Cara Menanamkan Keikhlasan dalam Setiap Hal

“Orang tidak ikhlas itu aneh sebab ikhlas itu mudah”, demikian Gus Baha kerap mengingatkan. Pernyataan ini terdengar sederhana, tetapi justru menyinggung inti persoalan keberagamaan kita. Dalam tradisi Islam, ikhlas ditempatkan sebagai puncak kemurnian niat: beramal semata-mata karena Allah, tanpa “afiliasi” kepentingan, tanpa agenda tersembunyi (conflict of interest). 

Ikhlas memang tidak mudah, terlebih seseorang masih memiliki sifat “kemelekatan” (ta’alluq) dan cinta dunia (hubb al-dunya). Rasa ta‘alluq—kemelekatan batin pada sesuatu yang dicintai, baik berupa harta, status, pengakuan sosial, bahkan relasi personal – inilah yang menjadi rintangan seseorang untuk menuju Allah (wuṣūl ilallāh). 

Selama seseorang masih merasa “memiliki” sesuatu secara absolut, selama itu pula keikhlasan akan terus diuji. Dalam perspektif tasawuf, rasa memiliki yang berlebihan bukan sekadar soal etika, melainkan kekeliruan spiritual. Sebab hakikat kepemilikan sejati hanyalah milik Allah, sementara manusia sekadar pemegang amanah yang sewaktu-waktu bisa dicabut.

Kesadaran inilah yang selalu ditanamkan oleh al-Qur’an ketika mengajarkan ibadah yang ikhlas dan pemurnian i‘tiqad dari segala bentuk syirik, baik yang kasat mata maupun yang bersemayam dalam hati kita. Kesadaran tauhid semacam inilah menemukan gema yang kuat dalam syair Ibn ‘Arabi yang kerap dikutip KH. Djamaluddin Achmad, pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dalam pengajian Hikam:

لكل شيء إذا فارقته عوض – وليس لله إن فارقت من عوض

Segala sesuatu, ketika ia pergi darimu, masih ada gantinya.
Namun ketika engkau kehilangan Allah, tidak ada pengganti sama sekali.

Dunia ini tidak ideal

Tidak ada yang benar-benar ideal di dunia ini. Al-Qur’an sejak awal mendeklarasikan hakikat dunia bahwa dunia itu hanyalah “la’bun” wa “lahwun”, yakni fatamorgana, senda gurau, main-main, melalaikan dan bersifat sementara atau tidak ada keabadian di dalamnya. Karena itu, kehidupan dunia tidak pernah dimaksudkan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai fase perjalanan.

Menariknya, Al-Qur’an melalui Q.S. al-Hadid: 20, menggunakan dua istilah yang berbeda tetapi saling melengkapi. La‘bun menunjuk pada kelalaian yang tampak pada anggota badan: kesibukan fisik, aktivitas yang menyita waktu dan energi, tetapi hampa makna. Sementara lahwun menunjuk pada kelalaian yang lebih dalam, yakni kelalaian hati—ketika orientasi batin terseret jauh dari kebaikan, dari kesadaran akan Allah, dan dari ketaatan kepada-Nya. Dengan demikian, kesenangan dunia tidak hanya berpotensi melalaikan gerak lahiriah manusia, namun juga menumpulkan kepekaan spiritualnya.

Kesadaran akan hakikat dunia semacam ini menuntun kita pada pemahaman bahwa hidup memang terus berubah dan tidak pernah sepenuhnya ideal. Tugas manusia, dalam hal ini, tidaklah menciptakan kesempurnaan mutlak, karena itu berada di luar batas kemampuannya, melainkan berupaya memperbaiki keadaan sebatas yang ia sanggupi. Ikhtiar merupakan kewajiban moral dan spiritual, bukti bahwa manusia sungguh-sungguh menjalankan perannya sebagai hamba yang berupaya menampilkan ahsanu ‘amalan (amal yang terbaik dan bermanfaat untuk masyarakat). Adapun hasil akhirnya, Al-Qur’an mengajarkan, bukan wilayah kuasa manusia, melainkan berada dalam kebijaksanaan Allah semata.

Acapkali, kegelisahan batin justru muncul tatkala manusia lupa pada hakikat ini. Rasa memiliki yang berlebihan membuat kita ingin dunia berjalan sesuai kehendak kita, bertahan seperti yang kita harapkan. Faktanya, dunia memang tidak didesain menuruti kehendak manusia. Dari sini, kita mulai memahami bahwa kehilangan apapun di dunia ini—harta, jabatan, bahkan orang-orang terdekat—bukanlah akhir dari segalanya. Semua itu bagian dari siklus kehidupan yang niscaya. Yang patut dikhawatirkan hanyalah kehilangan iman. Sebab, sebagaimana diingatkan KH. Moch. Djamaluddin Ahmad, segala yang berpisah hampir selalu memiliki pengganti.

Mā kullu man dzāqa ṭa‘man nāla ladzdzatah
Man lam yadzūq ṭa‘ma ḥubbillāh lam yadzūq

Tidak setiap orang yang merasakan sesuatu akan memperoleh kenikmatannya.
Siapa yang belum merasakan cinta Allah, sejatinya belum pernah merasakan rasa yang sesungguhnya.

Cinta kepada Allah itulah yang menjaga hati agar tidak larut dalam lahwun dan tidak terperdaya oleh la‘bun. Dengannya, dunia tetap dijalani dengan penuh tanggung jawab, tidak mengikat hati. Dunia boleh datang dan pergi, berubah dan berjarak, sementara iman tetap tinggal sebagai pegangan yang tak tergantikan.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini