Siapa yang nggak butuh quality time? Rasanya semua manusia butuh quality time paling tidak sekali dalam seminggu karena letih bekerja dan menghabiskan waktu sejenak bersama anak, rehat dan hangout bersama keluarga. Kumpul chit-chat bareng teman maupun pasangan. Tapi sadarkah kita, bahwa manusia tidak hanya butuh ber-quality time dengan sesamanya saja. Berkualitasnya waktu akan terasa lebih sempurna karena terpenuhinya kebutuhan spiritual. Karenanya, Allah Swt wajibkan shalat sebagai media ber-quality time; gak cukup sekali tapi sehari lima kali! Mengapa? karena quality (kualitas) akan tercapai jika quantity (kuantitas) terpenuhi.
Jika kita berkilas balik, perlu perjalanan jauh nun panjang hingga shalat menjadi sebuah ibadah mauquuta (yang waktunya ditentukan). Shalat ialah ‘oleh-oleh’ Rasulullah sepulang perjalanan spiritual malam (night spiritual journey) atau yang lebih familiar terdengar Isra dan Mi’raj. Bukan perjalanan biasa, jalan-jalannya Rasulullah ini sarat hikmah dan pesan moral di dalamnya, mengingat momentum sakral ini juga sebagai hiburan atas kesedihan Rasulullah di tahun itu, hingga tahun kesedihan (karena kehilangan/ wafatnya paman beliau dan Sayyidah Khadijah ra) dikenal dengan ‘aam huzni. Betapa sedih dan terpukulnya Rasulullah karena dua orang tercintanya kembali kehadirat-Nya, hingga Allah memberikan hadiah yang sarat hikmah.
Peristiwa ini disepakati para ulama terjadi sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Isra dan Mi’raj pun kejadian Maha Luar Biasa yang logika manusia tak sanggup mencernanya. Butuh keimanan yang kuat untuk bisa meyakininya hingga Allah abadikan peristiwa ini dalam surah al-Isra/17: 1,
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Baca Juga: Hukum Lupa Shalat Karena Tertidur
Betapa sakralnya peristiwa Isra dan Mi’raj hingga Allah membuka ayat di atas dengan lafadz penyucian. Subhaana yang berasal dari kata sabaha yang artinya menjauh. Menjauh dari apa? Imam al-Ghazali menguraikan, tasbih artinya menyucikan Allah dan menjauhkan zat-Nya dari sifat-sifat mustahil yang melekat pada-Nya. Ketika kita menyebut subhaanallah, disadari maupun tidak, kita bukan hanya sedang mengagungkan-Nya namun juga menjauhkan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak ada pada keluhuran zat-Nya.
Berikutnya, Allah menggunakan lafadz asra (sebagai kata kerja dari sara/ berjalan) dan melanjutkan dengan bi-‘abdihi (hambanya) yakni Rasulullah. Rasul disebut dengan ‘abd (hamba) dalam ayat ini sebagai gambaran bahwa beliaulah sebaik-baiknya hamba di muka bumi ini yang mendapatkan perjalanan spiritual khusus sebagai tanda kebesaran-Nya. Huruf jar (ba’) yang melekat pada lafadz bi’abdihi memberikan arti bahwa perjalanan spiritual ini bukan hanya antara Rasul, Jibril as dan Buraq, melainkan sarat dengan pendampingan dan penjagaan Allah. Allah melihat, menemani, mendampingin dan menyertai Rasul dalam perjalanan jauh dengan waktu yang relatif singkat ini.
Perjalanan malam nun jauh yang dirasakan Rasulullah baik jasmani dan ruhaninya ini menghasilkan perintah shalat yang harus ditegakkan oleh umat Rasulullah. Shalat sebagai media pendekatan manusia untuk lebih kenal, dekat dan lekat pada Tuhannya.
Bericara mengenai shalat, kata/ lafadz yang cukup banyak disebut dalam al-Qur’an. Dalam kitab Mu’jam Mufahras fi al-Faldzi Qur’an karya Muhammad Fuad Abd Baqi’ shalat disebut sebanyak 67 kali. Jumlah tersebut hanya berasal dari kata ‘shalat’ saja, belum dari deriviasi lain semisal shalla, tushalla, yushalluna, shalli, shallu, shalataka, shalatahu, shalatihim, shalati, shalawatu, shalawatihim, al-mushallin, mushalla.
Selain sebagai media komunikasi, pendekatan dan pengenalan seorang ‘abd pada Tuhan, shalat menjadi satu-satunya ibadah yang tidak bisa sembarangan langsung ditunaikan. Tata cara ibadah ini sangat khas. Terdiri dari 13 rukun, diawali dengan bersuci (wudhu), dimulai dari takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Salah satu rukunnnya harus dilakukan secara tartib (berurutan).
Baca Juga: Apa Yang Dimaksud dengan Ibadah Mahdhah?
Meski dengan tata cara yang cukup kompleks, ibadah ini bisa langsung dilakukan oleh siapa saja, tak terlepas dari siapakah dia dan apa jabatannya, siapapun dari umat muslim, ketika ia telah baligh, islam, berakal, mukallaf, dapat langsung melakukannya, tanpa melalui perantara apapun dan siapapun. Tak peduli sebanyak apapun salah, khilaf dan dosa kita, sujud menjadi cara manusia untuk mengakui kelemahan dan kekhilafan di hadapan Tuhan.
Maha Baik Allah, melalui kebesaran asma dan sifat-Nya, Dia menurunkan perintah shalat pada hamba terbaiknya, agar dilakukan oleh seluruh hamba-Nya. Sehingga, saat kita bingung kemana harus berlari dan menghadap ketika dihimpit masalah, shalat adalah salah satu cara untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada-Nya. Shalat pula yang mampu menghalangi diri dari perbuatan keji dan munkar (Qs. Al-‘Ankabut/45) ketika betul-betul didirikan bukan hanya sebagai penggugur kewajiban, namun sebagai kebutuhan seorang hamba pada Tuhan.
Jadi, sudah sampai dimana shalat kita? Mari merenung dan merefleksi ulang. Pelajari kembali tata cara wudhunya, penuhi rukun dan syaratnya, perhatikan sunnahnya, belajar menghayati dan hadirkan hati saat menjalaninya. Bismillah, belajar sama-sama, demi mencapai quality shalat/ shalat yang berkualitas.
Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id