Apakah Memang Ada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah?

QNA

Apakah memang ada bid’ah hasanahdan bid’ah dhalalah? Bagaimana hukumnya mengadakan tahlilan? Karena saya baru dengar kalau nabi dan para sahabat tidak pernah melakukan itu. Mohon penjelasannya.

[Muhammad Nurhidayat via formulir pertanyaan]

Jawab:
Sesuatu yang baru, yang diada-adakan, dan belum ada contoh sebelumnya itulah yang dinamai bid’ah. Nabi Muhammad Saw diperintahkan oleh Al-Quran untuk menyatakan, “Saya bukan bid’ah dari rasul-rasul” [QS al-Ahqaf [46]: 9] dalam arti bahwa beliau tidak mengada-ada dengan menyatakan dirinya sebagai rasul dan beliau bukan orang pertama yang menjadi rasul; banyak rasul sebelum beliau.

Tentu saja ada hal-hal baru dalam kehidupan manusia yang terus berkembang ini. Semua itu adalah bid’ah, walaupun harus diingat bahwa hal-hal yang baru dan yang belum pernah ada pada masa Rasul itu, ada yang baik dan ada yang buruk.

Dari sini, bid’ah perlu dibagi menjadi bid’ah hasanah [yang baik] dan bid’ah sayyi’ah [yang buruk]. Bahkan sementara ulama membaginya kepada bid’ah wajibah, yakni sesuatu yang baru tetapi sesuai dengan kewajiban yang ditetapkan agama serta termasuk dalam kaidah-kaidahnya.

Perihal tahlilan, banyak ulama berbeda pendapat. Banyak ulama yang menganalisis sebab-sebab Rasul Saw tidak mengerjakan sesuatu. Ada yang tidak beliau kerjakan karena sejak semula itu terlarang dan ada juga yang tidak beliau kerjakan karena ketika itu belum ada alasan atau dorongan mengerjakannya.

Nah, bila kemudian ada alasan yang mendorong dan dapat dibenarkan, bid’ah dalam hal ini dapat dibenarkan, seperti menulis dan membukukan Al-Quran dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar ra. Kita semua tahu bahwa pada masa Rasul Saw, al-Qur’an belum dibukukan bukan saja karena ayat-ayat masih silih berganti turun selama hidup Rasul Saw, melainkan juga karena kebutuhan untuk membukukannya belum dirasakan. Ini berbeda setelah beliau wafat. Ada lagi yang tidak dikerjakan Rasul Saw karena ketika itu ada dorongan atau sebab untuk tidak mengerjakan.

Demikianlah bid’ah–dalam ibadah pun– tidak semuanya terlarang jika dasar pokoknya ada. Memang, pada dasarnya, dalam hal ibadah murni, segalanya tidak boleh kecuali apa yang dikerjakan Rasul Saw, sedangkan dalam soal muamalat, segalanya boleh kecuali yang dilarang.

Akan tetapi, ulama pun menegaskan bahwa apa yang ditinggalkan Rasul Saw hendaknya dikaji mengapa ketika Nabi Saw hidup, beliau tidak mengerjakannya. Kalau memang suatu ibadah atau pekerjaan ada alasan untuk mengerjakannya dan diketahui bahwa Rasul Saw tidak mengerjakannya, karena enggan, kemudian ada sesudah beliau yang mengada-ada, itulah bid’ah yang sesat. Itulah yang tidak diterima Allah swt dan itu yang dimaksud dengan setiap bid’ah dhalalah [sesat] dan semua dhalalah di neraka. Dalam konteks inilah, ulama berbeda pendapat tentang tahlil, maulid, dan sebagainya. Demikian, wallahu a’lam.

[Pusat Studi Al-Quran]