memohon pertolongan. Setelah puja-puji itulah permintaan dipanjatkan. Ayat terakhir pun bukan permintaan lainnya, tetapi penjelasan dari hal yang dipinta.
Dengan demikian, yang sebaiknya selalu diingat setiap hamba ketika berdoa adalah bahwa dia adalah makhluk yang, dengan segala kesadaran kelemahannya, sedang memohon pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, bukan mendikte-Nya. Juga, senantiasa meyakini bahwa jawaban doanya diberikan Allah berdasarkan yang terbaik untuk dirinya meskipun tidak sesuai keinginannya.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini