Baru-baru ini cukup viral di berbagai pemberitaan tentang seorang budayawan yang menyebut pemimpin Indonesia dengan julukan Firaun. Tindakan ini sontak memancing perhatian publik. Banyak kalangan yang menilai tindakan tersebut sebagai prilaku yang tidak pantas dilakukan oleh siapapun. Tulisan ini akan mencoba mengulas hukum melakukan tindakan tersebut dalam kacamata syariat.
Firaun, Haman dan Qarun di dalam khazanah kebudayaan Islam adalah sosok yang dilabeli sebagai tokoh jahat. Hal ini disebabkan mereka enggan menerima dakwah Nabi Musa untuk menyembah Allah Swt dan menjahui larangan-larangannya. Kejahatan mereka terekam dalam kisah-kisah dakwah Nabi Musa di Mesir, yang diabadikan salah satunya di dalam al-Qur’an:
Dan (juga) Qarun, Firaun, dan Haman. Sungguh, benar-benar telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang yang tidak luput (dari azab Allah) (al-Ankabut ayat 39).
Menyebut seseorang dengan julukan Firaun dan sebagainya tak lain untuk menunjukkan adanya kemiripan antara tokoh tersebut dengan orang yang menerima julukan. Hal ini secara tidak langsung merupakan hinaan kepada orang yang menerima julukan. Sebab si pemberi julukan sama saja menyebut si penerima julukan memiliki sifat buruk sebagaimana yang dimiliki Firaun dan selainnya. Entah seperti apa sifat buruk tersebut.
Di dalam al-Qur’an Allah melarang menjuluki orang lain dengan julukan yang buruk. Allah berfirman:
Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik) setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim (Al-Hujurat ayat 11).
Selain itu, menjuluki orang lain dengan julukan buruk dapat dikategorikan tindakan “mengatai” sebagaimana yang disinggung dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Mas’ud:
Mengatai seorang muslim adalah tindakan yang dianggap melanggar larangan Allah (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam al-Munawi mendefinisikan sibab (mencemooh) sebagai membicarakan sesuatu terkait harga diri seseorang yang berisi celaan atau ejekan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap ucapan yang berisi hinaan, entah itu bagamaimana bentuk, merupakan bentuk melanggar larangan Allah (Faidul Qadir/4/111).
Imam al-Nawawi di dalam al-Adzkar menjelaskan, mengatai seorang muslim dengan ucapan yang tidak dilegalkan oleh syariat, hukumnya haram. Hal ini seperti ucapan: Hai keledai! Hai anjing! Hai kambing! Dan ucapan selainnya. Ucapan seperti ini diharamkan sebab dua hal: yaitu memuat perkataan dusta serta adanya unsur menyakiti orang lain.
Imam al-Nawawi mengecualikan ucapan “Hai orang zalim!” dan sesamanya dan menganggapnya sebagai tidak terlarang. Hal ini disebabkan ucapan tersebut biasa terpakai dalam sebuah perdebatan. Selain itu, umumnya tuduhan sebagai orang zalim itu benar adanya. Sebab hampir tidak ada orang yang bebas dari prilaku zalim, entah itu pada orang lain atau dirinya sendiri (Al-Adzkar/1/461).
Dari berbagai keterangan di atas kita bisa mengambil kesimpulan, Islam melarang kita memunculkan ucapan-ucapan yang bermuatan hinaan atau ejekan kepada orang lain serta menciderai harga diri seseorang. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu terkait diri orang lain. Andai memang diperlukan membicarakan tentang orang lain, hendaknya didasari tujuan-tujuan baik sebagaimana yang dilegalkan dalam syariat Islam. Wallahu a’lam.
Mohammad Nasif, Penulis Buku Keislaman dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Mohammad Nasif, S.Th.I? Silahkan klik disini