Fatwa Erwanda Tarmizi yang menyatakan Warga Negara Indonesia (WNI) tidak wajib berhaji karena masa tunggu yang sangat panjang, adanya praktik menabung secara ribawi dan menyalahkan pemerintah sebagai pengurus haji telah memicu perdebatan sengit di kalangan umat Islam. Fatwa ini tentu perlu ditinjau ulang secara mendalam, baik oleh pihak yang pro maupun kontra, dengan landasan ilmiah dan pertimbangan kondisi riil. Terlepas dari kepentingan bisnis travel haji dan umrah yang mungkin merasa dirugikan, diskusi ini harus fokus pada pemahaman syariat dan kemaslahatan umat. Masa tunggu yang mencapai puluhan tahun memang menjadi isu krusial yang menuntut kajian ulang terhadap implementasi kewajiban haji di Indonesia, serta bagaimana fikih Islam menyikapinya dalam konteks kekinian.
Bagi kelompok yang kontra terhadap fatwa Erwanda, landasan dalil mereka cukup kuat, yakni bahwa kewajiban haji bersifat mutlak bagi setiap muslim yang mampu. Kemampuan ini meliputi aspek fisik, finansial, keamanan perjalanan, serta ketersediaan kuota atau izin. Mereka berpendapat bahwa antrean puluhan tahun tidak serta-merta menggugurkan kewajiban haji. Menurut pandangan ini, antrean hanyalah penundaan pelaksanaan, bukan penghalang yang membatalkan kewajiban. Selama seseorang masih memiliki kemampuan dan niat, kewajiban itu tetap melekat padanya, menunggu giliran yang telah ditentukan oleh sistem.
Kelompok yang kontra juga memperkuat dalil mereka dengan merujuk pada fatwa Syaikh Utsaimin. Fatwa tersebut menyatakan bahwa orang yang memiliki kemampuan finansial namun belum bisa berhaji karena terhalang kuota, tetap wajib mendaftar dan menunggu giliran. Dengan demikian, apabila seseorang wafat sebelum sempat menunaikan ibadah haji setelah mendaftar, ia tidak menanggung dosa karena telah berusaha memenuhi kewajibannya. Pendapat ini dicatat dalam Majmu’ al-Fatawa Ibn Utsaimin (21/13), dan tentunya memberikan dukungan kuat bagi pandangan bahwa antrean tidak membatalkan kewajiban haji.
Namun, fatwa Syaikh Utsaimin ini juga perlu dikoreksi dalam tinjauan ushul fikih. Ibadah haji termasuk dalam kategori wajib muqayyad (muqayyad bi al-istitha’ah fii asyhuri al-hajj), yaitu kewajiban yang terbatas hanya pada saat bulan haji saja, bukan wajib mutlak. Oleh karena itu, mendaftar haji sebagai upaya atau wasilah untuk mencapai istitha’ah dalam masalah kendaraan atau sarana juga tidak wajib, karena hal itu tidak termasuk dalam kaidah: “Ma la yattimmu al-wajibu al-mutlaqu illa bihi fahuwa al-wajibu” (Suatu kewajiban mutlak yang tidak sempurna tanpanya, maka ia adalah wajib).
Kaidah di atas memiliki pengecualian yang jelas, termasuk dalam masalah mengupayakan istitha’ah dalam ibadah haji ini. Karena haji bukan termasuk wajib mutlak, maka mengupayakan tercapainya kemampuan (istitha’ah) juga tidak wajib. Ini serupa dengan seseorang yang tidak wajib mengupayakan tercapainya nishab zakat agar bisa berzakat atau terpenuhinya haul. Pengecualian ini tercantum dalam kitab Nuzhat al-Uqul syarh Lubb al-Ushul karya Imam Abu Zakariya al-Anshari. Berdasarkan tinjauan ushul fikih ini, pendapat Dr. Erwanda Tarmizi dapat dibenarkan dengan alasan yang lebih kuat dan mendalam dari segi prinsip-prinsip syariat.
Adapun tentang praktik dana talangan haji yang ribawi, menyalahkan pemerintah selaku pengurus ibadah haji dan memukul rata hukum berdasarkan hal ini juga kurang tepat jika dijadikan sebagai dasar argumen WNI tidak wajib haji. Bukan berarti praktik ribawi tersebut diperkenankan, namun masyarakat masih bisa menabung secara syar’i atau melalui pembiayaan syari’ah jika ingin mendapatkan porsi haji lebih cepat. Fenomena turunan akibat adanya antrean haji ini memang sangat banyak, sehingga perlu disikapi dengan bijak. Tidak cukup dengan memfatwakan bahwa masyarakat tidak wajib haii dan pemerintah yang menanggung dosanya.
Terlepas dari perdebatan fikih, ibadah haji saat ini dihadapkan pada banyak problematika. Adanya jalur plus, furoda, dan jalur ekspres lainnya justru menambah ketidakadilan dalam pengelolaan ibadah haji. Jalur-jalur ini dijual dengan harga yang fantastis, jauh di atas biaya haji reguler. Bahkan, kuota reguler yang tidak terpenuhi seringkali dijual kepada calon haji yang mengantre atau kepada travel-travel haji yang bekerja sama dengan pemerintah. Tentu, diskusi mengenai ketidakadilan ini sangat relevan bagi masyarakat menengah ke bawah, meskipun mungkin tidak berlaku bagi mereka yang benar-benar kaya dan mampu berhaji melalui jalur manapun. Semoga kita semua termasuk dalam hamba Allah yang dimampukan untuk berhaji, bagaimanapun sulitnya secara kasat mata.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini