Hati itu menentukan laku dan sikap seseorang. Dalam sabda Nabi saw pernah dijelaskan, salah satu faktor sentral yang menentukan perbuatan seseorang ditentukan seberapa kualitas hatinya. Jika hatinya baik, maka seluruh tubuhnya akan ikut. Begitu sebaliknya, jika kualitas hatinya memburuk, bersiaplah anggota badan yang lain akan mengikutinya.
Terkadang fenomena yang kita dapati hari ini adalah capaian pendidikan manusia (seperti S1, S2, S3 ataupun profesor) ternyata tidak menjamin kualitas dirinya, bahkan ada beberapa yang tersandung kasus korupsi, kolusi, dan semacamnya. Dengan demikian, kualitas hati menentukan perbuatan seseorang. Artikel ini hendak mengulas lima obat keras hati berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan pendapat ulama.
Imam Yahya bin Mu’adz berkata, obat hati yang keras ada lima;
Obat keras hati itu ada lima perkara, yakni membaca Al-Qur’an sembari merenungi maknanya (tafakkur), mengosongkan perut (puasa), mendirikan shalat malam, merendahkan diri (berdzikir) di waktu sahur), dan berkumpul dengan orang-orang shalih. (Kitab Dzam Qaswatul Qalb, hal. 3)
Dalam versi yang lain disebutkan, pernyataan Syekh Ibrahim Al-Khawash di atas kemudian diabadikan oleh Imam Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah-nya sebagai berikut.
Artinya, “Salah satu ucapannya (Ibrahim Al-Khawash) adalah, ‘Obat hati terdiri atas lima perkara, (1) membaca Al-Quran disertai perenungan, (2) mengatur pola makan agar perut tidak kenyang (bisa puasa atau cara lain), (3) bangun malam (tahajud, zikir, atau amal lainnya), (4) merendahkan diri di hadapan Allah pada akhir malam, (5) bergaul dengan orang-orang saleh.’ Hal ini disebutkan dalam Ar-Risalatul Qusyairiyah.”
Membaca Al-Quran diiringi Tafakkur
Perintah pertama dalam Islam bukanlah mengesakan Tuhan, namun membaca (iqra bismirabbika). Hampir mayoritas mufassir sepakat bahwa perintah membaca bukanlah perintah letterlijk (terpaku pada teks), akan tetapi membaca adalah proses meriset, menganalisi, dan mengidentifikasi segala realitas alam semesta sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam diri manusia itu sendiri. Penanda manusia dengan hewan terletak pada akalnya. Dalam makna, disebut manusia jika ia terus mengembangkan kemampuan berpikirnya. Berkali-kali al-Qur’an menyebutkan afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu?), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak memikirkan), wa fi anfusikum, afala Tubshirun (di dalam dirimu apakah kamu tidak melihat?), dan sebagainya.
Tak heran, jika Nabi saw sering mengatakan dalam sabdanya,
Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (H.R. Muslim).
Di samping itu, orang yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an merupakan sebaik-baik manusia.
Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (H.R. Tirmidzi)
Mengosongkan perut
Yang kedua, obat kerasnya hati adalah mengosongkan perut. Betapa banyak mereka yang dikendalikan oleh nafsunya, karena tidak mampu menahan nafsu perutnya. Dikatakan, syahwat kemaluan bersumber dari syahwat perut. Tak heran, jika para ulama dulu sering mendawamkan puasa atau tirakat mengosongkan perut agar mudah mengendalikan hawa nafsu, mengontrol dan mendidik dirinya sendiri. Sebelum membimbing dan mendidik umat, ia diwajibkan harus mampu mengontrol dan mendidik dirinya sendiri.
Sejatinya, perintah mengosongkan perut ini bukanlah dalam arti leksikal, melainkan tidak diperbolehkan memakan makanan yang berlebihan atau melampaui batas, karena sesuatu yang melampaui batas (tabdzir) adalah pekerjaan setan dan dibenci oleh Allah swt. Al-Quran mengkalamkan,
وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفين
Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-A’raf [7]: 31)
Nabi saw mengatakan,
“Pangkal segala penyakit adalah terlalu kenyang dan pangkal segala obat adalah lapar”.
Hadis di atas meski dalam penilaian ulama ahli hadis, seperti Al-Sakhawi mengatakan hadis ini tidak sahih, juga pendapat al-Munawi dan Ibn Hibban hadis ini munkar, akan tetapi secara esensi atau kandungan maknanya relevan. Dalam bahasa KH. Ihsan Muhammad Dahlan, Jampes Kediri di dalam kitabnya, Sirajut Talibin ‘ala Minhajul ‘Abidin, pangkal dari semua obat adalah mengurangi makan (وأصل كل دواء الأزمة)
Senada dengan itu, ulama yang lain, Ar-Raghib al-Ashfahani, misalnya dalam Kitab al-Mufradat fi Gharib al-Quran, menjelaskan,
“Sungguh, dalam diri laki-laki yang perutnya besar/ buncit tersimpan sesuatu, yaitu menunjukkan rasa kenyang dan terlalu banyak makan”.
Tidak jauh berbeda, Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran, mengutip hadist nabi terkait di atas,
Janganlah sekali-kali kalian makan dan minum terlalu kenyang, karena sesungguhnya hal tersebut dapat merusak tubuh, dan dapat menyebabkan malas mengerjakan shalat, dan pertengahanlah kalian dalam kedua hal tersebut (makan dan minum), karena sesungguhnya hal ini lebih baik bagi tubuh, dan menjauhkan diri dari berlebih-lebihan (israf). (H.R. Bukhari)
Jika dikaitkan dengan konteks pelajar sebagaimana dituturkan Syekh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Muta’allim, hendaknya pelajar mengurangi makan (taqlilul ghadza’) dari makanan yang kurang menyehatkan dan bisa menumpulkan otak serta kesehatan badan.
Mendirikan shalat malam
Obat keras hati yang ketiga adalah mendirikan shalat malam. Allah sw berfirman,
Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (untuk salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (Q.S. As-Sajdah [32]: 16)
Mendirikan shalat malam yang dimaksud, sebagaimana penafsiran Ibn Katsir, adalah mereka senantiasa berdzikir, mengerjakan shalat sunnah, dan sedikit tidur demi mengharap belas kasih Allah swt. Al-Quran melukiskan perilaku mereka ini dengan,
Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah). (Q.S. Az-Zariyat [51]: 17-18)
Merendahkan diri kepada Allah di saat waktu sahur menjelang subuh
Obat keras hati yang keempat adalah merendahkan diri kepada Allah di waktu sahur. Tidak dapat dipungkiri, kita sebagai manusia, acapkali dalam momen tertentu merasa ujub (besar kepala) dan unggul atas orang lain, merasa lebih ‘alim, memiliki kapital yang banyak, baik kapitas sosial, spiritual maupun finansial sehingga kehilangan jati diri sebagai manusia.
Allah menciptakan manusia dengan tujuan beribadah kepada-Nya. Beribadah ini memiliki dua dimensi; vertikal dan horizontal. Ringkasnya, manusia adalah hamba Allah sekaligus makhluk sosial. Karena itu, di waktu sahur adalah momentum yang tepat bagi manusia untuk kembali berefleksi, merenungi segala laku perbuatannya apakah sudah berperilaku baik atau justru banyak melakukan kemudharatan. Allah swt mengingatkan kita ini dalam firman-Nya,
Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut pada waktu pagi dan petang, dengan tidak mengeraskan suara, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah. (Q.S. al-A’raf [7]: 205)
Dalam ayat yang lain,
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Q.S. Al-A’raf [7]: 55)
Menafsiri ayat di atas, Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Quran al-Adzhim, menurut ssuatu pendapat, makna yang dimaksud ialah mengucapkan doa dengan perasaan yang rendah diri, penuh harap, dan dengan suara yang lemah lembut. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Musa Al-Asy’ari yang menceritakan bahwa suara orang-orang terdengar keras saat mengucapkan doanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukanlah menyeru (Tuhan) yang tuli dan bukan pula (Tuhan) yang gaib, sesungguhnya Tuhan yang kalian seru itu Maha Mendengar lagi Mahadekat.
Senada dengan Ibn Katsir, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, menyodorkan pendapat ulama terkait memahami ayat ini sebagai membagi dzikir kepada dua kategori, pertama dalam hati dan kedua tidak mengeraskan suara. Keduanya diperintahkan oleh ayat tersebut. Adapun dzikir yang keras (jahr), maka ini tidak disinggung, bukan karena ia tidak dapat dinamai dzikir, tetapi kurang sesuai dengan tata krama mengagungkan Allah swt. Dalam konteks ini Nabi saw menegur sementara sahabat beliau yang berdzikir keras di malam hari sambil bersabda: “Kalian tidak menyeru yang tidak hadir atau yang tuli”.
Duduk bersama orang shalih
Terakhir, duduk bersama majelis orang shalih adalah obat dari hati yang keras. Allah swt mengatakan,
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tetaplah bersama orang-orang yang benar (jujur)! (Q.S. At-Taubah [9]: 119)
Makna shadiqin yang dimaksud, sebagaimana penafsiran Al-Sulami dalam Haqaiq al-Tafsir adalah mereka yang tidak melanggar sumpah pada awal mula kejadiannya, itulah makna siddiq (benar, jujur) yang sebenarnya. Sebagian yang lain memaknainya dengan mereka yang memantapkan langkahnya di manhaj kebenaran (ma’al muqimina ‘ala minhaj al-haq). Sumpah tersebut diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya,
(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 172)
Semoga kita dijauhkan diri kerasnya hati dan selalu dalam bimbingan Allah swt. Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini