iqamat dan shalat berjamaah di mushala yang jumlah jamaahnya sedikit, zikir, shalawat, dan doa ba’da [sesudah] shalat; [3] shalawat yang dilakukan menjelang iqamat; [4] tadarus membaca al-Qur’an di malam Ramadhan; dan [5] membangunkan orang untuk shalat Subuh, padahal waktunya masih lama. Pertanyaannya adalah, apakah amalan-amalan tersebut harus dengan pengeras suara dan apakah pahalanya akan dilipatgandakan? [Rizka – via formulir pertanyaan] Jawab: Pengeras suara merupakan alat yang bila digunakan pada tempatnya akan merupakan sesuatu yang sangat baik dan membantu. Bila disalahgunakan akan menimbulkan gangguan, serta melahirkan citra yang kurang baik, misalnya jika waktunya tidak tepat atau suara yang terdengar sumbang. Karena itu, dalam azan misalnya, Rasul Saw berpesan, “Hendaklah yang mengumandangkan azan di antara kamu adalah yang paling baik [suaranya], dan hendaklah juga yang menjadi imam adalah yang paling baik bacaannya.” Suara memunyai pengaruh bagi jiwa seseorang. Azan, doa bersama, pembacaan al-Qur’an, dianjurkan dengan suara yang dapat menggugah pendengarnya untuk memperkenankan panggilan Ilahi, bukan sebaliknya. Karena itu, al-Qur’an menyetujui dan mengabadikan nasihat Luqman kepada anaknya, antara lain, “Lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” Dalam hal membaca ayat-ayat al-Qur’an, atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam: “Katakanlah, ‘Berdoalah kepada Allah atau berdoalah kepada ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia memunyai Asma’ al-Husna [nama-nama yang terbaik]. Janganlah mengeraskan suaramu dalam shalat dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara keduanya. [QS al-Isra’ [17]: 110]. Ada beberapa riwayat menyangkut turunnya ayat ini yang dapat dijadikan petunjuk sekaligus menjawab pertanyaan Anda di atas. Pertama, menurut sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbas, Rasul Saw mengeraskan suara beliau ketika membaca [al-Qur’an dan sebagainya]. Orang-orang musyrik mendengarnya, mereka pun memaki beliau, maka Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa. Jika demikian, dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan/ doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, atau dapat melahirkan pandangan negatif, atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk. Kedua, Nabi Saw berkeliling di rumah sahabat-sahabat beliau di waktu malam. Beliau mendengar Abu Bakar ra. berada di rumahnya berdoa dan membaca al-Qur’an dengan suara yang sangat lembut. Dan, sebaliknya, ketika melewati rumah Umar ra. beliau mendengar suara sahabatnya yang satu ini sedemikian keras. Keesokan hari, kedua sahabat tersebut berjumpa dengan beliau, dan beliau bertanya kepada Abu Bakar ra. mengapa terlalu mengecilkan suaranya. Abu Bakar ra. menjawab, “Aku berdialog dengan Tuhanku dan [aku merasa tidak perlu mengeraskan suara] karena Dia telah mengetahui kebutuhanku.” Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya, menjawab, “Saya menghardik setan dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur.” Nah, mendengar jawaban mereka, turunlah ayat di atas. “Jalan tengah di antara keduanya” yang dianjurkan oleh ayat tersebut bisa berarti anjuran untuk mengeraskan suara pada saat tertentu dan mengecilkan pada saat yang lain, atau dapat juga berarti perintah untuk berdoa atau membaca tidak terlalu keras sehingga mengganggu dan tidak pula terlalu kecil sehingga tidak terdengar oleh mereka yang butuh mendengarnya. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa para sahabat Nabi pernah bertanya kepada beliau tentang Allah: Apakah Allah jauh sehingga dalam berdoa harus dengan suara keras, ataukah dekat sehingga cukup dengan suara yang sayup-sayup sampai. Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Allah dengan firman-Nya, “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah , ‘Aku dekat, Kuperkenankan doa siapa yang berdoa apabila dia berdoa’ [QS al-Baqarah [2]: 186]. Jika demikian itu halnya maka tentunya berdoa dan membaca al-Qur’an tidak harus dengan pengeras suara –dan di zaman Nabi pun tidak ada pengeras suara. Akan tetapi, tentu saja, tidak ada salahnya kita menggunakannya pada saat-saat tertentu selama tidak mengganggu, khususnya mengganggu anak-anak, orang sakit, kaum Muslim yang bangun pagi untuk berzikir dan tafakur, atau yang masih ingin melanjutkan sedikit tidurnya sebelum waktu Subuh berlalu. Hemat saya, sementara kita ada yang ingin memperoleh ganjaran dari satu amalan, tetapi terkadang kita lupa bahwa akibat amalan itu dapat menimbulkan gangguan sehingga pahala yang diperoleh hilang akibat gangguan yang terjadi. Boleh jadi menarik untuk diketahui pandangan Mufti Mesir, Syaikh Muhammad ‘Abduh, ketika ditanyai tentang berdoa dengan mengeraskan suara sesudah azan. Beliau menjawab –sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad asy-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka— lebih kurang sebagai berikut, “Apa yang dibaca dengan suara keras sebelum dan sesudah azan [berupa shalawat dan semacamnya] adalah bid’ah. Tujuannya adalah talhin[melagukan sesuatu]. Tidak wajar menamai hal tersebut bid’ah yang baik. Selanjutnya, asy-Syarabashi menjelaskan bahwa, konon, mengulang-ulang shalawat sesudah azan diperkenalkan oleh Shalahuddin ‘Abdullah bin ‘Abdullah al-Barlasi di Mesir pada 791 H. Para ulama juga menegaskan bahwa salah satu yang termasuk bid’ah yang buruk adalah apa yang diulang-ulang oleh para muazin berupa tasbih dan istighfar sebelum azan Subuh. Ini tidak sejalan dengan Sunnah Rasul Saw yang bersabda, “Janganlah kalian saling mengeraskan suara dalam bacaan.” Kalau Nabi Saw melarang untuk saling mengganggu, maka tentu mengganggu orang lain dengan suara bagaikan nyanyian di satu saat, atau teriakan di saat lain lebih terlarang lagi. Demikian, wallahu a’lam. [M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an] |