Bagaimana Hukum Istri yang Menolak Poligami?

Bagi sebagian orang, poligami menjadi isu yang menuai kontroversi. Karena kenyataannya keadilan yang menjadi syarat utamanya seringkali diabaikan. Tidak sedikit yang memandang poligami sebagai potensi ancaman bagi keharmonisan rumah tangga, serta sebagai celah yang merusak rasa keadilan dalam relasi suami istri. 

Dalam banyak kasus, poligami dijalankan tanpa prinsip keadilan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan. Ketidakseimbangan ini menciptakan luka dalam relasi dan menyisakan ruang ketidaknyamanan, khususnya bagi perempuan yang tidak siap dimadu. Lalu, bagaimana jika istri menolak untuk dipoligami? 

Surat An-Nisa ayat 3 adalah salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar hukum Islam tentang poligami. 

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)

Ayat ini menegaskan bahwa poligami adalah kebolehan (mubah), bukan perintah (wajib). Bahkan, kebolehan tersebut dibatasi secara tegas: jika khawatir tidak mampu adil, maka cukup satu istri saja. Al-Qur’an menyatakan, “Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Keadilan dalam konteks ini bukan hanya soal pembagian materi, namun juga mencakup perhatian emosional, keintiman, dan keseimbangan dalam perlakuan. Jika tidak bisa memenuhi syarat keadilan ini, maka perintahnya adalah monogami.

Lebih lanjut, pada QS. An-Nisa (4): 130, ditegaskan bahwa ketika perdamaian tidak bisa dicapai, perceraian menjadi pilihan. Artinya, bagi perempuan yang tidak sanggup menerima poligami, Islam tidak mewajibkan untuk bersabar secara mutlak. Islam membuka ruang untuk memilih jalan lain.

Dan pada dasarnya Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami sebagai praktik utama, melainkan mengaturnya dalam konteks sosial tertentu. Yakni untuk melindungi perempuan-perempuan yatim dan janda-janda korban perang, agar mereka tidak terlantar.

Pandangan Madzhab dan Ulama tentang Poligami

Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, seseorang tidak dianjurkan berpoligami tanpa keperluan yang jelas. Sebab, poligami berisiko menjatuhkan pelakunya dalam kezaliman jika tidak adil.

Madzhab Hanafiyah memperbolehkan hingga empat istri dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Jika tidak dapat menjamin keadilan, maka wajib membatasi diri hanya pada satu istri, sesuai dengan firman Allah: “Jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.” (Lihat Mausu’atul Fiqhiyyah, Kuwait, Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan pertama, 2002 M/1423 H, juz 41, halaman 220). 

Syekh Wahbah Az-Zuhayli bahkan menyatakan bahwa monogami adalah bangunan ideal rumah tangga dalam Islam. Poligami hanya boleh ditempuh dalam kondisi darurat, sebagai pengecualian, bukan sebagai norma. Beliau menegaskan bahwa menjadikan poligami sebagai sunnah Nabi secara mutlak adalah keliru, karena Nabi Muhammad SAW hidup secara monogami selama puluhan tahun bersama Sayyidah Khadijah, dan baru menikah lagi setelah beliau wafat, itupun dengan pertimbangan sosial dan wahyu, bukan karena dorongan nafsu semata.

Hak Perempuan dalam Akad Nikah

Akad nikah dalam Islam adalah akad yang setara antara dua pihak yang saling sepakat. Perempuan sebagai pihak yang diajak menikah berhak menentukan syarat-syarat dalam pernikahan, termasuk syarat agar suami tidak berpoligami.

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi’i, syarat seperti ini adalah sah secara hukum dan harus dipenuhi, karena tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Jika suami melanggarnya, istri berhak mengajukan cerai (khulu’) atau membatalkan akad. Ini menunjukkan bahwa perempuan bukan pihak pasif dalam pernikahan, melainkan memiliki kontrol atas relasi yang ia bangun.

Banyak ulama kontemporer menekankan bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam setiap praktik syariat, termasuk pernikahan. Jika poligami dilakukan tanpa izin istri, tanpa musyawarah, dan hanya karena dorongan hawa nafsu, maka itu bertentangan dengan nilai Islam. Sebagaimana Quraish Shihab menyatakan bahwa poligami bukanlah sunnah Nabi dalam pengertian yang perlu diikuti, tetapi kebijakan sosial Nabi yang bersifat situasional.

Bolehkah Istri Menolak?

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa istri yang menolak poligami tidak berdosa, apalagi dikategorikan menentang firman Allah terkait kebolehan poligami. Perempuan boleh menolak poligami, baik sebelum menikah (dengan mencantumkan syarat dalam akad) maupun saat sudah menikah (dengan mempertimbangkan kondisi psikologis, ekonomi, dan nilai keadilan dalam keluarga).

Sebab dalam persoalan poligami terdapat unsur keadilan, mampu menafkahi dan berpotensi memunculkan sakit hati banyak pihak.  Meskipun demikian, dalam sejumlah kasus ada beberapa pihak istri yang setuju dipoligami karena sang suami mampu menuntaskan persoalan di atas dengan baik.  

Menolak poligami bukan berarti menolak syariat. Justru, itu bentuk ijtihad agar syariat dijalankan sesuai ruh kasih sayang, keadilan, dan kesalingan dalam rumah tangga. Karena Islam datang untuk menjaga kehormatan dan kebahagiaan manusia, laki-laki maupun perempuan. Maka jika suatu kebolehan justru melukai, merendahkan, atau merugikan pihak lain, sudah selayaknya kita bertanya kembali masihkah ini menjadi jalan menuju rahmatNya? Sebab rahmat tidak lahir dari ketimpangan, dan cinta tidak tumbuh dari ketidakadilan.

Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd, Ustadzah di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadzah Laily Nur Zakiya, S.Ag, M.Pd? Silakan klik disini