Beberapa hari ini, kita tengah dikejutkan oleh berita demonstrasi yang meluas di berbagai daerah. Kekacauan, penjarahan yang sungguh mencemaskan sekaligus memprihatinkan. Kampus, sekolah serta beberapa kantor pun terpaksa harus beraktivitas secara online mengingat ekskalasi demo yang kian parah menyebabkan suasana menjadi tidak kondusif. Tentu hal ini tidak tiba-tiba, ada faktor yang memicunya. Dari kebijakan yang merugikan rakyat, korupsi yang kian merajalela, gaya hidup wakil rakyat yang flexing dan over-hedon sehingga membuat rakyat geram. Tentu, kita sedih dengan kondisi demikian, tapi tentu pula, tidak ada satu manusia pun yang ingin hidup dalam ketidaktenangan dan kesengsaraan. Seluruh manusia menghendaki perdamaian.
Kehidupan yang damai merupakan bagian dari fitrah manusia, dimana manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan manusia lainnya. Secara naluriah manusia mengidamkan kehidupan yang damai dan tentram dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hal demikian sebab manusia merupakan khalifah di bumi ini yang diciptakan oleh Allah Swt. sebagai khalifah fil ard. Menjaga ketentraman dan kerukunan di muka bumi ini menjadi tugas utama manusia.
Perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan tujuan bangsa Indonesia yang tercantum pada pembukaan Undang-Undang alinea ke-4. Perdamaian adalah sebuah istilah atau kata untuk menyebut suatu kondisi adanya harmoni, kemanan (tidak terjadi perang), serasi, dan adanya saling pengertian. Perdamaian dipahami sebagai proses dan produk. Merujuk pada perkembangan tata pikir, perilaku, orientasi nilai, upaya perbaikan keadaan, dan penyelesaian konflik dalam kehidupan manusia untuk mencapai sebuah keadaan damai tanpa menimbulkan konflik kekerasan, sebagai hasil.
Islam hadir sebagai agama yang menjunjung tinggi konsep kehidupan rahmatan lil-‘alamiin, yakni lebih mengedepankan damai dalam kehidupan dan mengajarkan saling mengasihi dan berkasih sayang antar sesama makhluk ciptaanNya. Saling mengasihi dan berkasih sayang merupakan sifat teladan Rasulullah saw. Baik sesama muslim maupun non-muslim. Maka penting dalam kehidupan ini menjunjung tinggi perdamaian baik sesama manusia maupun dunia.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang membahas tentang perdamaian baik dalam perintah maupun dalam hikmah dari kisah. Dasar nilai-nilai perdamaian tersebut dapat mencegah dari perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain, seperti dalam Qs. al-Hujurat/49: 9-10 yang membahas tentang kehidupan yang damai dan bagaimana memecahkan maslah apabila terjadi perselisihan. “Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”
Ayat di atas menggunakan kata ان (in). Ini untuk menunjukkan bahwa pertikaian antara kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Bukankah mereka adalah orang-orang yang memiliki iman yang sama sehingga tujuan mereka pun seharusnya sama?
Kata اقْتَتَلُوْا (iqtatalû) terambil dari kata قتل (qatala). Prof. Muhammad Quraish Shihab berpendapat makna kata ini berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Karena itu, kata iqtatalû tidak harus diartikan berperang atau saling membunuh, sebagaimana diterjemahkan oleh sementara orang. Ia bisa diartikan berkelahi atau bertengkar dan saling memaki. Dengan demikian, perintah fa qâtilû pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikan perangilah karena memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh. Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut—lebih-lebih dalam konteks ayat ini—adalah tindaklah.
Sementara itu, kata اَصْلِحُوْا (ashlihû) terambil dari kata اَصلح (ashlaha) yang asalnya adalah صلح (shaluha). Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan antonim dari kata فسد (fasada), yakni rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian, shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang اصلاح (ishlâh) adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Memang, ada nilai-nilai yang harus dipenuhi sesuatu agar ia bermanfaat atau agar ia dapat berfungsi dengan baik.
Dalam konteks hubungan antar-manusia, nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan hubungan. Ini berarti jika hubungan antara dua pihak retak atau terganggu, akan terjadi kerusakan dan hilang atau paling tidak berkurang kemanfaatan yang dapat diperoleh dari mereka. Ini menuntut adanya ishlâh, yakni perbaikan agar keharmonisan pulih dan, dengan demikian, terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemaslahatan.
Terkait Qs. Al-Hujurat/49: 9 diatas, ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan pertengkaran yang mengakibatkan perkelahian dengan menggunakan alas kaki, antara kelompok Aus dan Khazraj. Itu dimulai ketika Rasul saw. yang mengendarai keledai melalui jalan di mana ‘Abdullâh Ibn Ubay Ibn Salûl sedang duduk dan berkumpul dengan rekan-rekannya. Saat itu, keledai Rasul buang air, lalu ‘Abdullâh yang merupakan tokoh kaum munafikin itu berkata: “Lepaskan keledaimu karena baunya mengganggu kami”. Sahabat Nabi saw., ‘Abdullâh Ibn Rawâhah ra., menegur ‘Abdullâh sambil berkata: “Demi Allah, bau air seni keledai Rasul lebih wangi daripada minyak wangimu”. Dan terjadilah pertengkaran yang mengundang kehadiran kaum masing-masing (HR. Bukhâri dan Muslim melalui Anas Ibn Mâlik).
Di sisi lain, dengan menyatakan bahwa ayat di atas bukan merupakan komentar atas kasus ‘Abdullâh Ibn Ubay, maka tertampiklah pandangan yang boleh jadi menduga bahwa ‘Abdullâh adalah salah seorang mukmin, atas dasar bahwa ayat di atas menyebut kelompok yang bertikai itu adalah kelompok orang-orang mukmin. Di tempat lain, Allah menilai ‘Abdullâh Ibn Ubay Ibn Salûl sebagai orang munafik yang kemunafikannya sangat mantap sehingga dinilai kafir dan Nabi dilarang menshalatkannya ketika ia mati.
Kata اِخْوَة (ikhwah) adalah bentuk jamak dari kata اخ (akh), yang dalam kamus-kamus bahasa sering kali diterjemahkan saudara atau sahabat. Kata ini pada mulanya berarti yang sama. Persamaan dalam garis keturunan mengakibatkan persaudaraan, demikian juga persamaan dalam sifat atau bentuk apa pun. Persamaan kelakuan pemboros dengan setan menjadikan para pemboros adalah saudara-saudara setan (baca QS. al-Isrâ’ [17]: 27). Persamaan dalam kesukuan atau kebangsaan pun mengakibatkan persaudaraan (baca QS. al-A‘râf [7]: 65). Ada juga persaudaraan karena persamaan kemakhlukan, seperti ketika Nabi Muhammad saw. menamakan jin adalah saudara-saudara manusia. Beliau melarang menjadikan tulang sebagai alat beristinjâ’ karena itu adalah makanan saudara-saudara kamu dari jenis jin. Demikian sabda beliau.
Sementara itu, lanjutan ayat di atas, yakni Qs. Al-Hujurat/49: 10 kata اخ (akh) yang berbentuk tunggal itu biasa juga dijamak dengan kata اِخْوَان (ikhwân). Bentuk jamak ini biasanya menunjuk kepada persaudaraan yang tidak sekandung. Berbeda dengan kata اِخْوَة (ikhwah) yang hanya terulang tujuh kali dalam Al-Quran, kesemuanya digunakan untuk menunjuk persaudaraan seketurunan, kecuali ayat al-Hujurât di atas. Hal ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa persaudaraan yang terjalin antara sesama muslim adalah persaudaraan yang dasarnya berganda. Sekali atas dasar persamaan iman dan kali kedua adalah persaudaraan seketurunan, walaupun yang kedua ini bukan dalam pengertian hakiki.
Dengan demikian, terinspirasi dari ayat di atas, maka tidak ada alasan untuk memutuskan hubungan persaudaraan itu. Ini lebih-lebih lagi jika masih direkat oleh persaudaraan sebangsa, secita-cita, sebahasa, senasib, dan sepenanggungan. Dalam konteks Indonesia, demonstrasi yang terjadi hari-hari ini di negara tercinta, semoga dapat menjadi momentum kita untuk lebih merekatkan persaudaraan, tidak mudah terpecah belah oleh amarah dan tidak mudah diadu domba oleh kebencian yang membara.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini