Rahmat di Tangan Allah: Pelajaran Tauhid dari QS. Fatir [35]: 2

Rahmat Allah merupakan anugerah terbesar yang menaungi kehidupan manusia. Tanpa rahmat-Nya, manusia tidak akan mampu bertahan, apalagi mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa rahmat Allah bersifat luas, meliputi seluruh makhluk, dan berada sepenuhnya dalam kekuasaan-Nya. Salah satu ayat yang dengan sangat tegas menjelaskan hakikat rahmat tersebut adalah firman Allah dalam QS. Fāṭir [35]: 2, 

مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا ۖ وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Artinya: “Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya, maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Fāṭir: 2)

Menurut Tafsir Kemenag RI pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa pemberian atau penahanan suatu Rahmat. termasuk dalam kekuasaan-Nya. Apabila Dia menganugerahkan suatu rahmat kepada manusia, tidak seorang pun dapat menahan dan menghalangi-Nya. Begitu pula sebaliknya, apabila Dia menahan dan menutup sesuatu rahmat dan belum diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, maka tiada seorang pun bisa membuka dan memberikannya, karena semua urusan di tangan-Nya. Dia Maha Perkasa berbuat menurut kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, kita harus selalu menghadap Allah melalui ibadah untuk mencapai cita-cita kita, dan senantiasa dengan bertawakal kepada-Nya, begitu pula di dalam usaha mencapai tujuan dan maksud yang diridhoi-Nya. (Tafsir Kemenag Surat Fatir ayat 2)

Ayat ini juga memiliki keterkaitan dengan ayat lain dan hadis Nabi saw yang memiliki makna yang sejalan, yakni pada QS. Yunus [10]: 107, 

وَإِنْ يَمْسَسْكَ الله بِضُرِّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادً لِفَضْا

Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. (QS. Yunus [10]: 107).

عَنِ المُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ انَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ كَانَ إِذَا انْصَرَفَ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ لَا اِلَهَ إِلَّا اللَهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ لَهُ المَلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا اعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَيَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Dari Al-Mugirah bin Syu’bah bahwa ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw apabila selesai salat mengucapkan, ‘Tiada tuhan melainkan Allah. Dia Esa tiada ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah Tuhanku, tidak ada seorang pencegah pun terhadap sesuatu yang Engkau berikan dan tak ada seorang pemberi terhadap sesuatu yang Engkau cegah, tidak bermanfaat kejayaan seseorang dalam menghadapi siksaan Engkau’ (HR. Bukhari no. 6330).

Berdasarkan paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa rahmat Allah hadir dalam berbagai bentuk. Ia tampak dalam nikmat kehidupan, kesehatan, rezeki, keamanan, serta ketenangan hati. Bahkan, iman dan hidayah yang bersemayam di dalam hati seorang mukmin adalah bentuk rahmat Allah yang paling agung. QS. Fatir [35]: 2 juga mengingatkan bahwa Allah memiliki hikmah dalam membuka dan menahan rahmat-Nya. Ketika Allah menahan sebagian rahmat, bukan berarti Dia bersikap zalim atau kikir, melainkan karena kebijaksanaan-Nya yang sempurna. Bisa jadi penahanan tersebut merupakan bentuk ujian, pendidikan jiwa, atau cara Allah mendekatkan hamba-Nya agar kembali bersandar kepada-Nya dengan penuh ketundukan.

Kesadaran akan hal ini seharusnya membentuk sikap tawakal yang benar. Manusia diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin, namun tetap meyakini bahwa hasil akhir sepenuhnya berada dalam genggaman Allah. Ketika rahmat-Nya dibukakan, manusia tidak boleh sombong. Sebaliknya, saat rahmat itu belum diberikan, manusia tidak boleh berputus asa. Keduanya merupakan ujian keimanan yang harus disikapi dengan kesabaran dan rasa syukur. Selain itu, ayat ini juga mengajarkan bahwa meminta rahmat haruslah ditujukan langsung kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Sebab, makhluk hanyalah perantara yang tidak memiliki kuasa mutlak. Menggantungkan harapan sepenuhnya kepada manusia akan berujung pada kekecewaan, sementara menggantungkan harapan kepada Allah akan melahirkan ketenangan dan keyakinan yang kokoh.

Rahmat Allah juga erat kaitannya dengan sifat kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan dalam kondisi manusia banyak berbuat dosa, pintu rahmat dan ampunan tetap terbuka selama ia mau kembali dan bertaubat dengan sungguh-sungguh. Inilah bukti bahwa rahmat Allah jauh lebih luas daripada murka-Nya.

Maria Ulfah, S.Ag., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Maria Ulfah, S.Ag.? Silahkan klik disini