Perbuatan baik (al-‘amal al-shaalih) merupakan salah satu aspek paling penting dalam ajaran Islam. Dalam al-Qur’an, Allah swt berkali-kali menggandengkan keimanan dengan kebaikan. Satu di antaranya bisa dilihat pada firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 25 yang berbunyi,
“Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…”
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan jawaban terhadap orang yang meyakini bahwa iman saja telah mencukupi agar dibalas dengan surga. Menurut beliau, penyertaan perbuatan baik setelah keimanan mengindikasikan betapa pentingnya hal tersebut.
Orang juga sering keliru dalam memahami bahwa surga diberikan atas rahmat Allah swt. Benar bahwa tanpa rahmat Allah, makhluk tidak akan mendapatkan apa pun atas segala usahanya. Tetapi, amal kebaikan merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rahmat-Nya dan menjadi sebab tinggi-rendahnya tempat seseorang di akhirat kelak.
Akan tetapi, perbuatan baik dapat dengan mudah terhapus. Banyak faktor yang dapat menghilangkan pahala seorang hamba. Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Jaami` al-Shaghiir wa Ziyaadatuhu meriwayatkan sebuah hadis dari `Adi bin Hatim yang berbunyi,
“Enam perkara yang dapat menghapus ganjaran perbuatan baik: (1) sibuk dengan aib-aib orang lain, (2) keras hati, (3) cinta dunia, (4) sedikit rasa malu, (5) panjang angan-angan, dan (6) kezaliman yang tidak berhenti.”
Salah satu periwayat hadis di atas dinilai sebagai seorang pemalsu hadis, sehingga hadisnya dinilai sangat daif bahkan palsu. Kendati demikian, redaksi teks di atas dapat diambil maknanya.
Pertama, Isytighaal bi ‘uyuub al-khalq (sibuk dengan aib-aib orang lain). Maksudnya adalah membicarakan orang lain, entah kekurangannya atau hal buruk yang dilakukannya, untuk mencelanya. Ini disebut sebagai gibah, yang di dalam al-Qur’an diibaratkan seperti memakan bangkai saudara sendiri (QS. al-Hujurat: 12).
Bagaimanapun, sibuk membicarakan aib orang lain tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama hanya akan mendatangkan keburukan bagi pelakunya, entah benar atau salah. Jika aib benar-benar ada pada diri orang yang dibicarakan, maka itu adalah gibah. Namun, jika ternyata aibnya tidak benar adanya, maka itu termasuk sebagai fitnah. Gibah dan fitnah adalah dua perbuatan buruk yang akan merugikan seseorang.
Kedua, qaswah al-qalb (keras hati). Allah swt tidak hanya membekali manusia dengan organ-organ indrawi. Dia memberikan hati (qalb) kepada manusia untuk merasa, untuk menimbang baik-buruk suatu perbuatan.
Rasulullah saw menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging yang dapat menjadi tolok ukur baik-buruknya seseorang. Jika daging tersebut baik, niscaya baik juga seluruh tubuhnya. Dan berlaku sebaliknya. Segumpal darah yang dimaksud adalah hati (HR. al-Bukhari).
Sayangnya, banyak manusia yang hatinya menjadi keras. Keras hati sendiri merupakan penyakit hati. Ciri-ciri orang yang menderita penyakit ini adalah ia yang susah menerima nasihat kebenaran, sehingga pintu hidayah akan tertutup baginya.
Ketiga, hubb al-dunyaa (cinta dunia). Cinta pada dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang berlebihan. Orang yang terlalu mencintai dunia cenderung melupakan orientasi kehidupan akhirat. Kesehariannya diisi dengan pengejaran kenikmatan-kenikmatan duniawi, seperti harta dan tahta.
Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa terlalu cinta pada dunia akan merusak dirinya sendiri. Beliau bersabda,
“Dua serigala lapar yang dilepas kepada sekawanan kambing tidaklah lebih merusak daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan jabatan (dalam merusak) terhadap agamanya.” (HR. al-Tirmidzi).
Keempat, qillah al-hayaa` (sedikitnya rasa malu). “Jika engkau tidak tidak malu, berbuatlah sesukamu,” sabda Nabi Muhammad saw sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim, dan lainnya.
Rasa malu termasuk salah satu sifat terpuji yang paling tinggi. Rasa malu dapat menjadi rem perilaku seseorang. Karena merasa malu, seseorang bisa dapat mencegah dirinya untuk tidak berbuat buruk yang menyebabkan dosa. Betapa banyak orang dengan begitu mudahnya melakukan perbuatan tercela, secara sembunyi-sembunyi bahkan terang-terangan. Tak mengherankan jika rasa malu dipandang sebagai bagian dari keimanan.
Kelima, thuul al-amal (panjang angan-angan). Berharap tentunya merupakan sifat manusia. Berharap juga sejatinya tidak dilarang oleh agama. Namun, berharap berbeda dengan berangan-angan. Al-Munawi menjelaskan bahwa al-amal (berangan-angan) berarti “Berharap terjadinya sesuatu yang kemungkinannya kecil.”
Berbeda dengan harapan, angan-angan tidak disertai dengan usaha yang memadai untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Ia biasanya didasari oleh rasa malas yang luar biasa. Orang yang sering berangan-angan biasanya menghabiskan waktu hanya merenung tanpa melakukan hal positif apa pun.
Akibat lainnya dari kebanyakan angan-angan adalah lupa akan akhirat. Al-Shan’ani dalam kitabnya al-Tahbiir li Iidaah Ma’aanii al-Taisiir meriwayatkan ucapan Imam Ali tentang kekhawatirannya mengenai hawa nafsu dan angan-angan. Imam Ali berkata,
“… Adapun mengikuti hawa nafsu akan memalingkan seseorang dari kebenaran. Sedangkan kebanyakan angan-angan akan membuat dia lupa akan akhirat.”
Keenam, zhaalim laa yantahii (kezaliman yang tidak berhenti). Kezaliman itu sendiri merupakan perbuatan dosa. Apalagi jika kezaliman dilakukan secara berulang dan terus menerus, baik kepada diri sendiri terlebih kepada orang lain.
Zalim (al-zhulm) secara bahasa berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam definisi syariat, zalim berarti perbuatan yang melampaui kebenaran hingga masuk pada kebatilan. Kata zalim sendiri seakar kata dengan kegelapan (al-zhulmah). Sehingga, orang yang berbuat zalim berarti menjauhi kebenaran menuju kegelapan.
Banyak ayat dan hadis yang melarang perbuatan zalim. Dalam al-Qur’an surah al-An’am ayat 21, misalnya, disebutkan bahwa orang yang berbuat zalim tidak mendapatkan keberuntungan. Pada surah lain Allah berfirman, “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (QS. Hud: 18).
Dalam sebuah hadis Qudsi, Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa Allah swt berfirman, “Wahai hambaku! Sesungguhnya Aku haramkan kezaliman atas diri-Ku, dan Aku haramkan juga kezaliman bagi kalian. Maka, janganlah kalian saling berbuat zalim.”
Demikian enam perkara yang dapat menyebabkan amal ibadah seseorang menjadi terhapus. Amal ibadah sepatutnya dijaga dengan tidak melakukan perbuatan yang dapat menjadikannya sia-sia. Sebab, amal ibadah merupakan perkara yang dapat mendatangkan rahmat Allah swt.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini