Benarkah Nabi Muhammad tidak pandai membaca [ummi]? Bukankah wahyu pertama yang beliau terima memerintahkan beliau untuk membaca? Jika benar beliau tidak pandai membaca, maka apa rahasianya? Bukankah beliau sangat jujur dan amat pandai berdagang? Lalu, bagaimana beliau mengajarkan Al-Quran? [Hamba Allah via formulir pertanyaan] Menurut Al-Quran [QS. al-A’raf [7]: 157-158], Nabi Muhammad adalah seorang ummi. Para penafsir mengartikannya sebagai tidak pandai membaca dan menulis. Al-Quran juga menyatakan, “Dan engkau tidak pernah membaca sebelumnya [Al-Quran] suatu kitab pun dan engkau tidak pernah menulisnya dengan tangan kananmu. Andaikata engkau pernah membaca dan menulisnya, niscaya benar-benar ragulah orang yang mengingkarimu” [QS. al-‘Ankabut [29]: 48]. Al-Quran menguraikan sekian banyak persoalan yang tidak diketahui oleh umat manusia. Seandainya Nabi Muhammad pandai membaca, maka akan ada yang berkata bahwa apa yang beliau sampaikan itu adalah hasil bacaannya. Dahulu, alat tulis menulis amat langka, budaya tulis juga rendah. Karenanya, masyarakat ketika itu amat mengandalkan hafalan. Bahkan, seorang penyair bernama Zurrummah yang dipergoki oleh temannya sedang menulis, dengan tulus bermohon, “Rahasiakanlah ini menyangkut diriku [maksudnya: Jangan beri tahu orang lain kalau aku bisa menulis]. Sebab, menulis adalah aib bagi kami.” Ini karena kemampuan menulis dapat menjadi bukti kelemahan hafalan seseorang. Dan kelemahan hafalan menjadikan seseorang tidak mampu merekam banyak pengetahuan, termasuk syair-syair para penyair. Ini berbeda dengan masa kita sekarang. Kemampuan menghafal tidak terlalu diandalkan. Dan bukan aib bagi kita sekarang ini kalau tidak memiliki hafalan yang andal, karena referensi buku dan alat-alat perekam cukup banyak tersedia. Nabi memang amat jujur, cerdas, dan terpercaya. Namun, semua itu tidak dapat dijadikan bukti bagi kemampuan membaca dan menulis. Pengetahuan berdagang dan pengetahuan tentang nilai mata uang pun demikian. Benar juga bahwa Al-Quran memerintahkan manusia untuk membaca melalui firman-Nya: ‘Iqra’ Akan tetapi kata ini tidak hanya berarti membaca dari satu teks tertulis. Bahkan, wahyu itu pada mulanya tidak berarti demikian. Iqra juga berarti meneliti, menghimpun, dan mengamati. Bagaimanapun, memang ada ulama yang menyatakan bahwa pada mulanya Nabi Saw tidak pandai membaca dan menulis. Namun, setelah kebenaran Al-Quran terbukti, beliau akhirnya dapat juga membaca dan menulis. Para sahabat Nabi belajar membaca Al-Quran melalui pengajaran lisan. Sebab, pada masa hidup Nabi Saw, Al-Quran belum disebarluaskan dalam bentuk tulisan. Pengetahuan baca-tulis bukanlah syarat kemampuan mengajar atau membaca al-Quran. Kemampuan ini hanya membantu kelancarannya. Bahkan, hingga kini, pengajaran membaca Al-Quran masih mengandalkan ucapan sang guru. Karena itu, tanpa bimbingan lisan, seseorang tidak mungkin dapat membaca Al-Quran dengan sempurna. Bagaimana seseorang mengetahui tajwid dan bahkan membedakan huruf-huruf Alif-Lam-Mim di awal surah al-Baqarah dengan huruf-huruf yang ditulis sama di awal surah asy-Syarh [Alam Nasyrah] kalau tidak diajar secara lisan cara membaca keduanya? Bukankah awal surah Al-Baqarah dibaca huruf-hurufnya secara terpisah [Alif-Lam-Mim] dan awal surah asy-Syarh dibaca bergabung [Alam]? [M. Quraish Shihab, Pendiri Pusat Studi Al-Quran] |