Baligh sebagai Proses:  Kedewasaan Yang Tak Diukur oleh Usia

Dalam Islam, kata baligh hampir selalu dilekatkan pada batas biologis seseorang. Ia dikaitkan dengan mimpi basah (bagi laki-laki), menstruasi/ haid (bagi perempuan), atau tanda-tanda fisik lain yang dianggap menandai peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dalam fiqh klasik, pengertian ini sangat hegemonik sehingga menutup kemungkinan alternatif penafsiran lainnya yang jika ditelusuri lebih dalam, kita akan menemukan bahwa maknanya jauh lebih kaya ketimbang sekadar perubahan biologis. 

Al-Qur’an menggunakan balagha bukan hanya sebagai penanda usia, tapi juga penanda pencapaian, kematangan, bahkan kedalaman hikmah pada diri seseorang. Di sinilah persoalannya menjadi menarik. Sebab kedewasaan yang dipahami Al-Qur’an tidak selalu hadir bersamaan dengan bertambahnya usia atau usainya satu fase biologis. Ia hadir ketika seseorang sampai—balagha—pada titik tertentu dalam kualitas berpikir, bersikap, dan bertindak. 

Dalam konteks ini, penulis memaknai baligh sebagai proses mencapai kematangan di setiap level tanggung jawab manusia. Setiap orang memiliki “umur” kematangannya masing-masing, terlepas dari angka yang tercatat di KTP-nya. Seorang murid misalnya, baru dapat disebut baligh ketika ia mampu menata dirinya, dalam arti, ia mendengarkan penjelasan guru dengan saksama, menahan keinginan untuk bergurau saat pelajaran berlangsung, serta memahami bahwa belajar menuntut adab sebelum ilmu. Di titik itulah ia “sampai” pada kematangan sebagai santri.

Demikian pula kepala keluarga. Ia mencapai baligh ketika kesadarannya atas amanah hidup tumbuh penuh yakni menafkahi, mengayomi, membimbing, dan menyelenggarakan rumah tangganya dengan penuh tanggung jawab. Sementara seorang pejabat hanya layak disebut baligh jika ia tiba pada kesadaran bahwa jabatan bukan ruang menumpuk keuntungan pribadi, melainkan amanah untuk mendahulukan kepentingan rakyat di atas segalanya.

Bahkan dalam profesi yang mungkin tampak sederhana, seperti sopir bus, baligh memiliki makna etis yang tidak bisa diabaikan. Ia disebut baligh tatkala memahami batas perannya seperti memegang haluan bus dengan penuh kontrol, bukan mengikuti gaya pengendara motor yang selap-selip seenaknya. Kematangannya terlihat dari kesadaran akan keselamatan banyak nyawa, bukan sekadar keterampilan mengemudi.

Dengan cara pandang semacam ini, baligh tidak semata-mata ditafsirkan secara fiqhi, melainkan ihsani (kemaslahatan, kebaikan). Al-Qur’an, melalui berbagai ayatnya, menyediakan fondasi untuk membaca ulang istilah ini secara lebih ekstensif dan reflektif. 

Tiga makna baligh dalam Al-Qur’an

Pada tahap paling awal, Al-Qur’an menyebut “balagha al-hulum” (QS. al-Nur: 59), sebuah penanda kedewasaan fisik yang lazim dipahami sebagai masa pubertas, tatkala seseorang mengalami mimpi basah. Bâligh, dalam konteks ini, berfungsi sebagai batas biologis. Artinya, tubuh telah memasuki fase baru, meski belum diiringi dengan kematangan sikap dan bertingkah laku.

Kemudian, makna bâligh kedua bergerak lebih jauh tatkala Al-Qur’an menggunakan frasa “balaghû al-nikâh” (QS. al-Nisa’: 6). Baligh di sini, tidak sekadar membincangkan soal umur cukup menikah, akan tetapi ditandai dengan al-rusyd yakni kecakapan, kecerdasan, dan kemampuan mengelola tanggung jawab, khususnya dalam urusan harta.

Ketiga, puncak makna bâligh tampak dalam ungkapan “balagha asyuddah” (QS. al-Ahqaf: 15; QS. al-Qashash: 14), yakni telah sempurna kekuatannya, akalnya, dan pandangannya. Di sini, bâligh berbicara tentang fase kematangan eksistensial. Ia dapat diibaratkan seperti buah yang matang secara alami di pohonnya: siap dipetik karena telah sampai pada titik kemanfaatan terbaiknya. Buah yang dipetik sebelum waktunya bukan hanya belum memberi rasa, tetapi bahkan bisa mendatangkan mudarat. Begitulah bâligh dalam makna terdalamnya—bukan sekadar sampai, melainkan siap; bukan hanya dewasa secara usia, tetapi matang secara tanggung jawab dan kebijaksanaan.

Baligh sebagai Proses Pedagogis

Ar-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb dan al-Ālūsī dalam Rūḥ al-Ma‘ānī menyediakan landasan konseptual yang kuat untuk membaca baligh secara lebih luas daripada sekadar kategori biologis-fiqhiyah. Tafsir ar-Razi menekankan bahwa perintah dalam QS. an-Nur 59, meskipun secara lahiriah ditujukan kepada “anak-anak yang belum baligh”, pada hakikatnya adalah taklif bagi pihak yang telah matang secara tanggung jawab, yakni orang tua atau wali. 

Di sini, ar-Razi secara implisit memisahkan antara kapasitas biologis dan kapasitas tanggung jawab. Anak yang belum baligh secara fisik belum menjadi subjek hukum, namun ia tetap dilibatkan dalam disiplin etis—bukan demi kewajiban hukumnya, melainkan demi maslahah yang akan berbuah setelah baligh. 

Logika ini sangat penting dibangun karena seringkali kita memaknai baligh sebagai titik statis. Justru, menurut Ar-Razi, baligh adalah sebagai sebuah proses pedagogis menuju kematangan. Dengan kata lain, sebelum baligh biologis pun, seseorang sudah “disiapkan” untuk memikul amanah sesuai levelnya. Hal ini selaras dengan gagasan bahwa baligh adalah proses “sampai” (balagha) pada kesiapan batiniah dalam setiap jenjang tanggung jawab.

Sementara itu, al-Ālūsī dalam Rūḥ al-Ma‘ānī memperkaya pembacaan ini dari sisi kebahasaan dan struktur sosial ayat. Penekanan al-Alusi pada al-aṭfāl lil-‘ahd menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak sedang berbicara tentang anak-anak secara abstrak (ash-shabiy), melainkan tentang kategorisasi manusia tertentu dalam relasi sosial tertentu.

Sebagai misal, anak-anak yang belum baligh, yang posisinya disejajarkan—dan sekaligus dibedakan—dari kelompok lain (seperti budak). Ketika al-Alusi menyatakan “apabila anak-anak merdeka yang bukan mahram itu telah baligh”, ia sedang menandai momen transisi etis dan sosial, tidak semata biologis. Baligh di sini, menurutnya, adalah perubahan status tanggung jawab dalam tatanan relasi sosial yakni mulai cara berinteraksi, cara menjaga batas, dan cara memikul konsekuensi moral dari kehadirannya di ruang sosial.

Jika kedua tafsir ini dibaca bersama, tampak jelas bahwa baligh dalam Al-Qur’an bekerja pada dua lapis sekaligus. Pertama, sebagai penanda kesiapan menerima taklif hukum; kedua, sebagai penanda kematangan bertahap dalam memikul amanah. Di titik inilah pembacaan ihsani dan sufistik menjadi relevan. 

Al-Qur’an menggunakan akar kata balagha tidak hanya untuk usia dalam arti khusus, akan tetapi untuk “sampai” (balagha) pada kualitas tertentu—baik kualitas akal, sikap, maupun tanggung jawab. Maka, kedewasaan seseorang tidak selalu berbarengan dengan pertumbuhan biologis, melainkan dengan tercapainya kesadaran etis sesuai peran masing-masing.

Dengan kerangka ini, baligh nya seorang guru, murid, kepala keluarga, pejabat, hingga sopir bus dapat dipahami sebagai “sampainya” seseorang pada kematangan amanah dalam perannya. Ia menjadi baligh ketika mampu menahan diri, memahami batas, dan bertindak demi kemaslahatan yang lebih luas. Baligh adalah kematangan batiniyah yang kontekstual, bertingkat, dan terus-menerus diuji dalam setiap fase kehidupan manusia. Baligh juga berarti mampu mengenali diri, memiliki identitas definitif, bertanggung jawab, sanggup menunaikan kewajiban syariat, matang secara spiritual dan sosial. Di sinilah pentingnya menggali kembali makna baligh agar ia tidak membeku sebagai istilah biologis, namun hidup sebagai konsep etis yang membentuk pribadi yang matang dalam akal, adab, dan amanah.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini