Setiap 12 November, Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional, peringatan yang tak semeriah Hari Ibu. Jarang ada baliho besar bertuliskan “Selamat Hari Ayah”, jarang pula ada promo khusus di toko atau unggahan penuh bunga di media sosial. Hari ini terasa sunyi. Tapi di balik kesunyian itu, ada sosok yang diam-diam memikul dunia di pundaknya: ayah.
Mungkin kita jarang mengingatnya. Ayah tidak banyak bicara. Tidak suka menuntut ucapan terima kasih. Tapi di setiap langkah kita hari ini—ada doa dan kerja kerasnya yang mungkin jarang kita sadari.
Ayah: Pemimpin yang Menuntun dengan Teladan
Dalam Islam, posisi seorang ayah tidak sekadar pencari nafkah, tapi juga pemimpin keluarga. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim [66]:6)
Ayah bukan hanya bertanggung jawab memberi makan, tapi juga menjaga keluarga dari api kesesatan—melindungi dengan iman, menuntun dengan teladan. Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya… dan seorang laki-laki (suami, ayah) adalah pemimpin keluarganya… ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tugas itu berat. Tapi kebanyakan ayah melaksanakannya dalam diam. Tidak semua ayah pandai menasihati, tapi ia menunjukkan lewat tindakan: berangkat pagi sebelum matahari terbit, pulang malam dengan wajah letih tapi masih sempat tersenyum. Itulah dakwah dalam bentuk nyata—bukan dengan kata-kata, tapi dengan keteladanan.
Cinta yang Tidak Banyak Kata
Sangat jarang ada ayah yang interaksinya kepada anak lebih banyak daripadanya ibu. Menurut banyak penelitian, hal ini juga didasarkan pada fakta bahwa laki-laki cenderung mengeluarkan kata yang jauh lebih sedikit dibandingkan perempuan per harinya. Selain itu, jarangnya interaksi ayah dan anak didasarkan pada fakta bahwa ayah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja mencari nafkah.
Mungkin, seiring bergesernya masa, ayah sekarang mulai banyak ngobrol dengan anak-anaknya. Namun, tetap saja dibandingkan dengan ibu, sosok ayah masih sering digambarkan dengan pribadi yang pendiam.
Berbeda dengan ibu yang penuh kelembutan dan pelukan, cinta ayah sering datang dalam bentuk yang “kasar tapi hangat”. Kadang lewat teguran, kadang lewat diamnya yang panjang. Tapi siapa sangka, di balik diam itu tersimpan doa dan harapan yang dalam?
Fenomena ini juga tergambarkan dalam pepatah Arab populer bahwa ibu adalah madrasah utama anak, sedangkan ayah adalah kepala sekolahnya. Hal ini menunjukkan makna bahwa interaksi ibu jauh lebih sering dibandingkan ayah kepada anaknya. Interaksi langsung ibu-anak terjalin bahkan sejak anak dalam kandungan, menyusui, hingga kehidupan sehari-hari di rumah.
Sifat kaku dan diam ayah sekarang mulai menghilang seiring dengan gaya parenting yang menekankan pentingnya interaksi ayah kepada anak. Hal ini merupakan kemajuan positif dan mengikuti teladan utama muslim, Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah Saw. sendiri dikenal sebagai ayah yang penyayang. Beliau mencium anak-anaknya, bercanda dengan cucu-cucunya, dan tidak malu menunjukkan kasih sayang di hadapan sahabat. Dari teladan ini, kita belajar bahwa menjadi ayah tidak berarti harus keras—justru cinta yang lembut adalah kekuatan sejati seorang lelaki.
Di Tengah Zaman yang Sibuk: Saatnya Mengingat dan Menghargai
Kita hidup di masa yang sibuk. Ayah mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di jalan, di kantor, atau tempat dengan kesibukan lainnya. Kadang jarak bukan hanya fisik, tapi juga emosional. Tak jarang anak merasa jauh dari ayahnya sendiri.
Hari Ayah Nasional bisa menjadi momen untuk pause sejenak dan bertanya: kapan terakhir kali kita mengucapkan terima kasih atau mendoakan ayah? Islam mengajarkan birrul walidain—berbakti kepada kedua orang tua—tanpa membedakan antara ibu dan ayah. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya…” (QS. Al-‘Ankabut [29]:8)
Kebaikan itu bisa dalam bentuk kecil: menelpon, mendoakan, atau sekadar menanyakan kabar dengan tulus. Bahkan jika ayah sudah tiada, doa anak tetap menjadi bentuk bakti yang tak putus. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.” (HR. Muslim)
Doa untuk ayah termasuk bagian dari amal saleh itu. Mungkin kita tak bisa membalas semua perjuangannya, tapi dengan satu doa tulus, kita bisa menjadi sebab kebahagiaan abadi baginya di sisi Allah.
Kita sering lupa, ayah juga punya rasa lelah, takut, bahkan ragu. Ia tidak selalu tahu cara terbaik menjadi ayah, tapi ia belajar setiap hari—kadang dari kegagalan, kadang dari diamnya anak-anak yang sudah beranjak dewasa.
Maka, di Hari Ayah ini, marilah bersikap lebih lembut. Kurangi menuntut, perbanyak memahami. Karena di balik setiap ayah, ada manusia yang ingin dicintai tanpa syarat. Ia mungkin tidak sempurna, tapi ia selalu berusaha.
Hari Ayah Nasional bukan hanya tentang memberi hadiah atau membuat unggahan manis di media sosial. Lebih dari itu, ini tentang mengingat dan mendoakan. Untuk ayah yang masih bersama kita, semoga Allah panjangkan usianya dalam keberkahan. Untuk ayah yang telah tiada, semoga Allah lapangkan kuburnya dan pertemukan kembali di surga-Nya.
Karena pada akhirnya, kasih sayang seorang ayah mungkin tak selalu terucap, tapi selalu terasa—di setiap langkah hidup yang pernah ia tunjukkan jalan.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini