Larangan Mempermainkan Kalimat Syahadat

Kalimat syahadat adalah satu konsep yang sangat sakral dalam agama Islam. Ia menduduki urutan pertama dalam rukun Islam. Syahadat, atau bisa juga disebut dua kalimat syahadat, menjadi penanda bagi seorang insan jika dia hendak diakui sebagai seorang muslim. Ia adalah pintu gerbang agama Islam. 

Pengakuan “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, membawa konsekuensi pada tindakan seseorang. Ia akan dibebani rukun-rukun Islam selanjutnya, yaitu salat, puasa, zakat, hingga naik haji bagi yang mampu. 

Syahadat, Kalimat Paling Sahih

Ahmad Bahauddin Nursalim, atau yang akrab dikenal sebagai Gus Baha, berkali-kali menyebut bahwa kalimat tauhid “laa ilaaha illa Allah” adalah kalimat dengan kebenaran paling mutlak. Sebab, Allah sebagai satu-satunya Tuhan adalah kebenaran yang tak dapat disangkal oleh apa pun. 

Banyak hadis yang menjelaskan betapa nilai kalimat tauhid tidak dapat dikalahkan dengan amal ibadah lainnya. Bahkan, banyaknya dosa akan kalah timbangannya ketika dibandingkan dengan kalimat ini. 

Dalam sebuah hadis yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, juga dicantumkan dalam dua kitab hadis sahih, yaitu Shahih Ibn Hibban dan al-Mustadrak ‘alaa al-Shahih, dijelaskan bahwa pada hari penghitungan amal nanti, akan ada seorang hamba yang memiliki 99 catatan dosa, yang panjang setiap kartunya adalah sejauh mata memandang. 

Ketika seorang hamba tersebut ditanya apakah dia memiliki kebaikan selama hidupnya, ia pun menjawab tidak ada. Kemudian, diperlihatkan kepadanya satu kartu kebaikan yang berisi kalimat syahadat. Ketika kartu yang berisi kalimat syahadat itu diletakkan pada salah satu sisi timbangan, ia mengalahkan berat timbangan kartu-kartu dosa yang jumlahnya banyak tadi. 

Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadis dengan makna senada. Ketika nabi Musa meminta kepada Allah untuk diajarkan suatu amal pamungkas agar ia dapat mengingat-Nya, Allah pun menyuruh nabi Musa untuk mengucapkan laa ilaaha illa Allah

Nabi Musa sedikit protes karena kalimat itu telah diucapkan oleh hamba-hamba lainnya, sehingga, menurut Nabi Musa, itu bukanlah kalimat khusus yang diajarkan kepadanya. Allah pun berfirman:

Wahai Musa, seandainya tujuh langit dan tujuh (lapisan) bumi beserta semua isinya, kecuali Aku, diletakkan pada satu timbangan dan kalimat laa ilaaha illa Allah diletakkan pada sisi timbangan lain, niscaya kalimat laa ilaaha illa Allah lebih berat timbangannya.

Ketika Syahadat Disalahgunakan

Jefrrey Lang, seorang matematikawan mualaf yang pernah menjadi aties, menyatakan bahwa betapa mudah seseorang menggunakan syahadat untuk kepentingan pribadi atau kelompok (2023, 342). 

Bagi Lang, perpindahan agama bukan sekadar permasalahan iman. Ia juga memengaruhi posisi seseorang dalam masyarakat, bahkan identitas politiknya. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, seorang mualaf telah membuka akses lebih dalam terhadap komunitas muslim. “Kehidupan seseorang, kekayaan, dan kehormatannya seketika menjadi sakral dengan memaklumkan persaksian syahadat,” sebut Lang. 

Dengan keuntungan itu, Lang menyebut bahwa perpindahan agama dapat menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Kalimat syahadat dapat digunakan untuk menyelamatkan diri dalam peperangan, mendapatkan keuntungan materi dan politis, bahkan menjadi penyusup (mata-mata) dan merusak Islam dari dalam.

Cara Mengantisipasi Kemurtadan

Agar kalimat syahadat tidak dengan begitu mudahnya dimanfaatkan untuk kepentingan duniawi, politik, apalagi untuk menghancurkan Islam dari dalam, maka perlu dirumuskan hukuman berat bagi pelaku kemurtadan (keluar dari agama Islam). 

Namun, penting untuk melihat bagaimana beberapa ulama membagi kemurtadan menjadi dua. Abd. Rahman Dahlan, dalam artikelnya (2008, 151) mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa ada riddah mughallazah (murtad berat) dan ada riddah mukhaffafah (murtad ringan).

Murtad berat adalah kemurtadan yang diiringi dengan tindakan memusuhi Islam, bahkan memengaruhi muslim lainnya untuk juga keluar dari Islam. Sedangkan murtad ringan adalah kemurtadan semata, tanpa ada niat dan tujuan untuk memerangi atau membocorkan kelemahan Islam kepada musuh-musuhnya. 

Terkait dengan hukuman kemurtadan, mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa orang yang murtad berhak dihukum mati. Akan tetapi, mazhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki memberikan kesempatan agar dia bertaubat dan kembali kepada Islam. Jika dalam waktu tertentu dia tetap memilih untuk keluar dari Islam, maka hukuman mati berhak atasnya. 

Di antara dalil hukuman ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Daud:

Dari Ikrimah, bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu membakar suatu kaum lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata, ‘Seandainya aku ada, tentu aku tidak akan membakar mereka. Sebab, Nabi Saw bersabda: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah (dengan api).” Dan aku hanya akan membunuh mereka, sebagaimana Nabi telah bersabda, “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia,” 

Jika mengacu pada al-Qur’an, menurut Lang, tidak ada satu pun ayat yang menjelaskan secara tegas hukuman murtad di dunia. Lebih-lebih, dalam tiga belas kali penyebutan tentang kemurtadan, al-Qur’an menjelaskan kepastian hukumannya hanya di akhirat kelak. 

Lihat saja misalnya QS. Ali ‘Imran: 72 (yang menceritakan tentang segolongan ahli kitab yang mengajak muslim lainnya untuk kembali pada agama mereka) dan QS. Al-Mumtahanah: 11 (yang menceritakan tentang istri-istri muslim yang memilih kembali dengan masyarakat jahiliah setelah Perjanjian Hudaibiyah). Kedua ayat tersebut tidak menyebutkan hukuman bagi mereka. 

Ada hadis lain yang menyebutkan bolehnya seorang murtad untuk dibunuh. Dalam hadis itu dijelaskan bahwa ada tiga kondisi dimana darah seorang muslim boleh ditumpahkan (dibunuh), yaitu jiwa dengan jiwa (qishash karena pembunuhan), pezina yang telah menikah, dan orang yang meninggalkan agama serta memisahkan diri dari kelompok. 

Dalam riwayat Abu Daud, kategori terakhir (orang yang meinggalkan agama dan memisahkan diri dari kelompok) dijelaskan sebagai orang-orang yang keluar dari kaumnya untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa adanya pendapat mengenai hukuman mati terhadap orang-orang murtad sangat berkaitan dengan ranah politis. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya mata-mata yang akan merugikan Islam. Karenanya, seorang muslim yang mengenal baik kondisi Islam, baik aspek sosial, politik, dan lainnya, sangat diperhatikan ketika ia memutuskan untuk keluar dari Islam, agar tidak merugikan masyarakat muslim. 

Mustafa Akyol, penulis buku Islam Without Extremes (2011), juga menyatakan bahwa “kemurtadan dikutuk sebagai kejahatan besar dalam hukum Islam klasik… tapi ini hanya mencerminkan norma abad Pertengahan yang menurutnya meninggalkan komunitas agama juga menyiratkan pengkhianatan politik.”

Argumentasi ini dapat mencegah timbulnya tindak radikalisme hingga terorisme yang berdalih atas nama agama dan sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa siapa pun yang murtad boleh dibunuh. Wallahu a’lam.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini