Perbedaan di antara manusia bahkan seluruh makhluk adalah sebuah keniscayaan. Manusia lahir dalam perbedaan agama, suku, dan ras, termasuk juga perbedaan pendapat. Islam mengajarkan untuk merayakan perbedaan sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S al-Rum Ayat 22:
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِين
Dan di Antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.
Melalui ayat di atas, syekh al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah swt menjadikan penciptaan manusia dan perbedaan-perbedaannya sebagai bentuk tanda kekuasaan-Nya. Perbedaan bahasa yang sangat banyak jumlahnya, begitu pun perbedaan warna kulit yang amat beragam.
Jika perbedaan menjadi bagian dari tanda kebesaran Allah swt, lalu kenapa perbedaan ini seringkali membuat kita bertengkar? Sebenarnya bagaimana cara menyikapi perbedaan dalam ajaran Islam?
Tulisan ini kan mengulas beberapa poin tentang cara menyikapi perbedaan sesuai dengan ajaran Islam agar perbedaan itu menjadi rahmat bukan laknat.
Pertama, selalu berusaha mencari titik temu dalam setiap perbedaan yang ada. Dalam bahasa al-Quran, titik temu ini diistilahkan dengan Kalimatun Sawa. Kita dapat menemukan titik temu ini dalam Q.S Ali Imran: 64
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Katakanlah (Muhammad), “Hai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu, bahwa kami tidak menyembah selain Allah, dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah (muslimun).
Ayat ini mengajarkan kepada kita ketika menghadapi perbedaan kita didorong untuk mencapai kesepakatan bersama dalam hal yang bisa dijadikan titik persamaan (kalimatun sawa), sehingga yang dikedepankan adalah sisi persamaannya, bukan fokus pada perbedaan. Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi perekat dan titik persamaan (kalimatun sawa) bagi seluruh warga negara, tidak melihat perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan, semuanya sepakat mengenai Pancasila sebagai dasar Negara.
Begitu pun ketika Nabi Muhammad saw masuk ke kota Madinah, beliau dan para penduduk Madinah menyepakati sebuah konsensus yang dinamakan Piagam Madinah. Di dalam kota yang sebelumnya bernama Yatsrib, tinggal orang-orang dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Meskipun demikian, Nabi Muhammad menyepakati Piagam Madinah sebagai titik persamaan bagi seluruh penduduk kota Madinah.
Kedua, sikap yang bisa dikedepankan untuk meyikapi perbedaan adalah mengedepankan toleransi dan tenggang rasa, saling memahami satu sama lain tanpa terlebih dahulu menghakimi orang lain. Nabi Muhammad saw. sendiri adalah teladan bagi kita sebagaimana yang tercatat sejarah.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa datang seorang Badui (pedalaman) ke Masjid Nabi dan serta merta kencing di Masjid. Melihat ini, terang saja para sahabat marah dan akan memukuli orang ini, Rasulullah saw mencegahnya. Bahkan kemudian beliau menyuruh sahabat untuk menyiram dan membersihkan air seni laki-laki itu. (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Syarh Sahih Bukhari menjelaskan beberapa poin penting terkait dengan riwayat di atas. Pertama, berlaku lemah lembut (al-rifq) kepada orang yang melakukan kesalahan karena tidak tahu dan tidak sengaja (jahl). Kedua, wajib mendidik dan memberi pengertian bagi orang yang melihat orang yang melakukan kesalahan itu sesuai dengan akhlak Islam. Ketiga, tidak perlu melakukan kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun verbal dalam mencegah munkar.
Ketiga, berdialog dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Allah swt berfirman dalam Q.S Al-Nahl: 125,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan teladan yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (dialog), sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui terhadap orang yang telah sesat di jalannya dan Allah juga maha mengetahui terhadap orang yang diberi petunjuk.
Ayat ini memerintahkan kepada kita agar dalam melakukan dakwah atau mengajak orang lain ke jalan Allah swt dengan cara-cara yang bijak, santun, dan dengan teladan baik. Sekiranya mereka terus membantah, maka bantah dengan cara yang lebih baik, bukan dengan cara-cara kasar, emosional, dan kebencian. Karena tugas kita hanyalah mengajak dan menyampaikan sesuatu yang baik. Di luar itu semua adalah kewenangan Allah swt.
Dengan tiga cara yang telah dijelaskan: mencari titik persamaan, toleransi, dan dialog, niscaya perbedaan yang ada di tengah-tengah kita dapat disikapi dengan lebih bijak dan lebih baik. Tidak perlu timbul konflik hanya karena berbeda, karena berbeda itu merupakan sunnatullah. Kita tidak perlu risau dengan banyaknya perbedaan baik dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, maupun bernegara. Perbedaan adalah tanda kekuasaan Allah swt. Oleh karenanya, tidak perlu kita saling membenci dan bertikai karena perbedaan. Wallahu A’lam.
Wildan Imaduddin Muhammad, M.A, Dosen UIN Jakarta dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang WIldan Imaduddin Muhammad, M.A? Silahkan Klik disini