Sebagai sebuah ajaran universal, keadilan sangat ditekankan dalam Islam dan diteladankan oleh Rasulullah saw sepanjang kehidupannya. Dalam konteks moderasi beragama dan kehidupan bernegara, prinsip ini telah juga diteladankan para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dan Pancasila. Mari kita simak bersama bunyi ayat dan penjelasannya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
ya ayyuha alladzina aamanuu kuunuu qawwamiina lillaahi syuhada’a bi al-qisthi wa laa yajrimannakum syana’aanu qawmin ‘alaa allaa ta’diluu, i’diluu huwa aqrabu li al-taqwaa wattaqu Allah inna Allah khabiirun bimaa ta’maluun.
Artinya:
“Wahai orang-orang beriman! Jadilah kalian penegak keadlian karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat al-Maidah ayat 8)
Musthafa al-Maraghi menerangkan bahwa ayat ini terletak setelah keterangan tentang perintah menunaikan akad/janji, kebolehan dan larangan tentang makanan, dan kebolehan memakan makanan Ahli Kitab, dan perintah untuk bersuci. Pada ayat ini, menurut al-Maraghi, ditekankan soal tata cara bergaul (muamalah) dengan orang lain baik itu kawan maupun lawan.
Kata “syahadah” dalam ayat di atas, menurut al-Maraghi, adalah perumpamaan (ibarat) agar orang-orang bersikap adil dan berani menunjukkan kebenaran sebagaimana tugas seorang hakim ketika memutuskan perkara. Syahadah juga bisa diartikan sebagai kesaksian jujur.
Beberapa mufasir seperti al-Thabari, Ibnu ‘Asyur, dan Quraish Shihab mengaitkan ayat 8 surat al-Maidah ini dengan Surat al-Nisa ayat 135 karena kemiripan ayat keduanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya:
“Hai orang-orang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” (Surat al-Nisa ayat 135)
Menurut Quraish Shihab perbedaan redaksi antara Surat al-Maidah ayat 8 dengan surat al-Nisa ayat 135 terletak pada konteks ketetapan hukum. Pada surat al-Nisa ayat 135 turunnya ayat dilatarbelakangi kasus seorang Muslim yang menuduh Yahudi secara tidak sah, sehingga yang ditekankan ayat adalah pentingnya keadilan, baru kemudian kesaksian. Karena itu redaksi ayatnya mendahulukan kata al-qisth, baru kata syuhada.
Dalam kasus surat al-Maidah ayat 8 ini dikemukakan setelah adanya ikatan perjanjian antara umat dengan Allah dan Rasul-Nya, sehingga yang ditekankan pada ayat adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna seluruh perjanjian tersebut. Pada konteks inilah redaksi kata qawwamiina lillah digunakan dan didahulukan ketimbang kata syuhada.
Bila kita memahami redaksi ayat dan konteks turunnya ayat, bisa dikatakan bahwa pada surat Al-Nisa yang ditekankan adalah kewajiban berlaku adil terhadap diri sendiri, kedua orang tua dan kerabat lainnya. Sedangkan pada surat al-Maidah ada dalam konteks permusuhan dan kebencian, sehingga yang ditekankan adalah kewajiban melakukan segala sesuatu karena Allah SWT.
Begitu pentingnya prinsip keadilan ini, dalam dasar Negara kita Pancasila, kata adil disebut sampai dua kali, yakni pada sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sebagaimana rumusan ini, maka cita-cita berbangsa dan bernegara para pendiri adalah menuju keadilan dalam bingkai kemanusiaan universal dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Yudi Latif dalam bukunya Mata Air Keteladanan, prinsip keadilan dan kesejahteraan ini bukan saja harus bisa dirasakan segenap warga hari ini, melainkan harus bisa terus diupayakan dan diteruskan bagi generasi ke generasi seterusnya.
Mengenai prinsip upaya keadilan dan kesejahteraan ini, kita bisa belajar dari Bung Hatta, salah satu bapak proklamator Indonesia. Kepribadiannya yang sederhana patut dicontoh pejabat publik saat ini. Bukan hanya gaya hidupnya yang sederahana, Bung Hatta tidak pernah mau menggunakan uang yang bukan haknya. Diceritakan bahwa Bung Hatta adalah Wakil Presiden yang setiap bulan selalu mengembalikan uang sisa anggaran rutin biaya rumah tangganya ke kas negara.
Sebagai penutup penulis menekankan bahwa prinsip keadilan yang ditekankan dalam al-Quran perlu kita terapkan dalam kehidupan berbangsa. Prinsip ini pula yang ditegaskan dalam dasar negara kita, Pancasila. Oleh karenanya, keadilan merupakan pokok yang harus dipegang betul oleh segenap umat Islam Indonesia. Karena tidak hanya tertuang dalam kitab suci al-Quran, tetapi juga termaktub dalam dasar negara.
Wildan Imaduddin Muhammad, M.A, Dosen UIN Jakarta dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang WIldan Imaduddin Muhammad, M.A? Silahkan Klik disini