Bertamu atau bersilaturahmi merupakan bagian dari budaya timur yang masih lestari dan tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia. Di banyak kampung, tradisi ini terasa begitu alami—datang ke rumah kerabat tanpa harus menunggu undangan resmi, duduk di teras sambil menyeruput teh atau kopi, lalu berbincang santai tentang kehidupan. Semuanya dilakukan dengan sopan santun, penuh riang, dan kehangatan.
Sebagai orang timur, kita telah terbiasa mengetuk pintu sembari mengucapkan salam, seolah memberi tanda bahwa kita datang atau bertamu dengan niat baik. Tetapi apakah cukup hanya dengan salam? Apakah Islam memang hanya mensyariatkan sapaan sebelum masuk rumah orang lain?
Ternyata, Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap adab bertamu—dan tidak sesederhana yang mungkin kita kira. Gus Baha, seorang ulama tafsir kenamaan Indonesia yang dikenal luas karena cara penyampaian ilmunya yang membumi dan menyentuh sisi sosial keislaman, menjelaskan bahwa bertamu bukan sekadar basa-basi sosial atau formalitas salam, melainkan ada nilai etika dan rasa yang dibingkai oleh tuntunan Al-Qur’an dan hadis Nabi saw.
Salah satu ayat yang secara gamblang membicarakan adab bertamu terdapat dalam Surah An-Nur ayat 27:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran. (Q.S. An-Nur [24]: 27)
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ini—beserta ayat-ayat setelahnya—membawa pesan ilahi tentang etika sosial, terutama dalam interaksi sehari-hari antara manusia. Salah satunya ialah adab saat hendak mengunjungi rumah orang lain, yang tidak hanya menyangkut permintaan izin, tetapi juga menjaga rasa hormat dan privasi.
Kata “tasta’nisu” dalam ayat tersebut berasal dari akar kata uns, yang berarti kedekatan, ketenangan, dan rasa nyaman. Dengan penambahan huruf sin dan ta, maknanya berubah menjadi permintaan untuk menciptakan rasa nyaman atau suasana yang tidak mengejutkan bagi penghuni rumah. Artinya, tamu dianjurkan untuk datang dengan cara dan waktu yang tidak mengagetkan, memberi ruang kepada tuan rumah untuk bersiap menerima kehadiran kita.
Masih menurut Quraish Shihab, salam dalam ayat wa tusallimu ‘ala ahliha (dan berilah salam kepada penghuninya) adalah bagian dari proses meminta izin. Beliau mengutip riwayat Imam Malik tentang Zaid bin Tsabit yang suatu hari mengunjungi rumah Abdullah bin Umar. Di depan pintu, ia berkata, “Bolehkah saya masuk?” Setelah dipersilakan masuk, Abdullah menegur, “Mengapa kamu memakai cara meminta izin ala orang Jahiliyah? Jika kamu ingin meminta izin, ucapkanlah ‘Assalamu’alaikum’, dan jika dijawab, baru bertanyalah: ‘Bolehkah saya masuk?’”
Ayat ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit berapa kali izin atau salam perlu diucapkan. Namun, sejumlah hadis memberi arahan, seperti sabda Nabi saw. yang diriwayatkan dalam HR. Bukhari dan Muslim:
“Jika salah seorang dari kalian meminta izin sebanyak tiga kali dan tidak diizinkan, maka hendaknya ia pulang”.
Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjaga keseimbangan antara niat baik tamu dan kenyamanan tuan rumah. Tidak semua orang tengah dalam kondisi siap untuk menerima tamu kapan saja.
Gus Baha menekankan bahwa inti dari ayat tersebut bukan hanya soal teknis mengucapkan salam, tapi bagaimana menciptakan rasa nyaman bagi semua pihak. Menurutnya, bertamu, sangat tergantung pada konteks. Jika kedatangan kita membawa kabar gembira, bantuan, atau hadiah, tentu lebih mudah diterima kapanpun. Namun, tatkala membawa urusan berat seperti penagihan, peringatan, atau berkonsultasi terkait masalah-masalah yang berat, tentu diperlukan kepekaan diri (sense of self) lebih dalam memilih waktu dan cara menyampaikannya.
Dalam konteks ini, Gus Baha mengingatkan kaidah penting yang diajarkan Nabi saw:
“La dharara wa la dhirar” — “Tidak boleh mengganggu diri sendiri dan tidak boleh pula mengganggu orang lain”.
Dengan kata lain, jangan sampai niat baik kita dalam bersilaturahmi justru berujung pada gangguan bagi orang lain. Bahkan dalam keluarga sendiri, adab ini tetap berlaku. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, sahabat Ibnu Umar tidak masuk ke kamar anaknya yang telah balig tanpa terlebih dahulu meminta izin.
Tak hanya itu, Islam juga mengatur cara berdiri saat mengetuk pintu. Jangan menghadap langsung ke dalam rumah. Sebaiknya berdiri di sisi kiri atau kanan pintu, agar pandangan tidak langsung menembus ke area pribadi rumah. Hal ini untuk menjaga kemungkinan penghuni rumah sedang dalam kondisi tidak pantas terlihat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi saw. bersabda:
“Jika seseorang mengintip ke dalam rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu dan mengenai matanya hingga buta, maka engkau tidak berdosa”.
Betapa luar biasanya perhatian Islam terhadap etika privasi dan penghormatan ruang pribadi. Bertamu dalam Islam tidak hanya soal kedatangan fisik, melainkan juga soal kesiapan mental dan etika sosial.
Sebagai penutup, mengucap salam saat bertamu tidak hanya isyarat sopan santun, melainkan doa dan pengakuan terhadap hak privasi orang lain. Rasulullah saw mengajarkan agar sebelum masuk rumah orang, seseorang hendaknya mengucap salam sebanyak tiga kali. Jika tidak mendapat jawaban, maka sebaiknya ia pulang. Ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati kenyamanan dan batasan personal.
Dengan kata lain, bertamu itu ada seninya. Ada adab dan etika yang membuat hubungan antar manusia menjadi indah. Bertamu tidak bisa asal datang, tapi perlu rasa: rasa hormat, rasa tahu diri, dan rasa tidak ingin merepotkan.
Bertamu dalam Islam bukan hanya sekadar aktivitas sosial, melainkan ibadah yang memiliki tata krama. Mulai dari niat yang tulus, waktu yang tepat, kenyamanan, hingga salam yang santun. Semua itu adalah cerminan akhlak Islami. Seperti yang diajarkan Rasulullah saw, dan seperti yang selalu disampaikan Gus Baha dengan gayanya yang renyah tapi mendalam: “Ukur dirimu sebelum mengetuk pintu orang lain.” Begitulah Islam membentuk masyarakat yang saling menghargai dan tidak saling memberatkan.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini