Bagaimana Hukumnya Orang yang Memutuskan Silaturrahim?

QNA

Apakah ancaman bagi orang yang memutuskan tali silaturahmi?

[Puji Iskandar – via formulir pertanyaan]

Jawab:
Banyak sekali ayat dan hadits yang melarang diputusnya hubungan shilah ar-rahim [silaturahim atau silaturahmi]. Salah satu di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi Saw yang amat terpandang, yaitu Jubair bin Muth’im, yang menyatakan bahwa beliau mendengar Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus [shilah ar-rahim]” [HR. Imam Bukhari].

Kandungan hadits ini didiskusikan oleh pakar-pakar hadits, apalagi terdapat sekian banyak dalil keagamaan yang menginformasikan bahwa yang tidak masuk surga hanya orang-orang yang tidak percaya ajaran para nabi. Atas dasar itu, para pakar hadits memahami kalimat tidak masuk surga dalam arti “tidak masuk surga dalam rombongan awal yang masuk, karena yang bersangkutan harus mampir terlebih dahulu untuk disiksa di neraka”. Ada juga yang memahami hadits ini dalam arti ancaman serius, walaupun ancaman tersebut belum tentu terlaksana. Ini dimaksudkan agar setiap orang selalu menjalin hubungan harmonis dengan sesamanya.

Memang, banyak sekali ayat Al-Quran yang mengecam mereka yang memutuskan hubungan tersebut, antara lain, firman-Nya, “Orang-orang yang merusakkan janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk [Neraka Jahanam]” [QS ar-Ra’ad [13]: 25], dan lain-lain.

Kesalahpahaman yang mengantar dua orang Muslim untuk tidak saling menyapa hanya dibenarkan berlangsung tidak lebih dari tiga hari. Nabi Saw bersabda, “Tidak dibenarkan bagi seorang Muslim untuk meninggalkan saudaranya [tidak mengajak berbicara karena benci] lebih dari tiga hari” [HR. Muslim]. Tenggang waktu tersebut sudah cukup untuk meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, dan menjalin kembali hubungan harmonis.

Demikian, wallahu a’lam.

[M. Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran]