Tuntunan Silaturrahim dan Menjadi Golongan Ulul Albab

Satu bulan sudah umat Muslim menahan lapar dan dahaga. Tak sekedar menahan untuk tidak makan dan minum, namun juga berikhtiar untuk memaksimalkan amal ibadah Ramadan yang pahalanya luar biasa. Alhamdulillah, tibalah Idul Fitri dengan segenap kebiasaan baik yang rutin dilakukan: berlebaran dengan sanak keluarga, bersilaturrahim dari rumah ke rumah, membawa hantaran dan berbagi rezeki juga kebahagiaan. Mendatangi sanak saudara baik yang dekat maupun yang jauh sejatinya ada tuntunannya dalam Al-Quran. Sejenak, mari kita pahami apa arti dari silaturrahim?

Menurut M. Quraish Shihab dalam buku Shihab & Shihab Edisi Ramadhan makna silaturahmi berarti menyambung rasa kasih sayang. Berbeda dengan kata silaturahim yang sering juga digunakan, kata rahim dalam silaturrahim merujuk pada makna peranakan. Artinya kata silaturrahim bermakna menyambung hubungan kekeluargaan yang putus. Meskipun keduanya memiliki makna yang sedikit berbeda, akan tetapi yang terpenting terletak pada kata silah yang artinya menyambung. Quraish Shihab menegaskan bahwa yang menjadi penekanan bagi silaturahmi adalah menyambung hubungan yang terputus. Dalam al-Quran, istilah menyambung ini disebut sebagai ‘yuushala’ misal dalam Qs. Ar-Ra’d/ 13: 21 يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِه اَنْ يُّوْصَلَ.

Uniknya, dalam Qs-Ra’d/ 13: 21 golongan orang-orang yang senantiasa menyambung kasih sayang masuk dalam kategori Ulu al-Albab (orang-orang yang berakal sehat). Sementara itu, lafadz Al-Albab terdapat di berbagai surah dan ayat di antaranya; Qs. Al-Baqarah/2: 179, 197, 269, Ali Imran/3: 7 & 190, Qs. Al-Maidah/ 5: 100, Qs. Yusuf/12: 111, Qs. Ar-Ra’du/ 13: 19, Qs. Ibrahim/ 14: 52, Qs. Shad/ 38: 29 & 43, Qs. Az-Zumar/ 39: 9, 18 & 21, Qs. Ghafir/ 40: 54, Qs. Ath-Thalaq/ 65: 10.

Mari kita simak Qs. Ar-Ra’d/13: 19-22: “Apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dari Tuhanmu adalah kebenaran sama dengan orang yang buta? Hanya orang yang berakal sehat sajalah yang dapat mengambil pelajaran. (Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak membatalkan perjanjian. Orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan (seperti silaturahmi), takut kepada Tuhannya, dan takut (pula) pada hisab yang buruk. Orang-orang yang bersabar demi mencari keridaan Tuhan mereka, mendirikan salat, menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, dan membalas keburukan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik).”

Selain ayat di atas, tuntunan silaturrahim juga telah diajarkan Baginda Nabi Saw melalui salah satu haditsnya,Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia bersilaturahim.

Merespon hadits di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud dilapangkan rezekinya adalah diluaskan dan dijadikan banyak hartanya, dan menurut pendapat yang lain, artinya adalah diberi keberkahan harta (meskipun secara lahiriah, harta tidak bertambah banyak). Ada beberapa jawaban yang dikemukakan oleh para ulama untuk memadukan antara hadits dan ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari dan al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Beliau menuturkan bahwa penambahan umur (penangguhan ajal) yang dimaksud dalam hadits adalah kinayah (kiasan) mengenai berkahnya usia.

Artinya, dengan sebab silaturahim, seseorang akan diberi kemampuan berbuat ketaatan, dan diberi kemudahan untuk dapat melalui masa hidupnya dengan hal-hal yang memberikan manfaat kepadanya kelak di akhirat, sekaligus ia dijaga dari tindakan menyia-nyiakan umurnya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Jadi silaturahim menjadi sebab bagi seseorang untuk memperoleh taufiq (kemampuan berbuat taat) dan menjadi sebab terjaga dari maksiat.

Jika demikian, timbul pertanyaan apakah yang dimaksud silaturrahim ini harus mendatangi yang jauh atau mendahulukan yang dekat/ yang setiap hari kita temui? Prof Quraish Shihab menjelaskan, kepada siapapun boleh. Tapi, alangkah lebih baiknya menyambung tali kasih sayang pada mereka yang pernah kita lukai juga pada mereka yang jarang maupun tidak pernah ditemui.

Memaknai silaturrahim sesuai tuntunan Al-Quran dan Hadits sesuai uraian di atas, betapa luhurnya mereka yang senantiasa berbuat baik dan menyambung silaturrahim—hingga Allah memberi gelar ‘Ulu Al-Albab’. Melalui gelar Istimewa ini, silaturrahim juga hendaknya dipahami bukan terletak pada seberapa banyak/ ‘kuantitas’ silaturrahim-nya yang diganjar Allah namun kualitas dari silaturrahim itu sendiri; menjaga adab bertamu, tidak merepotkan tuan rumah, memakan dan meminum apa yang disediakan dan tidak berlama-lama/ menangguhkan waktu pulang jika sudah dirasa cukup. Hal ini dimaksudkan agar tuan rumah tetap merasa nyaman. Sebab barangkali, ada hajat yang harus ia lakukan sementara ia sungkan menyuruh tamunya untuk pulang. Allahu ta’ala a’lam.

Selamat berlebaran, selamat (kembali) merajut kasih sayang.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini